www.satunet.com, 1 Maret 2002

Aceh:

Dari Darussalam ke Darulharb?

 

Oleh

 

Indra J. Piliang

 

Abdullah Sjafei, 46 tahun, Panglima GAM yang berani itu, tewas bersama istrinya Fatimah Hasan (Ainsyah Hasan), dalam sebuah operasi militer di Pidie, 135 kilometer timur Banda Aceh, dibawah pimpinan Serka I Ketut Muliasara dari Yonif 330/Kostrad. Pembunuhan itu menegaskan semakin kuatnya spiral kekerasan membelit Aceh. Politik gelang karet Jakarta  menambah daftar korban, setelah Theys Eluay di Papua juga terbunuh November lalu. Tewasnya Syafie makin mengaburkan upaya Jakarta untuk menempuh jalan damai, bahkan dengan pendekatan keagamaan. Hikayat Perang Sabil seakan terus berdendang yang dibalas dengan pengiriman pasukan dari Jakarta. Keadaan ini tentu menggelisahkan, bukan hanya bagi masa depan Aceh dan Indonesia, tetapi juga bagi masa depan kemanusiaan.

 

Terbunuhnya Sjafei sempat menimbulkan spekulasi, betapa upaya kompromis Pemerintah, ternyata bermata dua. Sebab baru saja diumumkan sikap Gubernur Aceh Abdullah Puteh yang didukung kalangan elite Aceh ketika melayangkan surat undangan untuk berdialog dengan Sjafei. Belum sampai Sjafei menjawab undangan itu, TNI menewaskannya dalam pertempuran. Sjafei yang terlepas dari pasukan induknya, menemukan satu diantara dua pilihan perjuangannya: merdeka atau mati.

 

Tragedi ini mengingatkan kita pada kisah di Padang Karbala, ketika Yazid bin Muawiyah mengirimkan pasukan berkudanya, membunuh keluarga Husein bin Ali bin Abi Thalib (57 tahun), dalam sebuah rencana rekonsiliasi yang didahului dengan surat-menyurat. Sebagian besar dari 72 orang pasukan dan keluarga Husein terbunuh, dalam keadaan tidak bersenjata dan kelaparan, tepat 10 Muharram 61 Hijriyah (680 M). Pasukan Yazid konon sempat menjadikan kepala Husein sebagai bola sepak. Akibatnya, sejarah dunia Islam, khususnya kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah, berlumuran darah berabad-abad. Dalam tahapan akhir pergumulan itu, tentara barbar Mongol menghancurkan kekhalifahan Abbasiyah yang berpusat di Baghdad, dengan tak meninggalkan satu batu bata merahpun, tak meninggalkan satu buku pun. Harta kekayaannya dijarah, kaum intelektual dan ulama kompromis dibawa ke berbagai penjuru dunia.

 

Apakah Sjafei ada dalam skenario ala Padang Karbala itu, lewat rencana undangan dialog Abdullah Puteh, sulit untuk memastikannya. Puteh sudah membantahnya. Husein terbunuh, bersama istrinya, sebagaimana Abdullah Sjafei juga terbunuh bersama istri tercintanya. Yang jelas, mayat Sjafei dimakamkan oleh pihak keluarganya dengan baik. Sekalipun tak terdengar pemberian hormat (salute) di kalangan TNI, juga pemerintah Indonesia, kepada lawan tangguhnya dalam Perang Aceh itu, TNI berlaku santun atas mayat Sjafei. Upaya mendatangkan saudara seibu Tgk Lah (panggilan akrab Tgk. Abdullah Sjafei) Zakaria Suud oleh Pangkolakops TNI Brigjend Djalil Yusuf berupakan langkah yang patut dipuji.

 

Pasca tewasnya Syafei, Jakarta patut mencegah Perang Aceh menyemai bibit dendam yang terus menyubur. Belajar dari pengalaman penggunaan militer pasca DOM, ternyata malah menambah panjang daftar pembunuhan di Aceh, baik di kalangan rakyat Aceh, maupun di kalangan TNI. Sebagaimana dilaporkan Koalisi HAM Aceh, Dalam kurun 3 tahun pasca pencabutan DOM, 7 operasi militer di Aceh digelar. Diawali operasi Wibawa ’99, Operasi Sadar Rencong (OSR) serial I, II, dan III; Operasi Cinta Meunasah (OCM) serial I dan II; dan terkini, Operasi Keamanan dan Penegakan Hukum (OKPH). Akibat jejalan operasi militer diatas, paling tidak 4517 pelanggaran HAM dari berbagai kasus terdeteksi. Penelitian Mohammad Zulfan Tadjoeddin (2002), yang mengambil angka paling kecil dari laporan media massa sebagaimana konvensi yang berlaku di kalangan peneliti, menyebutkan sepanjang 1999-2001 terjadi 337 insiden di Aceh yang menewaskan 1238 orang. Sedangkan bulan Januari 2002 ini, korban tewas di Aceh mencapai 100 orang (KCM, 23/1).

