Minggu, 7 Oktober 2001

ASAL USUL
Perang

Suka Hardjana


PERANG bukanlah pesona. Perang adalah pilihan akhir paling buruk dari suatu penyelesaian yang dipaksakan. Tak satu hal pun perlu dibenarkan tentang perang, karena ia menimbulkan bencana kemanusiaan, petaka kematian, dan penderitaan bagi makhluk apa pun yang ada di Bumi. Hanya mereka yang bermental tega dan tak punya rasa belas kasihan melihat perang sebagai keharusan akhir dari suatu jalan buntu.

Frau Meyer, tempat saya mondok ketika menjadi mahasiswa di Jerman, masih saja mengigau dan menggigil ketakutan bila mendengar deru mopet atau dering telepon. Padahal, Perang Dunia II telah 25 tahun berlalu ketika itu. Seorang kakek di Hiroshima Jepang yang saya temui menganggap Perang Pasifik masih berlangsung lantaran sekujur tubuh dan hidupnya lumpuh terkontaminasi debu radio aktif ledakan bom atom. Padahal, perang telah usai selama 53 tahun. Perang memang buruk. Tiga tahun setelah Perang Dunia I pecah (1914-1918) Amerika Serikat nimbrung di pihak Inggris-Perancis-Rusia-Jepang melawan Jerman-Austro-Hongaria dan Kerajaan Usman. Tak kurang dari 10 juta orang meninggal dan 20 juta korban lainnya luka-luka.

Perang Dunia II meletus 20 tahun kemudian, 1939-1942. Inggris-Perancis melawan Jerman-Itali dan Jepang. Rusia yang telah menjadi Uni Soviet dan Amerika Serikat lagi-lagi nimbrung dua tahun belakangan (1941) di pihak sekutu. Jutaan manusia mati, korban lainnya tak terhitung. Bom atom dilempar di Hiroshima dan Nagasaki. Orang menderita sampai hari ini.

***

TAK kapok-kapoknya orang berperang. Dalihnya klasik. Rebutan wilayah, pengaruh, dan kekuasaan. Simbol semangatnya bermacam-macam. Yang paling punya akses pembenaran adalah revolusi demi keadilan. Revolusi Perancis, Amerika, Rusia, dan Spanyol menjadi simbol pembebasan di mana-mana. Perang kemerdekaan banyak terjadi di Asia, Afrika, dan Amerika Latin sejak awal abad ke-20. Jutaan manusia mati, cedera, dan kehilangan segala-galanya sebagai martir, pahlawan, prajurit, korban tak berdosa, pengecut atau sekadar mati konyol. Penderitaan hidup akibat perang tak bisa diukur. Bahkan dibayangkan pun tak bisa, kecuali oleh mereka yang pernah mengalami.

Perang itu macam-macam jenisnya. Dari sekadar perang mulut, perang tanding sampai perang dunia. Walau istilah perang kembang dan perang brubuh hanya dijumpai dalam tontonan wayang, tetapi kenyataan sebenarnya dalam perang sungguhan memang ada. Yaitu episode perang awal hingga perang habis-habisan, tawuran akhir sampai semuanya rebah tak berdaya. Brutal, sadis tak kenal ampun. Korban berjatuhan "mblasah kadyo babatan pace", kias ki dalang. Artinya, korban perang berguguran bagai tebasan buah pace, berserakan di mana-mana. Lantas sampai tahap salah satu pihak keok tak berkutik, menandai takluknya pihak lawan dan berakhirnya suatu perang, tak ternilai penderitaan yang harus diderita oleh semua makhluk yang terimbas peristiwa perang. Langsung atau tak langsung, perang melibatkan apa dan siapa saja yang terlanda olehnya. Apalagi nanti bila perang global yang barangkali akan mesti terjadi di waktu yang kita belum tahu. Seperti diceriterakan dalam epik Bharatayuda, semua akan hancur lebur terkubur deru debu tanah dan api.

Lalu buat apa sebenarnya negara-negara super-edan dan setengah edan itu menciptakan senjata-senjata canggih pemusnah peradaban bila tidak untuk membuat perang dan saling menghancurkan? Bukankah sejak diciptakannya pisau panjang, bedil, dan mesiu sudah terbukti bahwa benda-benda itu memang dimaksudkan untuk menjadi alat pembunuh bagi sesama dalam suatu perang yang sengaja diciptakan? Nafsu saling menaklukkan memang mengerikan.

Dengarlah apa kata Joachim von Ribbentrop, "Bila ingin hidup tenang, maka tetangga-tetangga harus ditaklukkan lebih dulu". Tak kalah seru adalah seruan politik perdamaian Mao Tze Dong, "Bila mau hidup damai, bersiaplah mengangkat senjata!"

***

KREDO edan itu bertahan hingga hari ini, bahkan dipercaya menjadi dalil pertahanan paling jitu. Moto itulah yang menimbulkan konsep pertahanan semesta dan lomba pacu senjata pemusnah paling mutakhir. Bukankah konsep pertahanan antagonis India-Pakistan, Irak-Iran, Cina-Taiwan, mengacu pada konsep "perang demi perdamaian" seperti itu? Apalagi konsep pertahanan rudal semesta si tukang perang Rusia dan Amerika.

Amerika, misalnya, praktis belum pernah berhenti perang sejak Perang Spanyol 1898. Jeda, lalu menyusul Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Mereka terus berperang di Korea, Vietnam, Kamboja, Nikaragua, Haiti, Timur-Tengah, Kuwait, Iran, Irak, dan kini bersiap perang di Afganistan. Anehnya, semua perang yang dibuat atau melibatkan Amerika selalu dilakukan di luar wilayah mereka. Kesannya, sang invader ahli perang Amerika suka meng-ekspor perang di luar bumi sendiri. Halaman mereka bersih dari mesiu dan darah perang. Mesiu dan darah perang ditumpahkan di kebun orang lain. Maka ketika ada serangan mendadak semacam blitzkrieg dari luar, persis menohok jantung Amerika di Washington DC, New York, dan Pennsylvania, kontan mereka kalang-kabut-kalut tak menentu. Itulah awal "perang" pertama Amerika di negeri sendiri sejak berakhirnya Perang Saudara Utara-Selatan (War of Secession) yang panjang dan melelahkan, tahun 1816 hingga 1865. Perang teh, memang jahat! *

Reply via email to