Fyi...tulisan mamak Rosihan Anwar di koran PR hari ini. --Noes--
Orang Jawa dan Sumatera Zaman VOC Oleh H. ROSIHAN ANWAR JAUH sebelum adanya konglomerat-konglomerat hitam sekarang negeri ini telah mengenal konglomerat pemula yaitu Verenigde Oost Indiasche Compagnie (VOC), lazim disebut kompeni. VOC didirikan tahun 1602 di Negeri Belanda ketika itu bernama Republik der Verenigde Nederlanden. VOC atau Kompeni mulanya berdagang lada dan rempah-rempah. Dengan cepat sekali dia berdagang produk-produk lain seperti kain, sutera, porselen, teh, kopi, gula, indigo, salpeter, tembaga, dan timah. VOC beroperasi di Jawa dan Maluku, merebut Malaka dari tangan Portugis, mendirikan kantor perdagangan mulai dari Teluk Harapan Baik di Afrika Selatan, Arab, dan Persia, terus ke pantai barat India, Srilanka, Sumatera hingga Taiwan, Kanton, Jepang. Konglomerat Belanda ini memiliki tentaranya sendiri, angkatan laut, mengeluarkan mata uangnya sendiri, membuat perjanjian dengan raja-raja setempat seolah dia negara berdaulat layaknya. Karena mengalami pembusukan dari dalam akibat hebatnya korupsi di kalangan pejabat-pejabatnya, VOC semakin merosot keadaannya dan akhirnya bubar pada tahun 1799. Tidak semua orang tahu bahwa pada masa itu Negeri Belanda hanya berpenduduk dua juta jiwa, namun kekuasaan yang dibangunnya dengan VOC adalah luar biasa. Antara tahun 1602 dan 1799 mereka membikin sebanyak 1400 kapal layar besar yang mengadakan perjalanan hampir 4000 kali ke Indonesia. Ada juga pegawai VOC diangkut oleh kapal-kapal itu yang tidak semuanya terdiri dari orang Belanda, tapi banyak direkrut dari Jerman, Skandinavia. Kira-kira separuh serdadu dan matros VOC berasal dari negeri-negeri di luar Belanda. Pegawai-pegawai VOC itu menulis surat dan laporan perjalanan yang sampai kini tersimpan rapi dalam arsip negara. Tahun 2002 terbit buku "In dienst van de Compagnie" (Dalam dinas Kompeni) disusun oleh Vibeke Roeper dan Roelof van Gelder. Isinya seratus kesaksian yang diberikan oleh pejabat VOC sekisar 1602-1799. Di antara tulisan-tulisan itu terdapat laporan yang menjelaskan sifat berbagai etnik yang dijumpai oleh pejabat VOC. Pedagang Rijklof tahun 1648 dan 1654 datang ke keraton Mataram dekat Yogyakarta. Van Goens dipercayai oleh Sultan Amangkurat I dan karena itu sempat meninjau pedalaman pulau Jawa. Rijklof van Goens kelak menjabat sebagai Gubernur Jenderal (1658-1675) dan dia menulis tentang "De aard van de Javanen" (Sifat tabiat orang-orang Jawa). Suka nyolong Orang-orang Jawa, tulis Van Goens, sangat piawai dalam menyembunyikan sifat jahat mereka di balik wajah yang saleh. Mereka sangat aneh tingkahnya, sembrono dalam memenuhi perjanjian, sangat sombong, tinggi hati, dan ambisius. Jika dua pria berpapasan di jalan, mereka tidak akan saling pandang lantaran masing-masaing mengira dirinya paling penting. Mereka amat ingin tahu dan karena itu suka nyolong (diefachtig). Mereka malas dalam pekerjaan, tetapi bila dipaksa oleh atasan berbuat sesuatu, mereka sangat penurut karena takut. Mereka tidak kenal aturan dalam hawa nafsu, tapi tidak punya masalah dengan penyakit raja singa. Lagi pula mereka sangat gemar membunuh (moorddadig), bersifat tidak setia dan saling mengancam nyawa. Jika mereka bisa menyenangkan hati raja atau dapat memperoleh keuntungan darinya, seorang ayah tega membunuh anaknya, saudara yang satu membunuh saudara yang lain, atau putra membunuh bapaknya. Dalam membunuh itu, mereka kejam dan tidak kenal belas kasihan. Suatu kematian secara perlahan-lahan dan sangat nyeri disaksikan oleh mereka dengan senang hati. Orang yang sedang sekarat tidak memperlihatkan perubahan; dia tidak mengaduh dan