Mandanga carito manganai anak lelaki minang nan lalok di surau , ambo jadi
taringek carito urang gaek , ambo surang indak mangalami nyo.

Anak laki laki lalok di surau , anak padusi yo induak induak mang gosip di
pincuran air sambil mencuci baju, tuan datuak badebat di balai sati , anak
mudo yo urang gaek ma hota di lapau , makan bajamba ( makan bersama dalam
satu nampan besar ) adalah sebagian dari fragmen setting sosial budaya yg
membentuk karakter budaya minang.
Kebiasaan mahota di lapau setidaknya telah mengasah kemampuan berdiskusi/
berdebat serta memperluas wawasan. Coba lah bandingkan gaya mahota di lapau
dengan ngobrol di warung kopi di pedesaan jawa, terlihat sekali bedanya.

Hal itu semua saat ini telah mulai menghilang , mungkin sudah jarang kita
temui anak lelaki tidur di surau, mereka sekarang telah jadi anak mami yg
tidur di rumah , anak gadis dan ibu ibu tak lagi bertemu di pincuran karena
masing masing rumah telah punya sumber air tersendiri ( sumur atau ledeng )
anak mudanya jarang lagi berdiskusi bebas di lapau , orang tua dan datuk
jarang lagi bermusyawarah di lembaga adat ( balai adat )

Bisa jadi setting budaya seperti itulah ( anak lelaki tidur di surau ) yg
membentuk karakter orang minang tempo dulu yg tak kita temukan lagi saat
ini.
Setting sosial masyarakat minang saat ini cenderung membuat orang minang
menjadi individualistik, karena selama perjalanan hidupnya telah banyak
berkurang sarana sosial untuk berkumpul.

Bisa jadi masyarakat minang saat ini berbeda dengan saat dulu salah satunya
ialah karena  setting sosial yg telah berubah tsb.

Setting budaya tsb diwujudkan dalam wujud surau, pincuran tempat mandi dan
mencuci , tabek ( kolam ) lapau, lapang bapaneh dan balai tempat pertemuan
yg kesemuanya itu adalah sebagian syarat dari berdirinya suatu nagari.

Namun siapakah yg membentuk setting budaya tsb ?

Kalau dilihat anak lelaki tidur di surau adalah suatu bentuk pendidikan
dasar keagamaan bagi setiap lelaki minang ( apakah para ulama paderi kah yg
mempelopori ide ini dulu nya ? )

Makan bajamba ( makan bersama dalam satu nampan ) ternyata banyak ditemui
pula pada beberapa pesantren tradisional di Jawa , dan konon nabi Muhammad
pun makan korma dg para sahabatnya bersama sama dalam satu nampan.

Menarik pula makan bajamba tsb memperhatikan pula faktor higienis, dimana
tatatertib nya tangan tak boleh menyentuh mulut ( susah sekali bagi yg tak
biasa )

Kalau saya amati urang gaek kita yg lahir sekitar 1900 sampai 1950-an ,
masih kuat karakter budaya minang nya , dan mengenal tata tertib bergaul (
akhlak ) , bagaimana bersikap  dll. ( saya bangga pada mereka )
Orang minang yg lahir setelah peristiwa PRRI cenderung tak mendapat didikan
sosial budaya yg kuat lagi , sehingga lahirkan generasi baru urang awak yg
agak berlainan karakternya dengan generasi sebelumnya ( cenderung kurang
aturan/ kurang ajar ).

Kalau kita lihat di milis Rantaunet ini , bisa terlihat ada gaya pemikiran
dan etika mengemukakan pendapat yg berbeda antara anggota milis yg senior
dan yg muda
bisa terlihat pula pertarungan gaya berpikir mirip kaum paderi dan kaum
adat, wah poko'e rame rek.

Sekian campursari dari saya

Wassalam

Hendra M
Rawamangun - Jakarta



RantauNet http://www.rantaunet.com

Isikan data keanggotaan anda di http://www.rantaunet.com/register.php3
===============================================
Mendaftar atau berhenti menerima RantauNet Mailing List di
http://www.rantaunet.com/subscribe.php3

ATAU Kirimkan email
Ke/To: [EMAIL PROTECTED]
Isi email/Messages, ketik pada baris/kolom pertama:
-mendaftar--> subscribe rantau-net [email_anda]
-berhenti----> unsubscribe rantau-net [email_anda]
Keterangan: [email_anda] = isikan alamat email anda tanpa tanda kurung
===============================================

Kirim email ke