Assalamualaykum wr wb: Editorial berikut,bagi saya, mewakilkan foto bangsa indonesia yg semakin suram dan babak belur di masa mendatang bila tak juga berubah, wallahu 'alam.
wass, Boes ==== Media Indonesia, Rabu, 12 Desember 2001 EDITORIAL: Penindasan Paripurna KECELAKAAN bus di Subang, Jawa Barat, dua hari lalu, yang menewaskan 11 penumpang yang hendak pulang kampung merayakan Idul Fitri, adalah kejadian usang. Usang, karena peristiwa seperti itu terjadi akibat hal yang sama. Oleh sopir yang ugal-ugalan karena kebobrokan seluruh sistem perekrutan dan pengawasan. Tetapi, di saat seperti ini, ketika seluruh sistem berpikir nasional diarahkan kepada dimensi agamais dari peristiwa pulang kampung atau mudik, tragedi di jalan raya tidak boleh lagi dianggap usang. Dia harus dianggap sebagai ironi moralitas pelayanan. Memang, harus diakui, mudik yang rutin setiap kali menjelang Idul Fitri adalah sebuah ironi kemanusiaan yang amat parah. Ironis, karena pada saat itu terjadi klimaks dari seluruh kebobrokan. Mudik lantas menjadi sebuah penindasan, baik horizontal maupun vertikal. Kemacetan yang membuat Jakarta terasa sesak sepekan menjelang Lebaran adalah sebuah contoh penindasan horizontal. Sesama sopir dan pemilik mobil berebut kesempatan menyengsarakan yang lain. Pengemudi kendaraan umum merampas hak jalur orang lain tanpa merasa bersalah. Sesama penumpang saling mengumpat karena didahului kesempatan melanggar peraturan. Pemerintah pun tidak kalah bengisnya. Pengusaha bus kota diizinkan menaikkan tarif beberapa puluh persen. Tuslah yang tidak pernah dipatuhi itu selalu diberlakukan seakan-akan menjadi bagian dari perbuatan amal. Padahal, tuslah adalah bentuk lain dari penindasan juga. Penindasan vertikal dan horizontal terjadi di stasiun kereta api dan di kantor-kantor Pelni. Para pejabat di sana bermain dengan calo untuk proyek penyengsaraan. Untuk memperoleh tiket kereta api atau kapal laut, orang harus menginap semalam suntuk di stasiun. Kalau nasibnya jelek, dia harus berurusan dengan para calo yang memasang harga amat mencekik. Di dalam kereta api pun terjadi penindasan horizontal. Sesama penumpang saling mencuri kesempatan untuk menyengsarakan yang lain dengan membawa barang yang tidak bisa diterima akal. Ambil contoh, membawa kulkas dan televisi ukuran raksasa. Jadi, dari sisi kemanusiaan, mudik adalah sebuah penindasan paripurna. Penindasan karena pemerintah yang tidak bisa menyediakan sarana transportasi yang nyaman dan memadai. Penindasan paripurna juga karena nafsu mengalahkan sesama untuk memperebutkan kesempatan yang sangat sedikit. Penindasan karena kematian disiplin. Tetapi, manusia Indonesia rupanya memiliki sense kenikmatan yang lain. Yaitu, kenikmatan dalam penindasan itu. Termasuk nyali yang begitu tinggi menghadapi maut di tangan para sopir bus antarkota yang amat buruk berperilaku di jalan raya. Itulah yang mungkin bisa menjelaskan mengapa arus mudik tidak pernah surut dari tahun ke tahun. Dalam semangat pemuliaan manusia, negara tidak boleh lagi menjadi bagian dari penindasan di musim mudik. Kita ingin menyaksikan mudik yang menyenangkan, mudik sebagai rekreasi yang semakin mengangkat harkat dan martabat. Seharusnya bisa. Karena, mudik di Indonesia memiliki basis legitimasi sosioreligius. Kekuatan yang dahsyat. (Ren) RantauNet http://www.rantaunet.com Isikan data keanggotaan anda di http://www.rantaunet.com/register.php3 =============================================== Mendaftar atau berhenti menerima RantauNet Mailing List di http://www.rantaunet.com/subscribe.php3 ATAU Kirimkan email Ke/To: [EMAIL PROTECTED] Isi email/Messages, ketik pada baris/kolom pertama: -mendaftar--> subscribe rantau-net [email_anda] -berhenti----> unsubscribe rantau-net [email_anda] Keterangan: [email_anda] = isikan alamat email anda tanpa tanda kurung ===============================================