tidak menangis sekalipun bila korban itu seorang perempuan atau kanak-kanak. "Saya melihat hal itu beberapa kali dengan mata kepala sendiri. Saya lihat orang dicabik-cabik badannya sebagai pelaksanaan hukuman mati (geradbraakt) tanpa berucap sepatah kata pun dan menjerit kesakitan. Dalam perang mereka penakut (laf), kecuali bila mereka terdesak atau berpikir sedang berjuang mati hidup", tulis Rijklof Van Goens tentang sifat orang-orang Jawa pada abad ke-17. Orang Jawa memiliki sedikit sekali kebajikan dan tabiat baik karena semua itu hanya pura-pura belaka. Keramahan dan kesopanannya adalah dibuat-buat. Dia tidak saling memaki dan satu-satunya carut yang didengar oleh Van Goens adalah di kalangan anak-anak. Apabila orang-orang Jawa membicarakan hal-hal serius mereka mengambil jarak dan menggunakan sedikit sekali kata-kata. Dalam kegembiraan mereka penuh semangat dan siapa yang paling lucu mendapat pujian terbanyak. Mereka sangat suka pada kuda dan akan menderita lapar sendiri daripada membiarkan kuda-kuda mereka tidak makan. Mereka dermawan, rendah hati, dan sopan santun jika yang satu menjamu yang lain. Dalam percakapan mereka berbuat sebaik mungkin memuji-muji raja mereka. Mereka begitu sayang pada raja yang mereka perlakukan sebagai dewata. Apabila mereka terjebak, mereka bertempur dengan keputusasaan, berbusa mulut mereka saking marah, bagaikan anjing gila. Terlepas dari hal ini, tabiat mereka sangat serupa (gelijkmatig) sehingga orang tak pernah bisa melihat apakah mereka berang atau tidak, sedih, atau gembira. Iring-iringan pengawal Rijklof Van Goens selalu diterima dengan baik oleh Sultan Amangkurat I. Sebagai penghormatan terhadap duta VOC itu Amangkurat malah pada kunjungan kelima Van Goens memberikan padanya barisan pengawal terdiri dari 400 orang dan dengan itu mengelilingi Jawa. Van Goens menceritakan bagaimana iring-iringan pengawal itu. Kalau para petinggi Jawa bepergian di jalan, mereka dikelilingi oleh keindahan dan kemewahan. Di depan barisan berjalan seratus orang membawa tombak yang ujungnya ditutup dengan sarung. Sesudah itu menyusul sepuluh prajurit membawa senapan (musketiers) yang ditutup dengan kain merah. Orang pertama di belakangnya membawa payung kebesaran, orang kedua membawa kendi berisi air dalam sebuah keranjang bagus, yang ketiga membawa tikar. Yang keempat dan kelima mengangkut kotak empat persegi berisi pakaian dan keperluan lain. Yang ketujuh dan kedelapan membawa tombak yang terbuka, tegak lurus, dan berjalan di samping kuda yang ditunggangi oleh Ndoro. Yang kesembilan membawa sirih pinang, yang kesepuluh membawa pipa dan tembakau. Demikianlah seterusnya penampilan iring-iringan itu, tetapi semua bunga mawar yang indah itu bukannya tak punya duri-duri tajam karena siapa yang bisa hidup terus, tetap berada dalam kemurahan hati raja dengan selamat dan menyelesaikan tugasnya, bolehlah berterima kasih kepada Tuhan dan rahmat-Nya. Maklum, sebuah perkataan yang salah atau suatu kelalaian kecil bisa mengakibatkan habisnya nyawa dan kebebasan, demikian Rijklof Van Goens yang memberikan kepada kita bahan masukan untuk memahami sifat orang-orang Jawa dahulu. Sebuah laporan lain berasal dari Elias Hesse, orang Jerman, pekerja tambang yang pada tahun 1682 atas perintah VOC pergi ke Sumatera menyelidiki apakah tambang emas di Silida bisa digarap. Tulisannya "Bezoek aan een Sumateraanse vors" (Kunjungan kepada seorang raja Sumatera) memberikan gambaran tentang masyarakat dan orang Sumatera di abad ke-17. Hesse bercerita, rumah-rumah di Sumatera berdiri di atas tiang-tiang. Rumah terbuat dari bambu dan atap daun nyiur. Di kamar terbentang tikar-tikar. Hesse dan