Title: Maize
iyolah mamak nofendri...dan ambo raso indak mungkin pulo mangganti namo Padang jo ladiang kan ?
hehehehehe
----- Original Message -----
Sent: Tuesday, November 26, 2002 12:57 PM
Subject: [RantauNet.Com] PROVINSI MINANGKABAU #2

Oleh Edi Utama

PENOLAKAN saya untuk mengganti nama Provinsi Sumatra Barat menjadi Provinsi Minangkabau (14 Juni 2000), mendapat tanggapan yang serius dari Angku Rusdi Wahab, seorang pekerja sosial dan menetap di Maninjau. Dengan judul tulisan “Provisi Minangkabau, Kenapa Tidak” (21 Juni 2000), Angku Rusdi Wahab mengajukan dasar hukum yang memungkinkan digantinya nama Provinsi Sumatra Barat menjadi Provinsi Minangkabau. Dasar yang digunakan adalah produk Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, serta sistem pemerintahan yang dibentuk kolonial Belanda menjelang meletusnya Perang Dunia II, yakni tentang Keresidenan Sumatra Barat 1937-1938. Keresidenan Sumatra Barat ini dianggapnya sebagai suatu perubahan yang bersifat reformis dalam sistem pemerintahan di Minangkabau(?). Berdasarkan berbagai argumen, akhirnya Angku Rusdi Wahab berkesimpulan, bahwa cukup alasan untuk mengganti nama Provinsi Sumatra Barat menjadi Provinsi Minangkabau.

Tentu saja perbedaan pendapat ini boleh saja. Namun pada kesempatan ini saya ingin menegaskan kembali pandangan saya tentang topik perbincangan ini. Alasan penolakan saya jelas, karena saya melihat Minangkabau sebagai suatu konsep kultural. Jadi kalau berbicara tentang konsep wilayah, maka yang dimaksudkan adalah wilayah dalam pengertian kultural tersebut. Rasanya tidak mungkin menarik pengertian lain tetang Minangkabau, selain mendasarinya dari konsep kultural ini. Sementara Angku Rusdi Wahab, telah mencampur-adukan antara konsep kultural dengan konsep struktural-politis, yaitu antara Minangkabau dengan Sumatra Barat yang jelas-jelas menunjuk pada konsep struktural-politis. Pemerintahan kolonial Belanda pun tidak menyebut Keresidenan Minangkabau, tetapi tetap Keresidenan Sumatra Barat. Atau, Sumatra Westkust dalam bahasa mereka. Jadi di sinilah kerancuan itu dimulai, karena ada perbedaan yang mendasar antara pengertian geokultural dengan geopolitik. Namun Angku Rusdi Wahab, tidak lagi melihat perbedaan ini sebagai hal yang prinsipil. Sebagai suatu konsep kultural, Minangkabau memang mengenal adanya pengertian wilayah budaya, yaitu luhak dan rantau, yang bersifat dialektis dan dinamis. Wilayah luhak yang terdiri dari nagari-nagari ini, mungkin bisa dipetakan secara administratif-geografis, namun wilayah rantau menurut konsep kultural Minangkabau, bagaimana memetakannya, karena begitu dinamis dan terus berkembang.

Saya dapat memahami jalan pikiran Angku Rusdi Wahab, sejauh ia berbicara tentang wilayah dalam pengertian geopolitik Sumatra Barat, yang mengacu kepada landasan historis yang dibuat pemerintahan kolonial Belanda. Namun sulit untuk mengkaitkannya dengan Minangkabau dalam pengertian wilayah kultural? Bagaimanakah memposisikan kepulauan Mentawai dalam konsep Provinsi Minangkabau misalnya, pada hal secara geopolitis adalah bagian dari wilayah Provinsi Sumatra Barat. Atau, bagaimanakah mendudukkan konsep rantau dalam pengertian geopolitis, pada hal konsep ini sangat penting secara kultural bagi Minangkabau.  

Inilah antara lain yang menjadi dasar pemikiran saya untuk menolak mengganti nama Provinsi Sumatra Barat menjadi Provinsi Minangkabau. Selain mengacaukan pengertian konsep kultural Minangkabau, juga memungkinkan terjadinya dominasi politik dan kebudayaan dari Minangkabau terhadap minoritas yang ada di Sumatra Barat. Bukankah kebudayaan Minangkabau menolak segala dominasi dalam bentuk apapun.

Kemudian, yang juga menjadi persoalan bagi saya membaca tanggapan Angku Rusdi Wahab, adalah pemikirannya yang mengandung kontradiktif. Pada satu sisi ia mengajak kita perlunya kembali ke akar budaya, dengan menjadikan wilayah Provinsi Minangkabau sebagai Motherland. Namun pada sisi lain ia juga mengukuhkan akar historis yang dibentuk oleh pemerintahan kolonial Belanda, sebagai dasar dari pembentukan Provinsi Minangkabau. Menurut saya,, kalau kita mau berbicara tentang “kembali” ke akar budaya Minangkabau, apapun yang ingin kita kembangkan sekarang ini tentunya harus merujuk kepada konsep budaya Minangkabau itu sendiri. Artinya, legitimasi kulturalnya haruslah berangkat dari konsep, nilai-nilai dan pemahaman budaya yang dibentuk dan dikembangkan oleh sejarah kebudayaan dan masyarakat Minangkabau itu sendiri. Jadi legitimasinya bukanlah oleh dan dari pemerintahan kolonial Belanda, yang bagaimanapun tetap merupakan pemerintahan jajahan.

Dengan demikian, kalau kita mau berbicara untuk mengembangkan Mminangkabau sebagai suatu wacana perubahan, seyogianya haruslah juga berangkat dari nilai-nilai keminangkabauan itu sendiri. Oleh karena itu muncul lagi pertanyaan, apakah dalam sejarah kebudayaan Minangkabau kita bisa menemukan pengertian tentang wilayah administratif pemerintahan atau, geopolitik? Kalau itu ada, maka itu tidak lain hanya terdapat dalam basis kultural masyarakat Minangkabau yang kita sebut nagari. Di luar itu semua adalah ciptaan dari penguasa, baik penguasa kolonial maupun oleh pemerintahan kita sendiri, yang sampai kini masih belum juga memberikan otonomi yang sungguh-sungguh terhadap basis kultural Minangkabau tersebut.

Kirim email ke