Babelok Jalan ka New Caledonia (3)

Bandara Internasional Noumea merupakan terminal terakhir 
bagi pesawat yang bertolak dari kota-kota metropolitan Asia, 
Eropa, dan Amerika yang menuju wilayah ini. Menengok suasana 
yang sesungguhnya dari bandara ini, musnahlah khayalanku akan 
keluasannya yang ternyata setali tiga uang dengan Bandara 
Internasional Tabing kendati berbeda tingkat kecanggihannya. 

Hanya tiga pesawat kecil, termasuk pesawat yang kami tunggangi, 
yang bertengger di lapangan parkir yang lengang.

Bunga-bunga tropis dan subtropis berwarna merah, kuning, putih, 
ungu, dan lainnya diatur sedemikian rupa berderet apik memanjang 
menuju ke segala arah. Semilir angin membelai lembut sekujur 
tubuhnya yang bergoyang ke kiri kanan muka belakang. Bunga 
flamboyan yang merimbun merah bermekaran mencelupi langit 
biru dan begitu sedap dipandang mata. Beberapa jenis bunga mirip 
amat dengan bunga liar yang sering kulihat di pedalaman Kabupaten 
Agam di masa yang silam.

Tidak ada belalai mekanik yang menghubungkan mulut pintu 
pesawat dengan lobi kedatangan sehingga sejenak kami menapaki 
lapangan parkir pesawat yang mulus. Pintu lobi kedatangan terkuak 
lebar menyedot kami masuk. Selain kami yang baru datang, satu 
pun tidak penumpang pesawat lain yang menampakkan puncak 
hidungnya.

Di hadapan loket imigrasi, antrian berbaris semua orang tertib 
seperti anak TK yang sudah diajar baris-berbaris. Ingatan saya 
terbang ke masyarakat Minang yang kebanyakan manusianya sudah 
kebal luar dalam dengan perasaan "primitifnya" yang susah diajari 
bagaimana indahnya suatu antrian. Mereka perlu belajar dari anak 
TK, memang.

"Bonjour!"

Salam sapaan ini ditangkap oleh telingaku bagai "Banjur!" dalam 
bahasa Sunda yang berarti "guyur". Kalau saja yang mengucapkannya 
orang Sunda, tentulah sudah basah kuyup aku diguyur. Raungan yang 
sama keluar dari mulutku tanpa tahu apakah lafalnya betul atau 
kacau beliau.

"Bara ri di siko, Da?"

"Sapuluah hari."

"Cap!" Dia membubuhkan cap pada pasporku yang berwarna hijau. 
Begitu saja selesai dan menyelinap aku pergi meninggalkan ucapan, 
"Merci beaucoup!"

Udara ber-AC dalam lobi kedatangan tersebut terasa cukup hangat 
bagi badanku yang masih dibungkusi pakaian musim salju. Kuturuni 
tangga menuju WC umum yang terletak di ruangan bawah tanah dan 
berganti pakaian di sana sehabis mengencingi pulau ini untuk 
pertama kalinya. Terasa badan lebih segar dirasa dengan baju 
kaus yang mudah digerayangi angin yang lembut mengalir.

Dilipatnya rapi pakaian kumuhku yang dikenakan semalaman, 
dimasukkannya ke dalam kopor kami yang besar. Lantas, beranjak 
kami menapaki lantai yang mengkilat bersih ditemani musik 
bening yang mengisi udara.

Di pintu keluar, seorang petugas pabean mengumbar senyum lebar 
sambil meraih pasporku. Jelas, tingkah laku ini merupakan salah 
satu kiat menjajakan pariwisata agar pelancong merasa betah dan 
mau datang lagi menebarkan gepokan uang. 

Sesudah memelototi pasporku sejenak, tanpa menanyakan apa isi 
kopor yang kubawa, tersenyum terus dia mengangguk dan ramah 
mempersilakanku hengkang berlalu. Berbeda amat dengan beberapa 
penumpang lain yang digeledahi barang bawaannya disertai pertanyaan 
yang bertubi-tubi bagai senapan mesin. Agaknya aroma shinkon ryoko 
yang mengambang menyelimuti udara membuat dirinya pun berperasaan 
romantis dan enggan menyita waktu kami sekalipun dengan satu 
pertanyaan.

(bersambung)

e

RantauNet http://www.rantaunet.com

Isikan data keanggotaan anda di http://www.rantaunet.com/register.php3
===============================================
Mendaftar atau berhenti menerima RantauNet Mailing List di
http://www.rantaunet.com/subscribe.php3

ATAU Kirimkan email
Ke/To: [EMAIL PROTECTED]
Isi email/Messages, ketik pada baris/kolom pertama:
-mendaftar--> subscribe rantau-net [email_anda]
-berhenti----> unsubscribe rantau-net [email_anda]
Keterangan: [email_anda] = isikan alamat email anda tanpa tanda kurung
===============================================

Kirim email ke