Sinar Harapan, Selasa, 5 Februari 2002

Memindahkan Ibu Kota, Mengapa Tidak?

Oleh Indra J. Piliang


Gagasan pemindahan ibu kota kembali mengemuka. Gagasan ini memang harus benar-benar dipikirkan, mengingat Jakarta sebagai ibukota sudah tidak lagi nyaman bagi penduduk. Di samping masalah banjir ”tahunan”, Jakarta juga sumber kemacetan, polusi air tanah, tata ruang yang amburadul, dan banyak masalah sosial, politik, juga ekonomi lainnya. Gagasan untuk memindahkan ibu kota juga berkembang di mailing list yang diikuti oleh sejumlah ilmuwan Indonesia, baik di dalam maupun luar negeri.

Penulis mendukung gagasan menarik itu. Alasannya bukan hanya karena Jakarta bisa saja tenggelam, entah berapa puluh tahun lagi, melainkan sudah terlalu banyaknya permasalahan di Jakarta yang pada akhirnya membawa implikasi masalah ke luar Jakarta. Lihat Jakarta sekarang. Narkoba dan judi merajalela. Di Jalan Gajah Mada, ada sebuah mesjid tua yang tiap malam Jumat didatangi oleh kaum peziarah berbusana khas. Tetapi tak sampai 500 meter, terdapat kumpulan gadis-gadis menjajakan diri di jalanan. Tempat peribadatan dengan ajang kemaksiatan berbaur bersama. Belum lagi puluhan pub, bar, tempat karaoke, yang menjanjikan kehangatan sepanjang malam.

Memindahkan ibukota lebih merupakan persoalan ekonomi politik. Soal budaya dan interaksi sosial antarwarga negara akan terbangun dengan sendirinya. Toh, Jakarta sekarang sudah ketinggalan zaman untuk ukuran produsen kebudayaan alternatif. Taman Ismail Marzuki kini sudah dikuasai oleh birokrat, dan tampaknya nanti akan jadi ajang mengeruk uang dengan menyewakan gedung/teater yang sedang dibangun kepada peminat ”kebudayaan” yang berani membayar mahal.

Soetardji Calzoum Bachrie, seingat saya sangat pesimistis dengan masa depan TIM, terutama setelah Bioskop Century 21 lebih banyak pengunjungnya, ketimbang acara-acara kebudayaan. Tardji malah optimistis dengan pusat-pusat kebudayaan di daerah yang kini maju pesat, seperti Bali, Yogya, dan Riau.

Kenapa menyangkut soal politik dan ekonomi? Saya menduga, dari sisi jarak saja, korupsi-kolusi-nepotisme terjadi begitu marak di Jakarta karena dekatnya kantor antara pengambil keputusan politik dan para pengusaha. Jakarta menjadi pusat bisnis, pusat aktifitas politik, sekaligus administrasi pemerintahan. Campur aduk tak karuan. Kalau kita mau mempengaruhi kebijakan, tinggal janjian dengan pengambil keputusan di lobi hotel, atau masuk ke kantor-kantor pemerintahan lewat jalur belakang dengan segepok uang, seperti dalam kasus Tommy Soeharto ketemu Gus Dur. Sangat gampang.

Belum lagi kalau hanya sekadar mempengaruhi opini publik lewat media massa. Tinggal mengerahkan orang-orang di jalanan, lalu menyebut ratusan nama organisasi resmi atau dadakan yang berkantor pusat di Jakarta, lalu muncullah berita di media massa. Banyak berita yang kemudian muncul sebagai ”berita nasional”, padahal hanya karena narasumber beritanya ada di Jakarta.

Banyak tokoh yang kemudian menjadi ”tokoh nasional” hanya karena berada di Jakarta. Agar perjuangan lokal menjadi muncul sebagai perjuangan nasional, tinggal dikerahkan orang-orang dari daerah atau orang-orang daerah yang tinggal di Jakarta, untuk menuntut propinsi baru, pahlawan nasional baru, penambahan Dana Alokasi Umum, dan banyak lagi.

***

Beban hidup di Jakarta juga berat, baik mental-spiritual atau fisik-material. Umur kita habis di jalanan, akibat macet, banjir, atau ada demo akbar. Acara-acara kenegaraan atau pertemuan internasional juga sering terjadi terlambat akibat faktor nonteknis. Seorang menteri harus naik ojek karena macet. Seorang cendekiawan terpaksa tak hadir dalam seminar penting, akibat banjir. Belum lagi dampaknya pada masyarakat kecil yang tak terliput koran. Saya masih ingat, terlambat ikut ujian di kampus, karena jalanan dipakai oleh anggota Kirab Remaja Nasional tahun 1993.

Sudah berulangkali penerbangan harus ditunda, akibat jalan menuju bandara macet atau banjir. Bagaimana dengan ibu-ibu yang hendak menuju rumah sakit hendak melahirkan? Atau orang-orang yang harus segera sampai di suatu tempat, tetapi terhalang kemacetan? Berapa kerugian yang harus ditanggung, baik mental atau material, akibat persoalan jalanan yang padat ini?

