Senin, 04 Februari 2002 Mahalnya Bareh Solok Orang Padang memang lahap. Betapa lahapnya makan, simak saja lagu Bareh Solok yang didendangkan penyanyi Elly Kasim. Begitu menyuap nasi, si menantu baru tak tahu lagi kalau mertuanya sedang lewat di belakangnya. Beras memang telah lama jadi lagu di sini.
Orang Padang berselera tinggi. Tidak mau makan, kalau nasinya tidak enak. Biar dengan sayur pucuk ubi dan cabe giling, tetapi beras harus nomor wahid. Berbanding terbalik dengan itu, banyak penduduk di pedesaan yang terserang marasmus. Data terakhir menunjukkan, sekitar 130 ribu jiwa penduduk sedang diintai gizi buruk, terutama anak-anak. Mereka, jangankan makan beras kualitas prima, beras kelas rendahan pun sudah syukur. Tetapi, banyak juga anak-anak dari keluarga mampu yang terkena marasmus. Sebabnya, pengetahuan akan gizi ternyata kurang. Harga beras lokal kualitas prima, bareh solok anak daro di Padang saat ini mencapai harga tertinggi dalam sejarahnya, Rp 7.500/gantang (satu gantang setara 1,6 kg) atau Rp 4.700/kg. Bareh solok sokan dijual Rp 6.500-Rp 7.000/gantang, sementara beras solok kualitas nomor tiga, dijual Rp 6.000/gantang. Selama ini, beras lokal kualitas prima paling tinggi hanya dijual Rp 5.000/gantang. Tidak seorang pun yang bisa meramal, kapan harga beras lokal itu akan turun ke posisi yang wajar. ''Sepanjang pemerintah tidak bisa menenangkan pasar, selama itu pula harga beras akan terus bergejolak,'' kata Enizar, seorang guru mata pelajaran ekonomi di Padang. Titik keseimbangan pasar, katanya, dalam kondisi saat ini, akan sulit dicapai. ''Kecuali ada tangan ajaib, biasanya pasar memang punya tangan itu, tetapi entah kapan akan munculnya.'' Haji Morsel, seorang pedagang grosir beras di Padang menuturkan mahalnya beras lokal bukan karena petani tidak panen. Rupanya, beras tersebut dijual ke luar Sumbar, seperti Jakarta, Pekanbaru, Jambi, dan Batam. Permintaan tinggi terhadap beras lokal juga datang dari semua rumah makan Padang sepanjang jalur lintas Sumatera, bahkan sampai ke Jawa. Dalam kondisi normal, tidak ada persoalan, tetapi tatkala harga bergejolak, pengaruhnya terasa sekali. Buktinya, harga beras di Padang membubung pula. Menurut Morsel, tidak seorangpun pedagang beras yang bisa menolak permintaan dari luar daerah karena permintaan itu wajar dalam dunia bisnis. Urang awak yang merantau ternyata susah menukar selera, maunya makan dengan bareh solok terus. Meski begitu, denyutnya menyentak sampai ke dapur rumah tangga orang lain. Naiknya harga beras, dikeluhkan oleh Dewi, seorang ibu muda di Padang. ''Beras mahal, lauk pauk mahal, minyak tanah juga mahal, ongkos naik pula, bagaimana ini?'' Yang mengeluh bukan hanya Dewi, tetapi juga pemilik rumah makan. ''Kalau nasinya tidak enak, langganan saya pasti lari,'' kata Ayang, pemilik rumah makan Turagari, di jalan Karet, Padang. Apa pun risikonya, Ayang tetap akan membeli bareh solok anak daro nan enak, sebab pelanggannya memang sudah terbiasa. Tetapi kini, beras itu pula yang mahal. Ini akibat lanjutan lagu ''kenaikan harga'' yang didendangkan pemerintah. Secara nyata, berimbas pada kenaikan harga kebutuhan pokok. Kenaikan harga malah sudah terjadi, beberapa pekan menjelang pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM, awal bulan lalu. Kenaikan harga melibas semua bahan kebutuhan pokok. Bagi Chandra, seorang penarik becak di seputar Pasar Raya Padang, ketika ditanya soal kenaikan harga beras tak bisa berkata banyak. ''Hidup saya kian susah,'' katanya. Betapa takkan susah. Becak disewa Rp 10 ribu sehari. Pendapatan sehari paling banter Rp 30 ribu. Setelah dipotong makan Rp 5.000, saya hanya bisa membawa uang Rp 15 ribu. Ia punya satu isteri dan tiga orang anak. ''Sejak harga beras membubung, kami sekeluarga terpaksa makan beras Dolog yang harganya Rp 2.500/kg,'' kata Eri Idris, seorang penjahit terpal di perempatan jalan A.Yani, Padang. Dolog setiap hari melakukan operasi pasar (OP) di Padang. Jumlahnya sembilan ton per hari. Sebanyak lima ton di Pasar Raya Padang dan empat ton di Pasar Satelit Siteba. Sayang, beras OP itu tak banyak yang membeli. Selain harganya cukup tinggi, rasanya tidak enak. Beras Dolog, seusai dimasak hanya tahan beberapa jam. Setelah itu, nasinya bergetah dan baunya tidak sedap. Sementara beras lokal, bisa tahan 24 jam. Dengan beras lokal, penghematan minyak kompor juga bisa dilakukan. Kesibukan ibu rumah tangga juga bisa dikurangi. Apalagi sekarang sudah ada magic jar ada juga magic com. Sebagian orang memang bisa memanjakan seleranya. Namun, di belahan lain di provinsi yang kecil itu, ratusan ribu orang sedang mengerang dilanyau kemiskinan. Data yang dipetik dari Pemda Sumbar menunjukkan, sebanyak 130 ribu jiwa warga Sumbar dari total 4,5 juta jiwa , kini, terancam marasmus. Angka ini terbagi rata pada kelompok prasejahtera (rumah sederhana dan tingkat pendapatan yang sangat rendah) sebanyak 14.913 jiwa. kelompok pra-sejahtera I sebanyak 122.377 jiwa. Begitulah, bareh Solok tetap diburu, meski harganya ''selangit''. Di sisi lain marasmus juga menjadi cerita keseharian. khairuljasmi Muhammad Arfian [EMAIL PROTECTED] 044-861-0217 (home) 090-3909-5742 (mobile) RantauNet http://www.rantaunet.com Isikan data keanggotaan anda di http://www.rantaunet.com/register.php3 =============================================== Mendaftar atau berhenti menerima RantauNet Mailing List di http://www.rantaunet.com/subscribe.php3 ATAU Kirimkan email Ke/To: [EMAIL PROTECTED] Isi email/Messages, ketik pada baris/kolom pertama: -mendaftar--> subscribe rantau-net [email_anda] -berhenti----> unsubscribe rantau-net [email_anda] Keterangan: [email_anda] = isikan alamat email anda tanpa tanda kurung ===============================================