 

Tragedi kemanusiaan di Aceh telah berlangsung lama, lebih dari satu abad. Korban terbesar dalam perang Aceh melawan Belanda terjadi awal tahun 1900-an, ketika Belanda mengerahkan marsose dan menerjang masuk ke benteng-benteng pasukan Aceh di pedalaman. Perang berlanjut melawan rezim Soekarno yang diakhiri dengan upaya menjemput Daud Beureu-eh ke pegunungan, oleh Panglima Kodam Iskandar Muda, Kolonel Muhammad Jasin.

 

Usaha Jasin menaklukan hati ulama tua Daud Beureu-eh patut ditiru. Usaha itu didahului dengan mengirimkan surat lewat kurir. Sebagaimana dicatat M. Nur el Ibrahimy (2001: 213-215) surat pertama Jasin dikirimkan tanggal 7 Maret 1961, lalu dibalas Beureu-eh tanggal 27 April 1961. Surat kedua dikirim tanggal 5 Agustus 1961 setelah didahului pertemuan utusan pribadi Jasin dengan Beureu-eh tanggal 4 Agustus. Balasan surat dari Beureu-eh (15 Agustus) dilanjutkan dengan pengiriman nota Jasin tanggal 12 September yang dilampirkan surat Kolonel Zulkifli Lubis (pejuang PRRI) yang sudah kembali ke pangkuan RI.  Surat-menyurat itu berakhir dengan pertemuan Kolonel Jasin dengan Beureu-eh tanggal 2 November 1961, yang kemudian berlanjut dengan turun gunungnya Beureu-eh. Tidak berlebihan isi pidato Kolonel Jasin bulan Desember 1962 di hadapan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh: “Seluruh daerah Aceh kembali menjadi daerah yang aman, dari Darulharb menjadi Darussalam.” Bandingkan surat-menyurat Daud Beureu-eh dan Kolonel Muhammad Jasin itu dengan selubung misteri surat Abdullah Puteh kepada Abdullah Sjafei. Bandingkan juga cara Jasin menyelesaikan pemberontakan DI/TII dengan menyebarkan pamflet lewat udara “...tak boleh ada seorang prajurit pun dari Kodam, mengeluarkan/menembakkan senjatanya kearah pasukan DI/TII...” (M. Jasin, 1998: 28) dengan cara kekerasan yang ditempuh TNI/Polri.

 

Tetapi apa yang kemudian terjadi adalah dipupuknya perang ketika TNI kembali melawan generasi Hasan Tiro, yang dilanjutkan dengan perang melawan generasi Abdullah Sjafei. Fase-fase Perang Aceh selama satu abad ini bisa terbagi empat: (1) melawan kolonialisme era Belanda, (2) melawan sentralisasi ideologi dan politik Jakarta era Soekarno, (3) melawan militerisme dan monopoli ekonomi era Soeharto, dan (4) apa yang disebut Jack Snyder sebagai Ethnic Wars, perang etnik. Snyder (2000: 359) mencatat sepanjang tahun 1977-1999, perang etnis di Aceh itu menewaskan lebih kurang 15.000 orang, dan 6000 displaced persons.

 

Ketika status Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) dicabut tanggal 7 Agustus 1998, harapan bergemuruh muncul dari banyak pihak, untuk memutus spiral kekerasan. Tetapi, sikap Jakarta yang keras, telah memancing perang baru, ketika GAM juga menyambutnya dengan keras. Akibatnya regenerasi dalam tubuh GAM berlangsung cepat, seiring dengan krisis multi-dimensi yang tak juga berhasil diatasi oleh rezim Jakarta. Kemiskinan di Aceh, dan formula penyelesaian damai yang carut-marut, dipastikan menambah simpati baru ke kalangan GAM. Suntikan darah baru itu akan datang dari anak-anak muda korban DOM yang sekarang berusia 20-an tahun. Sebagaimana dicatat Koalisi NGO HAM Aceh, “Tidak konsistennya pemerintah, menyebabkan dendam ekonomi dan politik rakyat Aceh semakin akut hingga melahirkan sebuah kesadaran politik baru; nasionalisme Aceh. Suatu keyakinan politik yang tidak akan terbina dengan sendirinya, andai tak ada proses yang mendahuluinya... Semangat nasionalisme lokal ini pada awalnya terbentuk dalam komunitas-komunitas kecil di bekas daerah DOM yaitu, Aceh Utara, Aceh Timur, dan Pidie. Namun seiring kekerasan senjata yang menindas, (nasionalisme Aceh) merambah luas secara massif di kalangan rakyat di tiap kabupaten.”

 

Nasionalisme Aceh, dan tragedi berselubung misteri ala “negosiasi” Padang Karbala dalam kematian Sjafei, tentu akan mempercepat proses reposisi masyarakat Aceh untuk melancarkan perang baru. Janji perdamaian yang muncul dari Jakarta akan semakin sulit dilaksanakan. Kita tinggal menunggu, apakah tragedi kemanusiaan Aceh menemui akhir sejarah, dengan menebalnya spiral kekerasan. Akibat yang sulit dibayangkan adalah tak satu batapun tertinggal, ketika bangunan menjadi puing di tanah Aceh, sebagaimana yang kita saksikan di Timor Lorosae. Aceh memang diambang perang besar, dari Darussalam kembali ke Darulharb...

 

Indra J. Piliang, peneliti CSIS Jakarta.

Kirim email ke