http://www.sinarharapan.co.id/berita/0110/08/opi01.html

Syari’at, Agama dan Suku

oleh: Indra J. Piliang

Rifyal Ka’bah, dalam sebuah makalah, menyebutkan keberadaan syari’at Islam sebagai hukum positif di Indonesia: (1) UU No. 1/1974 yang mengatur sahnya perkawinan berdasarkan hukum agama (termasuk agama Islam, yang merupakan syariat); (2) UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama; (3) PP No. 70 dan 72 tahun 1992 yang menjelaskan bank bagi hasil dalam UU No. 7/1992 sebagai bank syari’at; (4) UU No. 10/1998 tentang Perbankan yang melegitimasikan perbankan syari’at; (5) UU No. 17/199 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji; (6) UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia yang memberikan mandat pembentukan bank atau cabang bank syariah pemerintah; (7) UU No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat; (8) UU No. 44/199 tentang Pelaksanaan Keistimewaan Provinsi Aceh, yang juga menyangkut pelaksanaan syariat Islam; dan (9) UU Nanggroe Aceh Darussalam. 

Dalam makalah yang sama, Rifyal juga menyebut tentang keberadaan Piagam Jakarta sebagai jiwa UUD 1945, sesuai Dekrit Presiden 5 Juli 1959. 

Catatan Rifyal itu menunjukkan, bahwa dalam sejumlah aspek hukum, Indonesia bukanlah negara yang semata-mata mendasarkan diri kepada nasionalisme sekuler. Indonesia sedari awal telah menempatkan kebangsaannya dalam hubungan yang transendental dengan mengakui keberadaan Tuhan Yang Maha Esa. Lepasnya Indonesia dari ”belenggu” kolonialisme, juga merupakan bagian dari intervensi Allah SWT. Yang muncul kemudian adalah nasionalisme yang sifatnya teistik. 

Persoalannya, apakah ”intervensi” Tuhan itu mesti mendapatkan bentuk legal-formalnya, sehingga mempunyai konsekuensi reward and punishment? Apalagi persoalan ini menempati urutan agak sensitif dalam hubungan antar iman di Indonesia. Kita tahu, bahwa yang meremukkan Maluku adalah sentimen keagamaan yang menafikan kemanusiaan. Dengan digelarnya ”proyek” otonomi daerah di Indonesia, yang salah satu bentuknya adalah UU NAD di Aceh, terbuka kemungkinan bagi munculnya sentimen keagamaan di daerah lain. 

Syariat Non Islam
Kekhawatiran terbesar saya adalah penggunaan sentimen keagamaan dan, bahkan, kesukuan semakin meningkat apabila negara memfasilitasi penerapan syariat Islam. Di daerah-daerah yang secara ”historis” berpenduduk non muslim punya potensi untuk menerapkan ”syariat” agama mereka, apabila dipandang penerapan syariat Islam memarjinalkan mereka. Taruhlah Sulawesi Utara, Bali, NTT, Papua, dan daerah-daerah lainnya. Politik lokal akhirnya didominasi oleh persoalan yang semestinya ”sudah selesai” dalam tataran kebangsaan Indonesia. 

Apabila penyelenggara negara tidak hati-hati menampung persoalan etnisitas dan agama yang meluap akhir-akhir ini, justru yang akan terjadi adalah kebingungan di tengah-tengah masyarakat. Harus jelas perbedaan antara apa yang berlangsung (1) di level penyelenggara negara; (2) di level partai-partai politik hasil Pemilu 1999; dan (3) di level masyarakat, baik masyarakat nasional maupun lokal. 

Di level penyelenggara negara, diterapkannya UU NAD merupakan konsekuensi logis dari upaya Jakarta untuk meminimalisir tuntutan kearah kemerdekaan oleh sebagian rakyat Aceh. Sedangkan penerapan peraturan lainnya yang merupakan bentuk dari syariat Islam, masih dalam tataran administrasi negara, terutama masalah bank, haji, atau perkawinan. Negara tidak melakukan intervensi kebijakan yang bersifat pilih kasih, tetapi hanya memberikan ruang yang lebih jelas untuk kalangan terbatas (para penabung, jamaah haji, atau orang yang ingin menikah menurut syariat Islam). Toh kebijakan serupa juga berlaku bagi ummat lain yang ingin menikah, menabung atau menjalankan ibadah agamanya. Terlibatnya negara, menurut saya, hanya pada level penataan administrasi.

