kalau dilihat dari sisi historis budaya, bisa jadi memang banyak awak nan jadi keturunan malin kundang...., ( maksudnya malin kundang , pamer sekali ketika pulang kampuang dan berhasil, sampai tak mau mengakui ibu nya sendiri )
dari pepatah " rang mudo pailah marantau, di rumah paguno balun" , mendorong anak muda pergi merantau , untuk "mencari" eksistensi dirinya , karena "golongan tua" ( pemilik nagari) belum lah merasa ia berguna banyak di nagari nyo. ketika lebaran , ia pulang ke kampuang nyo , mobil dan bentuk kekayaan lainnya , itulah salah satu bentuk nya / walaupun paling rendah tingkatannya , untuk menunjukkan eksistensi diri nya . Kembali ke pepatah , " di rumah, paguno balun" , harus lah pula dibuat kejelasan, kapan ia ( rantau) dianggap "telah berguna" , dan apa bentuk partisipasi nyatanya. Dalam hal ini bisa dikata ninik mamak awak ( tetua nagari ) tidak memiliki konsep yg mendasar. Yang terbayang hanyalah sumbangan finansial rang rantau untuk membangun mesjid , misalnya . Padahal sebenarnya lebih besar lagi harusnya. Secara struktural , mungkin rang gaek ( ninik mamak dlsb ) yg memanggil rang rantau pulang, duduk bersama membicarakan apa yg akan dibangun di nagari awak , apo pulo sumbangan rang rantau ? , kalau baintun caro nyo , barulah bisa terbangun , sumbangan yg struktural dari kedatangan rang rantau ke kampuang halamannya. acara seremonial , spt alek gadang , akan terjebak dalam simbolik sempit juga akhirnya, diperlukan suatu action plan yg lebih kongkret. H Karim Amrullah atau Buya Hamka, dipanggil oleh tetua kampuang nyo , dari merantau mencari ilmu ke Mekah, dan memang mereka dg ilmu yg telah diperolehnya , membangun nagari nyo ( berdakwah ) jadi kalau rang rantau pulang , yah pulang saja karena ada ongkos , menyilau rang gaek, hanya sebatas itu. tak lebih. (atau bisa jadi urang awak , pulang lebaran , mengikuti sosio-budaya , para pembantu wong Jowo , ketika pulang kampung) , istilahnya saja pemudik, pulang ke udik, Udik dalam konotasi sosiologi adalah daerah terkebelakang. Yah begitu lah jadi nya, pamer kekayaan , that just a simple way. Bagi sebagian orang pulang kampuang tak lebih dari sekedar berlibur. Kalau kita lihat khasanah sastra minang tempo dulu , rasanya tak ada pola budaya, pulang ka kampuang ketika Idul Fitri , bisa jadi ini suatu budaya pop , mencontoh pola budaya orang Jawa. Yang dikenal dari histori tsb ialah , rang minang yg pulang ke kampuang nya setelah mendapat ilmu yg berguna dan mengamalkan ilmunya yg sangat ditunggu tunggu anak nagari nyo. Pada kondisi saat ini , rang awak yg sukses di rantau cenderung tidak mau kembali ke daerah asalnya, dan memilih tinggal di rantau ( istilahnya marantau Cino ) , pulang ke kampung sekali kali saja waktu liburan ( ada yg sekalian pamer juga akhirnya ) . Ketika hal tsb terus berjalan timbul pola baru bahwa orang minang yg tinggal di nagarinyo , menjadi marginal , rang minang nan hebat hebat ado di rantau . Pola budaya nya jadi berbalik , anak nagari "meminta" bantuan kepada orang rantau ketika akan membangun masjid, prasarana, balai adat dll . Rang rantau pun menjadi seperti orang penting , persis sekali bagaikan hubungan antara daerah dg pusat ( Jkt ) atau hubungan antara negara Indonesia dg negara maju ( IMF, World Bank dll ) , hubungan kelompok marginal dan central resource ( sumber finansial, informasi,teknologi dll ) sekian sekedar pandapek dari ambo , mohon maaf kalau kurang tapek. wassalam Hendra M (33) Rantau - Pulau Gaduang Jujur..... memang itulah yang ditangkap oleh sebahagian orang kampuang dunsanak awak nan tetap basikokoh "bertahan" di kampuang halamn berjuang dengan segala kekurangannya selama ini, namun.........., kalaulah ini dilihat sebagai peluang, mungkin ada banyak hal yang bisa dilakukan, itupun haruslah dengan syarat, bahwa semua pihak berani membongkar tabir apriori seperti apa yang terangkat kepermukaan oleh seorang Bujang dimana ia popuiler dengan dipanggilan saat ini. Bersatulah sehingga kelihatan kokoh , jan banyak juo nan kamuko tapi gadang dan taguah sarato arek no nan manjadi andalan, bulek, boneh, baisi. Wassalam AAR (55) -----Original Message----- From: [EMAIL PROTECTED] [mailto:[EMAIL PROTECTED]] Sent: Monday, November 25, 2002 12:01 PM To: dedi hidayat; [EMAIL PROTECTED] Subject: [KuraiNet] [ikaeska] FW: Wahai para Pemudik, jangan Pamer Kekayaan di Kampung Halaman ! Elok-elok di kampuang ...... Wahai para Pemudik, jangan Pamer Kekayaan di Kampung Halaman! Padang-RoL--Seniman asal Sumatra Barat, Andria "Bujang" Adhan, merisaukan para perantau Minangkabau yang setiap kali pulang lebih banyak memamerkan kekayaan dan tidak meninggalkan "jejak" ketika kembali ke rantau. "Perantau asal Minang setiap pulang ke kampung halaman lebih mengutamakan memajang mobilnya di depan rumah ketimbang memberikan sesuatu yang berharga untuk pembangunan kampung halaman," ujar pemeran tokoh Bujang dalam sinetron Duo Datuk ini di Padang, Sabtu. RantauNet http://www.rantaunet.com Isikan data keanggotaan anda di http://www.rantaunet.com/register.php3 =============================================== Tanpa mengembalikan KETERANGAN PENDAFTAR ketika subscribe, anda tidak dapat posting ke Palanta RantauNet ini. Mendaftar atau berhenti menerima RantauNet Mailing List di: http://www.rantaunet.com/subscribe.php3 ===============================================