> -----Original Message-----
> From: Revrisond Baswir 
> 
> Comedy of the Comedy?
> Berikut komentar saya terhadap artikel "Komedi Privatisasi Indosat," yang
> ditulis oleh Sdr. Abdul Rahman di detik.com.
> (1)   Saya sebenarnya enggan melibatkan diri dalam persengketaan antara
> Amien dan Laks yang berlangsung belakangan ini. Sepakat dengan banyak
> pihak, saya memang melihat adanya upaya sistematis dari berbagai kalangan
> untuk mempolitisasikan perlawanan terhadap privatisasi yang sudah
> berlangsung cukup lama. Namun saya tidak dapat serta merta menyimpulkan
> bahwa hanya pihak Amien lah yang melakukan politisasi. Upaya serupa saya
> saksikan pula dalam lingkungan para penghayat privatisasi. Dengan
> membesar-besarkan keterlibatan Amien, seperti terungkap dalam artikel Sdr.
> Abdul Rahman, jelas sekali kelihatan adanya upaya sistematis untuk
> mendiskreditkan perlawanan terhadap privatisasi sebagai sebuah gerakan
> politik murahan. Padahal, perlawanan terhadap privatisasi tidak hanya
> berlangsung di Indonesia, tetapi berlangsung di seluruh dunia, termasuk di
> AS, Inggris, dan di banyak negara lainnnya.
> (2)   Secara keseluruhan saya melihat Sdr. Abdul Rahman mencoba memaksakan
> diri untuk menyederhanakan persoalan divestasi Indosat semata-mata sebagai
> persoalan bisnis dan teknologi. Padahal sebagai sebuah perusahaan negara
> yang notabene modalnya dimiliki seluruh rakyat Indonesia, persoalan
> divestasi Indosat tidak mungkin dipisahkan begitu saja dari pertimbangan
> poleksosbud. Seseorang tidak memiliki atau menjual harta benda semata-mata
> karena pertimbangan bisnis atau keterbelakangan teknologi. Demikian halnya
> sebuah bangsa. Tetapi memang demikianlah argumen yang tipikal dari para
> penghayat privatisasi. Jika mereka keluar sedikit saja dari
> pertimbangan-pertimbangan bisnis-teknologis, struktur argumentasi mereka
> biasanya langsung hancur berantakan.
> (3)   Tetapi kesalahan besar itulah antara lain yang dilakukan oleh Sdr.
> Abdul Rahman ketika ia mencoba mengait-ngaitkan sikap kritis yang
> dipertontonkan oleh Amien dengan perilaku polisi di pinggir jalan. Dalam
> perkembangan wacana di dunia internasional mengenai privatisasi,
> belakangan justru semakin banyak yang meyakini bahwa justru pelaksanaan
> privatisasilah yang sarat dengan suap dan komisi. Dibandingkan dengan
> mengutip komisi dari proyek infrastruktur, mengutip komisi melalui
> penjualan BUMN memang lebih mengasyikkan. Selain nilai transaksi cenderung
> berukuran besar, pertanggungjawabannya pun terbatas berupa masuknya hasil
> penjualan BUMN ke kas negara. Tidak perlu pertanggungjawab fisik
> sebagaimana proyek infrastruktur. Maka tidak aneh jika belakangan
> berkembang sebuah slogan baru di dunia internasional, "PRIVATISATION IS
> THE MOTHER OF CORRUPTION."
> (4)   Berbicara mengenai perlawanan terhadap privatisasi, Sdr. Abdul
> Rahman tampaknya mencoba untuk berlagak pura-pura tidak tahu
> (jangan-jangan memang tidak tahu), bahwa perlawanan tidak hanya datang
> dari para pekerja, tetapi juga dari para intelektual seperti James Petras,
> JW Smith, Susan Goerge, David Corten, Richard Dornbusch, atau Ali
> Faramzan, tetapi juga dari seorang penerima hadiah Nobel dan mantan Wakil
> Presiden Bank Dunia sekaliber Joseph Stiglitz. Bahkan, dalam konteks yang
> lebih luas, Sdr. Abdul Rahman juga mengabaikan meluasnya perlawanan
> terhadap neoliberalisme di seluruh dunia. Penyelenggaraan sidang WTO di
> Seattle terpaksa dibatalkan karena didemo oleh para aktivis. Demo-demo
> besar menentang neoliberalisme kemudian juga terjadi secara besar-besaran
> di Washington DC, Praha, dan Itali. Oh ya, bukankah Presiden baru Korea
> Selatan, pengganti Kim Dae Jung, adalah seorang mantan aktivis buruh
> berhaluan progresif?
