Senin, 8 Juni 1998
Krakatau Steel, BUMN, dan Pasal 33 UUD
1945
ANALISIS KWIK KIAN GIE BUAT masyarakat, rencana penjualan PT Krakatau
Steel sangat kisruh dan semrawut.
Menteri Tanri Abeng telah menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan Ispat International NV (Ispat) tanpa sepengetahuan manajemen Krakatau Steel (KS). Karuan saja, manajemen merasa tidak ada transparansi. Belum lagi harganya yang menurut manajemen KS terlampau rendah. Maka, mereka memprotes. Sebagai reaksinya, Menteri Tanri Abeng memberikan
jawaban yang tidak kalah
membingungkan. Tapi kalau kita berupaya memahaminya, kira-kira adalah MoU itu hanya pancingan, supaya para investor yang berminat bermunculan. Dalam kondisi ekonomi yang sangat terpuruk dan morat-marit seperti ini, sangat sulit menjual BUMN. Ucapan ini saja sudah membuat bingung. Tadinya
dikatakan banyak investor asing
yang mengincar BUMN. Sekarang dikatakan sulit menjual KS. Katanya, sudah ada dua yang tadinya berminat lalu mengundurkan diri. Maka, Menteri Tanri Abeng menjalankan strategi bisnis yang menurut dia kurang dimengerti manajemen KS. Ia menandatangani MoU, lalu dibocorkan, supaya banyak yang berminat. Setelah itu, barulah dilakukan tender terbuka secara transparan. Manajemen KS menjadi bingung. Bagaimana MoU itu
harus dianggap sebagai pancingan
dan pura-pura, kalau isinya begitu konkret dan rinci? Mengapa manajemen tidak boleh terlibat dalam penyusunan MoU? Apakah karena manajemen tidak dapat dipercaya bahwa mereka tidak akan membocorkan? Komentar pertama, sama sekali tidak etis
menggunakan Ispat sebagai alat
pancingan melalui penandatanganan MoU. Kalau tidak ada sesuatu antara Menteri Tanri Abeng dengan Ispat, apakah Ispat tidak marah dan menganggap Pemerintah Indonesia tidak paham tentang etika dagang? MoU memang belum kontrak, tetapi sudah kesepakatan yang sangat jauh dan lumayan konkret. Kalau harga dalam MoU 'miring' (relatif murah), jelas investor yang katanya akan dipancing itu juga menawar murah. ***
SEKARANG tentang hal yang lebih mendasar lagi. Apakah adanya BUMN ada hubungannya dengan pasal 33 UUD 1945? Ya mestinya ada. Pasal 33 UUD 1945 itu harus dijabarkan oleh Presiden dengan bantuan menterinya secara konkret, sehingga menjadi operasional. Maka dalam rangka kaitan antara pasal 33 UUD 1945
dan adanya BUMN, yang sekarang
mau dijuali, apa kriterianya, bahwa cabang produksi tertentu seperti KS memang tidak penting bagi negara dan tidak menguasai hajat hidup orang banyak? Ataukah yang dianut adalah paham mantan Presiden Soeharto yang mengatakan bahwa yang diartikan dengan "dikuasai" oleh negara tidak perlu dimiliki, tetapi "diatur". Maka kalau penjualannya diatur oleh negara, dan beroperasinya sebagai perusahaan milik asing nanti juga diatur oleh negara, selesailah sudah dipenuhinya ketentuan pasal 33 UUD 1945. Seandainya memang demikian falsafahnya, alangkah
sederhananya. Lebih-lebih lagi
terkesan terlampau dangkal landasan filosofisnya, karena kalaupun paham Soeharto yang dianut, toh seorang menteri sangat perlu mempunyai kemampuan yang runtun antara memahami, menghayati pasal 33 UUD 1945, sampai menentukan kriterianya antara cabang produksi apa yang harus dimiliki oleh negara, yang mana yang diatur dengan ketat, tetapi harus dimiliki warga negara Indonesia, yang mana yang boleh dimiliki oleh asing asalkan peraturannya ketat, dan yang mana yang boleh liberal sama sekali? Dan, semuanya harus dilandasi oleh argumentasi yang kuat. *** MARI kita lihat pasal 33 dari UUD 1945. Dalam kaitannya dengan BUMN, yang menonjol di sana adalah bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Apakah kalimat-kalimat ini perlu dipakai sebagai