Akibatnya, produktivitas menurun. Anak-anak muda lebih suka tawuran karena ruang beraktivitas menyempit. Anehnya, pemerintah daerah menyikapi soal kemacetan ini dengan langkah-langkah tambal sulam. Untuk membuat arus lalu lintas lancar sepanjang 12 km antara Blok M—Kota, Pemda DKI, disetujui DPRD, memutuskan anggaran sebesar Rp 53 miliar lebih.

Padahal, soal kemacetan bukan hanya soal jalan, melainkan juga soal jutaan kendaraan yang membebani jalanan, bertumpuknya kantor-kantor pemerintah dan swasta sepanjang Blok M—Kota, dibangunnya pusat-pusat perbelanjaan, dan bahkan juga aktivitas politik seperti demonstrasi. Jalan hanyalah satu faktor saja dalam masalah kemacetan.

Coba kalau dipisahkan antara pusat administrasi-pemerintahan dan pusat politik, juga pusat bisnis. Bahkan akan lebih mudah dipantau siapa-siapa saja pengusaha yang datang ke ibukota, tujuannya apa, bertemu pejabat atau politisi mana. Juga akan mudah dipantau siapa-siapa oknum pemerintah yang pergi dari ibu kota, ke tempat-tempat bisnis dan politik, dengan meninggalkan meja kerjanya melebihi jam makan siang. Tinggal menempatkan reporter, peneliti, polisi ekonomi, di jalur-jalur trasportasi. Tinggal lacak lewat data penerbangan. Dari soal kecil ini saja, akan lebih memudahkan untuk mengontrol KKN.

***

Ibu kota memang harus dipindahkan, cepat atau lambat. Upaya pemindahan ini mesti dirancang dengan sangat baik, dengan terlebih dahulu dibangun infrastruktur di cikal bakal ibu kota baru itu, terutama gorong-gorong di bawah kota untuk mengendalikan banjir, mencegah penggalian-penggalian tak perlu untuk memasang kabel telepon, saluran PAM, dan lain-lain.

Mahatir, misalnya, membangun ”ibu kota baru”-nya dengan rencana bertahun-tahun, termasuk membuat tempat perjudian besar di utara Malaysia. Terserah, daerah mana saja yang dijadikan cikal bakal ibukota, yang penting benar-benar memperhatikan dan mengevaluasi perjalanan bandar Sunda Kelapa, yang berkembang menjadi Batavia, lalu berubah menjadi Jakarta yang semakin melebar ke Selatan. Batas kota lama di sekitar Jalan Harmoni dan Istana Negara kini jauh masuk ke wilayah-wilayah perkampungan Betawi dan masyarakat perbatasan lainnya, tanpa konsistensi terhadap rencana tata ruang dan tata kota.

Prasyarat lain untuk membangun ibu kota baru banyak. Yang lebih penting lagi distribusi pengetahuan, lewat universitas di daerah. Kalau universitas di daerah sudah bisa membiayai diri sendiri, punya ilmuwan andal yang berpikiran luas, untuk apa ilmuwan-ilmuwan andal harus datang ke ibu kota, mem-back-up kerja politisi, dunia bisnis, atau lembaga-lembaga negara?

Jadi, mau ibu kotanya Makasar, Nusakambangan, Flores, Palangkaraya, yang penting infrastruktur di sana sudah lumayan baik. Selain itu, ibu kota baru itu sedapat mungkin terdapat di dataran tinggi, seperti Bukittinggi atau Ambon bagian atas. Evakuasi ribuan pejabat pemerintahan tak terlalu sulit.

”Komisi Khusus Pembangunan Ibukota Baru” juga mesti diawasi oleh orang-orang jujur dan berkeahlian tinggi agar tak terjadi korupsi atau kolusi, seperti rencana pembangunan Jonggol. Kalau perlu kantor-kantor departemen disebar. Jangan seperti Jakarta sekarang, yang konsep pembangunan kotanya—terutama letak istana, gedung pemerintahan, militer, politik dan bisnis—hanyalah kelanjutan dari Mataram: Negaragung-Mancanegara-Pesisir yang melahirkan upeti oleh bawahan kepada atasan yang membuat konflik tentang privatisasi, BUMN, dana partai, dan klientisme di pemerintahan.

Sedangkan Jakarta, biarkan menjadi pusat bisnis, kebudayaan, atau jalur distributor perdagangan dunia, tetapi tidak sebagai ibukota pemerintahan. Jakarta bisa dijadikan sebagai tempat mangkal anak-anak muda, pusat pendidikan tinggi, atau rencana lainnya. Rencana strategis pemerintah dan parlemen mestinya lebih diarahkan ke masa depan, bukan hanya membikin lalu merevisi undang-undang (institusionalisasi demokrasi), atau memperebutkan jatah kursi presiden yang sedikit memberi manfaat bagi rakyat. Bermimpi tentang ibu kota baru, sepertinya jauh lebih menyehatkan, ketika beban hidup semakin berat.

Penulis adalah peneliti CSIS, Jakarta.

 

Kirim email ke