Pesawat Air France membengkokkan puncak hidungnya ke dasar stratosfer, timbulkan lamunanku melayang menuju orang Minang yang kerapkali disebut-disebut sebagai "Padang Bengkok". Bukan bersebab itu kuterjaga dari lelap panjang melainkan hidupnya lampu neon benderang yang ditingkahi irama musik lembut mendayu memenuhi pesawat. Kukuakkan sedikit jendela pesawat yang mempersembahkan adegan telanjang yang terpajang di luar sana.
Sampaikan rasa terima kasih dalam hati kepada pilot dan co-pilot yang bergadang ria semalaman memelototi puluhan monitor di depan incat matanya dan memandang lurus boyak ke hadapan langit berbintang yang tak berujung. Tetapi, mana tahu tanpa sepengetahuan kami yang lagi lelap mereka kemudikan pesawat dengan mulut yang berbuih-buih dan teler habis menenggak wine di kokpitnya. "Ah, peduli amat!" Penumpang lain menyibukkan diri mematut-matut wajah kusut sehabis tidur dan ada juga yang berangkat buang hajat ke jamban umum yang pastilah tengik berbau wine campur kotoran manusia. Sementara itu, masih enggan mataku mengalihkan pandangan dari simfoni alam yang dihidangkan kembang fajar yang merekah di ufuk timur sana. Belum jua mentari menyembulkan parasnya dan hanya sapuan spektrum warna yang beraneka warni membentuk lukisan manis di atas kanvas bumi dan di bawah langit. Kesempurnaan garis- garis simetris yang tidak pernah mampu diabadikan oleh seorang Affandi dan bahkan oleh Vincent van Gogh, Salvador Dali, pun Pablo Piccaso. Lukisan hidup yang berubah saban detik ini tidak pernah menuju ke kesempurnaan dikarenakan pencapaiannya dari waktu ke waktu itu adalah kesempurnaan itu sendiri. Tiada dia meninggalkan jejak di angkasa dan begitu saja menghapus segala kemegahan yang terlahir, lantas mencipta yang baru lagi. Tiada dia membangga-banggakan kehebatannya yang bertolak belakang benar dengan kepongahan sifat manusia yang kurang terkendali. "It's your breakfast, Sir!", ucap seorang pramugari bersuara lembut membuyarkan lamunan dan mengisyaratkanku merebahkan meja lipat. Makan malam yang sudah menjadi ampas dalam usus belum kukeluarkan sehingga halus kutolak tawarannya. Hanya secangkir teh saja yang kureguk untuk menyegarkan tubuh sekaligus untuk menelan bau mulut busuk sedari semalam. Tiga puluh menit berselang, pilot mentransfer suaranya dalam bahasa Prancis yang kedengaran bagai bacaruik pungkang, "@#็$%^&*..... ()_+{}"?><กฃขงงถ...ชบญ$..." Bahasa Prancis yang aku pahami hanyalah satu dua patah kata jadinya tidak menangkap sama sekali apa yang dicelotehkannya. Barangkali dia menyampaikan pesan buatku, "Uda Edizal! Sebentar lagi akan mendarat kita. Kencangkanlah tali kolormu biar tidak tersungkur burungmu." Pesawat menelusuri pegunungan Pulau Ile Grande Terre, tempat tujuan akhir kami, yang merupakan kepuluaun terbesar di New Caledonia. Pulau ini langsing memanjang semampai bagai Pulau Sumatra tetapi hanya sekecil Pulau Bangka saja yang kelihatan bagai terselaput tundra menghijau. Jauh dari pesisir pantainya terlihat beberapa pulau yang dihubungkan oleh hamparan kebiruan laut yang tenang. Pilot terus memperlambat laju pesawat. Bumi terasa kian mendekat dan mendekat. Burung metal ini mendaratkan kakinya bersilancar anggun di atas landasan pacu Bandara Internasional Noumea. Seorang petugas di landasan mengacung-acungkan bendera kecil seperti kode morse memandu pesawat hingga berhenti di titik yang ditentukan. Dari pintu yang terkuak berderetan kami bergerak menuruni tangga pesawat. Barangkali kegairahan yang memuncak ingin mencecahkan kaki di negeri ini secepatnya membuat perjalanan menapaki tangga begitu lama dirasa. Udara bersuhu 24C di pagi yang ramah mengenyahkan habis kegelapan malam dingin yang tak bersahabat. Kulemparkan tanganku lebar ke samping dan penuhi paru-paru dengan udara subtropis yang hangat sambil memandang ke langit biru yang luas. Rasa terbebas diri dari neraka jahanam dinginnya negeri salju yang memaguti Jepang hari sebelumnya. Ah, kalau saja agama Semit (Yahudi, Kristen, dan Islam) dilahirkan di Jepang atau Siberia, siapa tahu neraka tersebut digambarkan sebagai tempat yang dinginnya setengah mati dengan udara yang berbentuk lempengan es berhujan salju berkepanjangan. "Oi, New Caledonia! Lima windu lebih kau nantikan kedatanganku. Telah sampai aku ke haribaanmu serahkan jiwaku ragaku. Hapuslah kerinduanmu dengan air mata yang membanjiri pipimu." Tersimpul senyuman di bibir mungilnya yang merah meranum dan disurukkannya lembut jemari pualam kecilnya di antara jemariku yang besar lagi kasar. (bersambung) e http://rantau.freeyellow.com/ RantauNet http://www.rantaunet.com Isikan data keanggotaan anda di http://www.rantaunet.com/register.php3 ==============================================Mendaftar atau berhenti menerima RantauNet Mailing List di http://www.rantaunet.com/subscribe.php3 ATAU Kirimkan email Ke/To: [EMAIL PROTECTED] Isi email/Messages, ketik pada baris/kolom pertama: -mendaftar--> subscribe rantau-net [email_anda] -berhenti----> unsubscribe rantau-net [email_anda] Keterangan: [email_anda] = isikan alamat email anda tanpa tanda kurung ==============================================