Sedangkan di level partai-partai politik, kampanye penerapan syariat Islam lebih sebagai upaya meraih dukungan konstituen Islam, maupun upaya menjalankan Islam secara kaffah. Penerapan Islam secara kaffah bukanlah pelanggaran hak-hak warga negara lainnya, karena memang pada akhirnya negara tak punya hak melakukan punishment, apabila ummat Islam yang bersangkutan melanggar syariat itu. 

Sampai kinipun tak ada lembaga yang disebut Mahkamah Syari’at apabila terjadi perselisihan di antara ummat Islam dalam pelaksanaan syari’at Islam. UU Politik 1999 juga tidak membatasi penggunaan asas dan program partai-partai politik, selain memang masih dalam bingkai konstitusi. Adalah bertentangan dengan demokrasi apabila negara melarang partai-partai Islam mengkampanyekan perlunya pelaksanaan syariat Isam, apabila partai-partai itu menang dalam Pemilu. 

Dan boleh-boleh saja untuk terus memperjuangkan program-program partai itu di tengah-tengah masyarakat. Yang tak dibolehkan, tentunya, penggunaan kekerasan dan pelanggaran hak-hak warga negara lainnya atas nama agama. 

Sedangkan di level masyarakat non partai politik, perjuangan penegakan syariat Islam baru berjalan dalam organisasi resmi seperti Front Pembela Islam atau Laskar Jihad. Satu-satunya hukuman yang pernah dilakukan atas nama syari’at Islam adalah hukuman kepada Abdullah, tersangka pelaku perzinaan di Ambon. Di luar itu, juga muncul kalangan Islam sendiri yang merasa belum saatnya untuk memperjuangkannya. Diluar ummat Islam, tentu juga ada pendapat dari kalangan ummat lainnya, seperti Kristiani, Hindu, Budha, atau Kong Hu Chu. Menegaskan bahwa perbedaan pandangan itu merupakan prasyarat penting mencapai konsensus dalam kehidupan kenegaraan kita, menjadi penting. 

Persoalan Kesukuan
Lalu bagaimana posisi daerah-daerah yang mayoritas penduduknya non Muslim? Tentu menjadi hak mereka pula untuk menuntut dilaksanakannya syariat agama mereka. Dan itu dimungkinkan, pasca keluarnya UU NAD, mengingat negara berdiri sejajar dalam menghadapinya. Di daerah-daerah ini, tentunya Islam akan menjadi minoritas, sekalipun kalau diukur secara nasional Islam mayoritas. Akankah persoalan semacam ini sudah dipikirkan konsekuensinya, baik oleh penyokong maupun penentang penerapan syariat Islam secara daerah per daerah? 

Belum lagi daerah-daerah yang kental ikatan kesukuannya. Konflik di Sampit mestinya menyadarkan kita, betapa sesama agama juga bisa bertikai, karena ikatan kesukuan lebih kental. Berapa banyak etnis Dayak dan Madura yang tewas, padahal sama-sama Islam? Lalu bagaimana para penganjur wacana syariat Islam menghadapi persoalan ini? Belum lagi kalau melihat begitu kompleksnya persoalan hubungan di antara sesama muslim, berdasarkan mazhab masing-masing. Banyaknya organisasi keislaman dan partai-partai Islam menunjukkan, bahwa ummat Islam belum satu pendapat untuk soal-soal yang termasuk pada garis duniawi. 