> (5)   Jika saya perhatikan komentar Sdr. Abdul Rahman mengenai sikap para
> pekerja Indosat, penulis artikel kita yang kocak ini rasanya sangat tepat
> bila diangkat menjadi penasihat pribadi Soeharto. Jika pada tahun
> 1997/1998 Sdr. Abdul Rahman memiliki jabatan sebagai penasihat pribadi
> Soeharto, ia tentu akan dengan lantang pula berkata bahwa aksi-aksi yang
> dilakukan oleh para mahasiswa ketika itu sebagai sebuah tindakan yang
> "kebablasan." "Mengapa mahasiswa harus repot-repot mencampuri urusan
> penyelenggaraan negara. Kalau mau demo, mahasiswa seharusnya fokus pada
> persoalan-persoalan kemahasiswaaan. Selama proses penyelenggaraan negara
> dilakukan dengan prosedur yang benar, sama sekali tidak ada alasan bagi
> mahasiswa untuk turut campur. Kalau prosedur penyelenggaraan negara
> dilakukan secara tidak benar, juga bukan tugas mahasiswa untuk
> mengusilinya. Itu tugas Harmoko." Hebat.....hebat....
> (6)   Kembali ke persoalan divestasi Indosat, secara prinsip yang terjadi
> pada dasarnya bukanlah sebuah proses privatisasi, tetapi lebih tepat bila
> disebut sebagai sebuah proses Singapuranisasi. Betapa tidak, STT yang
> membeli Indosat melalui ICL adalah anak perusahaan yang 100 persen
> sahamnya dimiliki oleh Singapore Technologies, sebuah BUMN milik
> pemerintah Singapura. Sementara itu, 35 persen saham Telkomsel, yang
> dibeli oleh Singapore Telecom Mobile, adalah anak perusahaan Singtel yang
> 67,5 persen sahamnya dimiliki Temasek Holding, yang juga merupakan sebuah
> BUMN milik pemerintah Singapura. Pendek kata, selain bertentangan dengan
> konstitusi, UU No. 25/2000 mengenai Propenas, dan Tap MPR No. II/2002,
> transaksi penjualan Indosat ke pemerintah Singapura itu, tidak dapat
> tidak, memaksa kita untuk bertanya secara serius mengenai kebijakan
> privatisasi yang ditempuh oleh negeri ini. Ketika di negara tetangga
> kepada siapa kita menjual Indosat dan Telkomsel, BUMN masih terus
> dikembangkan dan bahkan didorong untuk melakukan ekspansi ke seluruh
> dunia, bagaimana mungkin kita masih bersikeras memaksakan pelaksanaan
> privatisasi? Perlu saya tambahkan, 65 persen perekonomian Singapura
> dikuasai oleh BUMN. Tapi ya itu tadi, amanat UU No. 25/2000 untuk segera
> menyusun UU BUMN, dianggap angin lalu saja oleh para petinggi negeri ini.
> (7)   Akhirnya, perlu saya informasikan, sebagaimana secara
> sebagian-sebagian telah diungkapkan oleh Gus Dur, terjadinya
> kongkalingkong dalam divestasi Indosat, semakin hari hari semakin sulit
> dibantah. Menurut informasi yang diteruskan kepada saya oleh Prof. Sri-
> Edi Swasono, dalam transaksi divestasi Indosat, Ikatan Alumni ITB diduga
> mendapat bagian sebesar 5 persen, kampus ITB diduga menerima bagian
> sebesar 7,5 persen. Bahkan, sebagaimana diakui secara langsung kepada saya
> oleh seorang staf di Indosat, nilai KKN divestasi Indosat seluruhnya
> mencapai Rp500 milyar. Ia mengakui diminta melakukan gerakan tutup mulut
> dengan imbalan sebesar US$1 juta. Nah lho..."siapa bilang privatisasi
> tidak sama dengan RAMPOKISASI."
> 
> Salam,
> Revrisond Baswir
> (Privatisastion is the Mother of Corruption)
> 
> ----- Original Message ----- 
> http://www.detik.com/kolom/200212/20021230-105828.shtml
> 
> Komedi Privatisasi Indosat
> Penulis: Abdul Rahman *
>       
> detikcom - Sesuatu yang menyedihkan seringkali jadi terasa lucu. 
> Kalau Anda menonton film komedi Roberto Benigni, Life is Beautiful, 
> Anda tentu tahu maksud saya. Atau mengikuti cerita-cerita seputar 
> privatisasi Indosat di bawah ini.
