(Tulisan yang ditulis oleh Emabdalah ini saya kutip dari Milis Proletar.
Menurut hemat saya substansi tulisan ini cukup bagus, dan mohon maaf
kalau ada yang “terusik” dengan gaya bahasa “Prol” pada tulisan ini.
Wassalam, Darwin )

Iedul Adha telah datang. Seluruh dunia kompak merayakannya di hari yg
sama : tgl 22 February 2002. Kenapa pada hari Iedul Adha ini seluruh
dunia bisa kompak? Bahkan di Indonesia pun seluruh ummat melaksanakannya
di hari yg sama. Kenapa tidak ada yg protes mengeluarkan jurus-jurus
ilmu Haditsnya untuk menyelenggarakan Iedul Adha pada hari yg lain? Atau
sekedar mempertahankan apa yg telah tertulis di kalender bahwa Iedul
Adha jatuh pada tanggal 23 February 2002? Kenapa para “ulama” itu tidak
ngotot-ngototan mempertahankan pendapatnya dg mengatakan secara lantang
kalau “bla… bla… bla… maka HARAM!… bla … bla… bla… NERAKA!” seperti yg
pernah mereka lontarkan kalau bulan Ramadhan dan Iedul Fitri datang?
Kemana? Kemana perginya itu OTAK-OTAK para “da’i” dan “muballigh” yg
kritis?

Kenapa kalau Ramadhan dan Iedul Fitri datang, selalu muncul
perbedaan-perbedaan? Apa hanya karena Hadits Ru’yah : “Barangsiapa yg
melihat bulan sabit, maka berpuasalah. Barang siapa yg melihat bulan
sabit maka berbukalah”?

Tidak bisakah seluruh dunia ini merayakan Iedul Fitri dan Puasa Ramadan
pada hari yg sama? Seperti mereka merayakan Iedul Adha? Kenapa para
muballigh, para da’i, para Kiyai, para ulama, terlalu “LETTER LUX”
menerjemahkan Hadits Ru’yah di atas? Kenapa mereka tidak melihat dan
MENGAKUI bahwa pada zaman Nabi Muhammad saw yg namanya Ilmu Falak,
Astronomi, perbintangan belum semaju sekarang? Sehingga Nabi, untuk
MEMPERMUDAH ummatnya melaksanakan Puasa dan Hari Raya mengeluarkan
Hadits tsb?

Kenapa tidak terpikir oleh mereka MAKSUD Hadits Ru’yah itu adalah :
“Kalau TELAH DATANG BULAN RAMADAN, maka berpuasalah. Kalau selesai bulan
Ramadan, maka berlebaranlah” ? Dan jaman dahulu, karena belum ketemu
alat-alat astronomi yg canggih, maka mereka hanya mengandalkan
penglihatan mata telanjang melihat bulan. Bukan hanya untuk melihat
bulan Ramadan saja, tapi setiap tiba bulan baru, mereka selalu melihat
bulan di langit sana, “sudah nampak apa belum, bulan sabitnya.” Kalau
nampak berarti awal bulan baru, entah itu Ramadan, Syawal, Dzul Qo’dah,
Dzul Hijjah, Sya’ban, Rabi’ul Awwal, SEMUANYA selalu menggunakan RU’YAH!

Dan pada sekarang ini, para ahli sudah bisa meramalkan dg tepat
pergerakan bintang-bintang, bulan dan matahari dg begitu presisinya.
Gerhana bulan yg akan terjadi 10 th mendatang sudah bisa diramalkan
sejak hari ini, lengkap dg jam, menit dan detiknya. Lengkap pula dg
durasi gerhana itu berlangsung. Begitu juga kedatangan gerhana matahari
yg akan terjadi 10 th mendatang, sama nasibnya dg gerhana bulan, sudah
bisa diramal dg tepat kedatangannya.

Jadi SEHARUSNYA tidak perlu lagi dipertentangkan. Sebab setiap bulan
sabit, yg menandakan jatuhnya awal bulan, sudah bisa diramalkan
jauh-jauh hari sebelumnya. Tidak perlu lagi repot-repot
menyipit-nyipitkan mata untuk mengintip bulan sabit. Tidak perlu lagi
manjat-manjat bukit yg tinggi untuk melihat awal bulan. Karena pada
malam tsb, jam tsb, menit tsb, detik tsb, posisi bulan sudah sabit kalau
dilihat dari tempat yg bersangkutan. Hanya karena awan gelap saja maka
mata tidak bisa melihat. Jadi tidak perlu menunggu lagi keesokan harinya
untuk menentukan awal bulan.

Mungkin ada yg tetap ngotot mempertahankan Hadits Ru’yah tsb berlaku
hanya pada bulan Ramadan dan untuk melihat Idul Fitri. Bulan yg lain
“bodo amat”. Untuk kelompok yg ngotot ini, saya pikir mereka “nyeleneh”
dg pendapat mereka. Kenapa? Sebab ketika menentukan awal puasa mereka
repot-repot nengok bulan sabit, tapi ketika menentukan waktu sholat,
waktu buka, waktu sahur dan imsak, mereka melihat jadwal imsakiyah yg
dibikin dg hasil observasi bintang, tidak lagi dg nengok-nengok ke arah
barat, melihat matahari sudah terbenam atau belum. Kalau mereka mau
konsisten mustinya setiap waktu mereka mau sholat dhuhur, asar, maghrib,
isya, dan subuh dan mentukan imsak, harus melihat matahari dan bulan :
Sudah tiba atau belum waktunya, tidak boleh melihat JADWAL imsakiyah yg
tentu saja dibikin dg hasil HISAB.

Dari hikmah Idul Adha ini, yg bisa terlaksana pada hari yg sama untuk
seluruh dunia, mustinya kita bisa OPEN MINDED, bahwa demi persatuan dan
kesatuan ummat dan mengikut perkembangan jaman, datangnya permulaan
Ramadan dan Iedul Fitri tidak perlu lagi dipertentangkan. Jadi alangkah
baiknya kalau para Da’i, para Ulama, para Muballigh, para Kiyai tidak
terlau ngotot dan secara harfiah memahami suatu Hadits. Terutama Hadits
Ruh’ya. Bukankah matahari yg kita lihat di Indonesia juga sama dengan
matahari yg kita lihat di Amerika, Jepang, Saudi, Irak, Sudan dll?
Bukankah bulan yg kita lihat di Indonesia juga sama dg bulan yg kita
lihat di Korea, Afghanistan,Perancis, Inggris dll?

Jadi dg ini saya instruksikan kapada seluruh ummat Islam di dunia, agar
Ramadan mendatang dan Iedul Fitrinya jatuh pada hari yang sama di
seluruh planet bumi ini, sebagaimana perayaan Iedul Adha yg selalu sama
jatuhnyanya di mana-mana.

Wassalam



RantauNet http://www.rantaunet.com

Isikan data keanggotaan anda di http://www.rantaunet.com/register.php3
===============================================
Mendaftar atau berhenti menerima RantauNet Mailing List di
http://www.rantaunet.com/subscribe.php3

ATAU Kirimkan email
Ke/To: [EMAIL PROTECTED]
Isi email/Messages, ketik pada baris/kolom pertama:
-mendaftar--> subscribe rantau-net [email_anda]
-berhenti----> unsubscribe rantau-net [email_anda]
Keterangan: [email_anda] = isikan alamat email anda tanpa tanda kurung
===============================================

Reply via email to