Apabila syariat Islam diberlakukan di Sumatera Barat, misalnya, akan terdapat wilayah-wilayah yang notabene ”belum Islam” seperti Mentawai. Bagaimana posisi rakyat Mentawai dalam kerangka hukum syari’at Islam itu? Apakah Mentawai menjadi wilayah bebas yang nantinya, seperti selama ini, ”diperebutkan” oleh para penganut agama? Kalau memang demikian halnya, tentu kita kembali kepada abad-abad lampau, ketika daerah non Barat disebut sebagai daerah bebas. Batas-batas wilayah hanya berhak ditentukan oleh Paus di Vatikan. Atau, untuk Islam, ditentukan oleh kekhalifahan Utsmaniah di Turki. 

Keberadaan suku-suku bangsa itu, bagaimanapun, diakui sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Hak dan kewajiban mereka sama, sekalipun selama ini sering menjadi ajang pengerukan keuntungan oleh masyarakat dari ”peradaban modern”. Hutan, tanah, sungai, dan laut mereka banyak yang kemudian diambil alih oleh perusahaan-perusahaan negara dan swasta atas nama pertumbuhan. Padahal, kalau dilihat dari sisi kepemilikan atas kekayaan alam itu, mereka justru yang mestinya paling kaya, karena memiliki wilayah yang luas. 

Tetapi ketika negara hadir, hak-hak itu dirampas. Dan perampasan itu juga termasuk pada ”religi” mereka, dengan konsekuensi mereka menjadi sasaran ummat beragama lainnya untuk ”mengenal Tuhan”. Apakah mereka nantinya harus membayar upeti, atas tanah mereka sendiri, ketika negara memberikan ”jaminan” keamanan? 

Bom Waktu
Penerapan syari’at Islam, apabila tidak dilakukan secara hati-hati, saya kira akan merugikan Islam sendiri. Paling tidak ada dua persoalan. Pertama, persoalan di kalangan ummat Islam sendiri. Belum ada kesepahaman tentang penerapan syari’at ini. Ketika ummat sedang berlomba-lomba memerangi pengangguran, kelaparan, kebodohan, dan tingkat penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang masih rendah, mestinya partai-partai Islam menyokongnya. Karena bagaimanapun persoalan keagamaan seseorang, pada akhirnya, menjadi urusan pribadi masing-masing. Sebab tak ada seorangpun yang tahu, apakah orang lain itu sudah murni atau puritan dalam beragama atau belum. Pada akhirnya, semuanya terpulang kepada hati nurani masing-masing.

Kedua, persoalan ummat Islam dengan ummat lainnya, termasuk dengan suku-suku bangsa yang pada dasarnya belum mengenal agama, kalau ”agama” itu sebagaimana dipersepsikan oleh umum. Alangkah baiknya kalau yang dinomorsatukan adalah peraturan-peraturan yang menyokong kearah pembentukan masyarakat madani. Peraturan itu, seperti pemberantasan judi, pelacuran, korupsi, penyalahgunaan jabatan, dan masyarakat ideal yang digambarkan dalam teks-teks keagamaan masing-masing. Apabila hal ini dilakukan, dengan memberikan roh agama (terutama Islam) kepada teks-teks peraturan itu, saya kira kontroversi tak akan merebak. 

Dua persoalan itu, paling tidak, menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh ummat Islam, terutama para pemimpinnya. Kalau tidak, mengingat masyarakat Indonesia yang masih sensitif dengan isu-isu keagamaan dan kesukuan – seperti yang ditunjukkan dalam tragedi Ambon, Poso, Sampit, Sambas, Pekalongan, dan lain-lainnya – persoalan ini akan menyimpan bom waktu yang serius. Kalau ditarik ke garis ekstrim, misalnya, tak ada hak apapun bagi orang-orang Indonesia untuk mengeksploitasi hutan-hutan Kalimantan dan Papua, karena pulau itu merupakan milik suku-suku atau manusia yang lebih dahulu tinggal disana. Persoalan ini akan mudah sekali memicu sentimen tribalisme yang memuncak pasca tumbangnya rezim otoriter Soeharto. Maukah kita menanggung bom-bom itu, di tengah banyaknya persoalan yang hadir di tengah masyarakat kita? Wallahu ‘Alam. 

Penulis adalah peneliti Politik dan Perubahan Sosial CSIS Jakarta. 

Reply via email to