> 
> Indosat aset strategis? Lucu sekali
> Amien Rais bilang, penjualan Indosat kepada Singapore Technologies 
> Telemedia (STT), bukan hanya menghilangkan kedaulatan Indonesia 
> dalam mengelola informasi tetapi juga membuat Indonesia seolah-olah 
> menjadi propinsi Singapura.
> 
> Lebih jauh dia berkata begini: "Implikasinya sangat jauh. Implikasi 
> ekonomi, jelas. Implikasi finansial, perdagangan, juga jelas. Karena 
> informasi juga sangat signifikan untuk pengembangan ekonomi, 
> finansial, dan lain-lain." Jika menginginkan, tambahnya, "Singapura 
> dengan mudah dapat mengkoyak-koyak integrasi bangsa Indonesia. 
> Misalnya mem-black out dengan alasan satelitnya rusak, tidak ada 
> hubungan antar-pulau, antar angkatan dan lain-lain."
> 
> Saya tak tahu bagaimana Amien Rais bisa berkesimpulan begitu. Entah 
> karena betul-betul naïf (tak tahu apa-apa mengenai bisnis dan 
> teknologi), entah karena ia memang mau melucu. 
> 
> Saya kasih tahu Anda: Indosat tanpa bisnis telepon seluler Satelindo 
> (dan IM3) sama sekali tak ada artinya. Sungguh. Hari ini perusahaan 
> ini ditutup, besok dengan sangat mudah digantikan perusahaan lain. 
> Masyarakat tidak akan kehilangan. Tidak akan ada black out 
> informasi, hubungan antarpulau akan lancar-lancar saja, dan 
> Indonesia tak usahlah menjadi provinsi Singapura. 
> 
> Anda mungkin bertanya, kenapa dong kalau begitu labanya bisa ratusan 
> miliar dan STT mau membayar mahal? Karena dia memiliki Satelindo 
> serta dipersenjatai secarik kertas - yang isinya memberi dia hak 
> untuk menjadi satu-satunya penyedia jasa sambungan telepon 
> internasional (SLI). Dicabut lisensi itu dan dibuang bisnis 
> ponselnya, Indosat akan rontok begitu saja. 
> 
> Mengapa? Karena SLI adalah bisnis yang secara teknologi sangat 
> gampang. Siapa pun bisa melakukannya. Tinggal menyewa sambungan 
> keluar Indonesia - banyak perusahaan internasional yang 
> menyediakannya baik berupa kabel bawah laut maupun satelit - dalam 
> waktu sekejap bisnis jalan. Karena ketatnya persaingan, ongkos sewa 
> sambungan itu murah sekali, tak sampai 10% tarif SLI Indosat. Kalau 
> monopoli Indosat dicabut, dalam sekejap akan banyak yang 
> menggantikannya. 
> 
> Sekarang pun, ketika monopolinya belum dicabut, bisnis SLI Indosat 
> dari tahun ke tahun terus meredup. Omsetnya mengkerut, labanya makin 
> habis. Mengapa? Karena sekarang ada email, ada fasilitas chatting 
> semacam Yahoo Messenger dan ICQ yang popular itu (dan gratis lagi). 
> 
> Kalau Anda ingin berbicara bukan mengetik di komputer, penyelenggara 
> VOIP baik legal maupun liar sudah banyak (termasuk Telkom dengan 
> TelkomSavenya). Melalui Yahoo! Messenger, Anda juga bias ngobrol 
> seperti bertelepon (dan tetap gratis). Mulai Agustus nanti, setelah 
> Telkom diperbolehkan berbisnis SLI, percayalah tanpa dukungan dari 
> perusahaan seperti STT Indosat akan merana.
> 
> Lha penguasaannya akan satelit dan sebagainya tersebut? Satelit, 
> bung, di atas bumi Indonesia ada berpuluh-puluh. Telkom punya 
> beberapa biji (karena itu tak perlu khawatir hubungan antar pulau 
> kita seperti dikhawatirkan Amien Rais, itu urusan Telkom bukan 
> Indosat). PSN (sebagian saham dimiliki Telkom) punya. Hampir semua 
> negara ASEAN punya. 
> 
> Lalu ada pula satelit-satelit milik multinasional asing. Hampir 
> semuanya tidak di bawah kontrol Singapura. Satelitnya Satelindo 
> (yang berarti juga milik Indosat) tidaklah begitu penting lagi 
> artinya. Sekarang pun ratusan perusahaan Indonesia sudah menyewa 
> satelit tanpa melewati Indosat. Bahkan warnet di Bandung, Surabaya, 
> dan Yogyakarta pun melakukannya.