pegangan dalam menjabarkan
selanjutnya sampai menjadi peraturan-peraturan konkret yang operasional? Saya tidak tahu. Tetapi ada yang menarik, yaitu Undang-undang No 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Pasal 6 ayat 1 UU tersebut mengatakan, "Bidang-bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal asing secara pengusahaan penuh ialah bidang-bidang yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak sebagai berikut: pelabuhan-pelabuhan, produksi, transmisi dan distribusi tenaga listrik untuk umum, telekomunikasi, pelayaran, penerbangan, air minum, kereta api umum, pembangkitan tenaga atom, media massa." Jelas dari sini bahwa cabang-cabang produksi
tersebut dianggap penting bagi
negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, yang harus dikuasai oleh negara. Tetapi yang diartikan dengan penguasaan oleh negara adalah cukup kalau negara memiliki 51 persen saja. Sisanya boleh dikuasai oleh orang partikelir. Jadi para teknokrat masih mempunyai filosofi, tetapi tidak jelas mengapa yang 49 persen sudah boleh dikuasai oleh orang per orang. Kelompok teknokrat yang sama, di tahun 1994 sudah
berubah, dan perubahannya
merupakan salto mortal. Mereka menghasilkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994, yang persis menyebut semua cabang produksi tersebut, tetapi dikatakan bahwa 95 persen boleh dimiliki oleh asing. Ini gejala apa? Filosofinya yang berubah, ataukah karena harus pragmatis, sehingga tafsiran dari kalimat-kalimat dari UUD 1945 memang boleh berubah dengan berubahnya perkembangan zaman? Sayangnya tidak pernah dijelaskan apa semua yang diubah oleh zaman, sehingga tafsirannya bisa berubah demikian drastisnya? Melalui kesepakatan dengan IMF, semuanya boleh.
Kepemilikan oleh asing boleh
dalam segala bidang. Yang akan diatur adalah cara-cara bersaing dalam dunia usaha dengan sebuah UU. Jadi di masa yang lampau sudah sangat
membingungkan, apakah pasal 33 UUD 1945
masih relevan atau sudah tidak relevan lagi? Dalam arus swastanisasi yang berlangsung sampai sekarang, dan bahkan akan digalakkan lagi, kita sama sekali tidak membaca filosofi Menteri Negara Pendayagunaan BUMN tentang kaitan antara pasal 33 UUD 1945 dengan kebijakannya tentang swastanisasi BUMN. Masalah BUMN ini akan menjadi sangat rumit, karena
melalui injeksi dana di
bank-bank swasta yang sudah mencapai sekitar Rp 120 trilyun, Bank Indonesia de facto memiliki bank-bank, yang karena penyitaan perusahaan-perusahaan dengan kredit macet, semuanya menjadi milik negara. Sambil menjuali BUMN yang mungkin sehat, negara menyerap sangat banyak perusahaan swasta dengan struktur finansial yang hancur. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul, apa yang
diartikan dengan cabang produksi
yang penting bagi negara? Apa yang diartikan dengan menguasai hajat hidup orang banyak? Apa yang diartikan dengan dikuasai oleh negara? Apa yang diartikan dengan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat? Dijual tanpa untung, atau dijual dengan merugi karena disubsidi, ataukah boleh dimiliki oleh siapa saja asalkan membayar pajak? Yang lebih pragmatis, benarkah semua BUMN harus
membuat laba? Bolehkah kereta
api merugi dan disubsidi terus, karena dianggap amat bermanfaat buat rakyat banyak? Bolehkan Kimia Farma memproduksi obat generik yang murah tanpa laba, bahkan kalau perlu merugi? Perlukah adanya bagian dari bangsa ini yang harus
berpikir secara fundamental
dan prinsipil? Kalau perlu siapa? Kalau tidak perlu, apakah pasal 33 UUD 1945 tidak dihapus saja? * |