> 
> Kehilangan Indosat menjadikan Indonesia propinsi Singapura? Silahkan 
> ketawa keras-keras.
> 
> Satelit dan SLI bukanlah hal yang menarik STT masuk. Yang paling 
> berharga dari Indosat adalah bisnis telepon selulernya (lewat 
> Satelindo dan IM2). Ponsel adalah bisnis sangat besar yang dalam 
> tahun 2002 ini di Indonesia tumbuh lebih dari 100%. 
> 
> Satelit Satelindo justru merupakan beban - yang menyebabkannya 
> menumpuk hutang dan menimbulkan kerugian selama bertahun-tahun. 
> Karena beban hutang itu Satelindo tak mampu investasi untuk 
> mengembangkan jaringan selulernya. Karena itu perusahaan ini butuh 
> pendukung yang punya uang - seperti STT.
> 
> Seperti Polisi Pinggir Jalan
> Anda sangat boleh jadi pernah mengalaminya. Suatu ketika, tanpa 
> sadar, Anda belok di sebuah persilangan jalan tanpa menyadari ada 
> tanda larangan. Tahu-tahu di depan berdiri polisi menyetop Anda dan 
> memberi tahu bahwa Anda telah melakukan pelanggaran. Selanjutanya.
> Anda tahu sendiri lah.
> 
> Tentu saja sikap polisi seperti itu adalah sikap yang lucu. Kalau 
> niatnya adalah memperlancar lalu lintas dengan mengingatkan orang, 
> ia seharusnya berdiri sebelum belokan. Jadi, Anda tak perlu salah 
> belok karena sudah lebih dulu diberitahu polisi. Sayangnya, seperti 
> Anda tahu, niat sang polisi memang bukan itu.
> 
> Apa yang dilakukan Amien Rais dan beberapa politisi lain yang 
> menentang privatisasi, khususnya Indosat (cukup banyak) tak beda 
> jauh dari itu. Tak mungkin mereka tak tahu bahwa privatisasi akan 
> dilakukan. Tak mungkin mereka tak tahu kalau Indosat akan dilego 
> wong masalah ini sebelumnya sudah dibicarakan dalam beberapa rapat 
> dengan DPR yang di dalamnya pasti juga ada unsur dari Fraksi 
> Reformasi.
> 
> Karena itu, kalau mereka menganggapnya salah dan ingin menentang 
> harusnya mereka lakukan dari dulu, yaitu ketika rencana privatisasi 
> termasuk ikutnya STT dalam tender mulai muncul - bukan ketika 
> transaksi sudah dilakukan seperti sekarang ini. Tentu saja ini 
> menimbulkan pertanyaan: seperti pak polisi di pinggir jalan, jangan-
> jangan mereka memang memiliki niatan lain yang tak ada hubungannya 
> dengan menjaga lepasnya aset strategis negara.
> 
> Dalam hal ini, pak polisi pinggir jalan masih lebih baik karena 
> kesalahan yang kita (pengemudi) lakukan memang riil sementara 
> pemerintah dalam kasus privatisasi Indosat kesalahannya baru ada di 
> pikiran si pengeritik.
> 
> Bahwa politisi-politisi kita bisa terjebak dalam sikap seperti itu, 
> silahkan Anda memilih apakah akan tertawa atau merasa sedih.
> 
> Pemerintah Yang tidak Pede
> Sebuah kasus privatisasi yang sangat jelas alasannya, dan karena itu 
> seharusnya bisa dilakukan dengan lancar, akhirnya menimbulkan 
> keributan besar. Itu tak akan terjadi kalau bukan pemerintah 
> Indonesia yang melakukannya. 
> 
> Pemerintah tidak memberi penjelasan yang cukup, baik kepada DPR, 
> kepada masyarkat maupun kepada karyawan Indosat. Kesan yang muncul 
> seolah-olah pemerintah memang ingin melakukan privatisasi Indosat 
> secara sembunyi-sembunyi - dan karena itu jadi wajar kalau kemudian 
> ada yang curiga ada apa-apa di baliknya.
> 
> Terlepas dari benar tidaknya kecurigaan itu, acap kali pemerintah 
> kita ini memang menunjukkan kelakuan yang kurang pede (percaya 
> diri). Sepertinya pemerintah takut akan mendapat kritik keras di 
> depan - dan upayanya menjadi gagal-kalau mendiskusikan sebuah 
> langkah sebelum dilakukan. Maka banyak kebijakan dilaksanakan dengan 
> penjelasan sesedikit mungkin. 
> 
> Kalau kemudian menjadi persoalan di belakang, barulah dibuatkan 
> penjelasan yang lebih lengkap (itu pun belum tentu: sampai sekarang 
> pemerintah belum bersuara tegas dalam masalah ini). Tentu saja ini 
> tidak baik. Semakin sering cara seperti ini dilakukan, semakin 
> merosot kepercayaan orang kepada pemerintah. Akan lebih baik kalau 
> pemerintah berani bersikap tegas - menjelaskan secara terbuka apa-
> apa yang akan dilakukannya di depan dan siap menghadapi setiap 
> kritik yang kemudian muncul.
> 
> Privatisasi Indosat bisa dengan mudah dijelaskan sejak awal. Seperti 
> dikatakan di depan, Indosat adalah perusahaan yang sudah kehilangan 
> nilai strategisnya. Bisnis utama dia yang lama (sambungan 
> internasional) meredup dan segera akan kehilangan monopolinya. 
> 
> Bisnis utama yang baru (seluler) butuh investasi besar sementara 
> Indosat dan pemegang sahamnya (pemerintah) kesulitan membiayainya 
> karena masih menanggung beban utang yang tak sedikit. Karena itu, 
> lebih baik dijual. 
> 
> Kenapa ke STT yang merupakan anak perusahaan sebuah perusahaan yang 
> memiliki saham cukup banyak di operator seluler lain (Telkomsel, 
> 35%)? Ya karena perusahaan ini yang menawar paling tinggi dan berani 
> membuat kesepakatan yang menguntungkan karyawan. Kenapa tidak 
> menunggu sampai mendapat harga lebih bagus dari pembeli lain? Karena 
> semakin lama ditunggu Indosat akan semakin kehilangan nilai 
> strategisnya dan karena itu harganya bisa-bisa bukannya naik malah 
> akan turun.
> 
> Serikat Pekerja yang kebablasan
> Kalau sebuah perusahaan oleh pemiliknya akan dijual dan pekerja 
> takut pemilik baru akan merugikan mereka - melakukan PHK besar-
> besaran, misalnya - wajar kalau mereka protes, mogok, atau demo 
> untuk mencoba menghalangi penjualan itu. Tetapi kalau mogoknya 
> dilakukan dengan alasan penjualan itu akan merugikan pemilik lama 
> tentu menggelikan.
> 
> Tetapi itulah yang dilakukan serikat pekerja Indosat. Dalam demo-
> demo mereka mereka selalu menjadikan kerugian negara - harganya 
> terlalu murah, Indosat adalah asset strategis - sebagai alasan 
> penolakan, bukan nasib mereka pasca penjualan saham.
> 
> Kenapa Serikat Pekerja Indosat tidak mengusung persoalan perburuhan 
> sebagai alasan penolakan? Karena tampaknya dalam hal ini memang tak 
> ada yang bisa mereka keluhkan. Mereka mendapatkan opsi kepemilikan 
> saham 5% (karyawan BUMN mana yang mendapatkannya?) Kalau terkena PHK 
> mereka mendapat pesangon sangat besar - konon 6 kali peraturan yang 
> berlaku (PMTK, Peraturan Menteri Tenaga Kerja). Lalu mau apa lagi?
> Tentu saja boleh pekerja Indosat concern terhadap masalah-masalah 
> nasional seperti itu. Tetapi kalau mereka terus menggunakan kekuatan 
> yang ada pada mereka termasuk kekuatan untuk mengganggu jalannya 
> perusahaan agar penjualan dibatalkan itu sudah kelewat batas. 
> Pemerintah adalah wakil rakyat Indonesia yang menjadi pemilik saham 
> Indosat yang dijual ke STT. 
> 
> Selama penjualan itu dilakukan dengan prosedur yang benar, tak ada 
> alasan buat pekerja Indosat untuk merintanginya. Kalaupun 
> prosedurnya dianggap tak benar, juga bukan tugas mereka untuk 
> kemudian merintanginya. Itu tugas DPR.
> 
> 
> Bagaimana kalau penjualan saham ke STT akhirnya dibatalkan? Maka 
> privatisasi Indosat pun menjadi tragi-komedi yang lengkap.
>  * 

RantauNet http://www.rantaunet.com
Isikan data keanggotaan anda di http://www.rantaunet.com/register.php3
===============================================
Tanpa mengembalikan KETERANGAN PENDAFTAR ketika subscribe,
anda tidak dapat posting ke Palanta RantauNet ini.

Mendaftar atau berhenti menerima RantauNet Mailing List di: 
http://www.rantaunet.com/subscribe.php3
===============================================

Kirim email ke