kawan-kawannya diundang oleh raja yang pada hematnya serupa dengan seorang wali kota desa di Jerman. Raja itu, lebih tepat adalah seorang bangsawan, istananya tegak di atas tiang-tiang. Dia mengundang makan Hesse. Ketika makanan sedang dimasak, Hesse pergi jalan-jalan di kampung melihat segala sesuatu. Tidak ada apa-apa di sana. "Tapi kami memang memerhatikan gadis-gadis Melayu yang berpapasan dengan kami. Mereka jelek dan tidak ramah (lelijk en noers). Kulit mereka sawo matang. Setelah jalan-jalan itu kami kembali kepada raja untuk dijamu," tulis Hesse. Menindas rakyat Hesse melanjutkan ceritanya bahwa raja atau kepala sangat dihormati oleh orang-orang Melayu. Raja kecil itu (koninkje) melaksanakan suatu pemerintahan yang menindas (tirannieke Heerschappij) terhadap rakyatnya. Raja memerintah lebih banyak dengan kekerasan daripada dengan kasih. Orang-orang Sumatera memiliki banyak istri sebagaimana mereka kehendaki. Salah satu dari perempuan itu memimpin urusan rumah tangga. Wanita-wanita bangsawan jarang menampakkan diri di depan umum. Makanan mereka terdiri dari nasi, ikan, kelapa, dan sayur-mayur. Rumah tangga mereka sangat bersahaja. Mereka membantu diri sendiri dengan apa adanya. Mereka bisa hidup senang dengan keadaan tidak seberapa itu. Tanah mereka menghasilkan banyak padi, juga gula, madu, dan beberapa macam buah, tapi terutama lada (peper) dalam jumlah besar yang tiap tahun bisa mengisi penuh kapal-kapal. Di daerah yang tidak didiami terdapat banyak gajah, badak, harimau, celeng, orang utan, dan ular besar. Orang utan melihat tubuh besar dan otaknya tampak mirip dengan manusia. Orang utan sangat kuat, cerdik, dan cepat. Dekat tambang kami banyak terdapat orang utan dan apabila cuaca buruk binatang itu berteriak-teriak. Mereka berjalan dengan kaki belakang dan duduk seperti manusia. Orang utan laki-laki sangat tergila-gila pada perempuan. Wanita juga menghadapi bahaya bila berjalan di hutan karena dengan mudah bisa dihamili oleh orang utan, demikian laporan Elias Hesse. Cerita lain yang terdapat dalam buku "In dienst van de Compagnie" adalah mengenai pembunuhan orang-orang Cina (Chinezenmoord) di Batavia bulan Oktober 1740 sebagaimana dituturkan oleh seorang saksi yang anonim. Di zaman VOC kelompok penduduk yang paling besar di Batavia ialah orang Cina. Mereka menanam tebu dan menggiling gula di sekitar Batavia. Setelah tahun 1722 produksi gula mandek dan orang Cina banyak jadi penganggur. Tahun 1740 mereka mau menguasai Batavia, tapi sebelum itu terjadi VOC melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap orang-orang Cina. Saksi anonim menulis budak-budak (slaven) orang Cina yang bumpiputera yakni orang Bali, Bugis, Makasar, Ambon, Buton melakukan perampokan, pembunuhan, pembakaran seolah-olah itu pekerjaan mereka sehari-hari. Ketika malam telah tiba, hal itu tidak membantu orang-orang Cina sebab bahaya terhadap mereka mengancam terus. Orang tidak istirahat, tapi membasmi orang Cina. Tembakan terhadap orang-orang Cina yang melarikan diri berjalan terus. Tiap orang berjuang untuk kehormatan siapa yang paling banyak telah menyingkirkan Cina dari dunia ini. Demikian sekelumit sejarah dari zaman VOC.*** Penulis adalah anggota MSI (Masyarakat Sejarawan Indonesia). RantauNet http://www.rantaunet.com Isikan data keanggotaan anda di http://www.rantaunet.com/register.php3 =============================================== Tanpa mengembalikan KETERANGAN PENDAFTAR ketika subscribe, anda tidak dapat posting ke Palanta RantauNet ini. Mendaftar atau berhenti menerima RantauNet Mailing List di: http://www.rantaunet.com/subscribe.php3 ===============================================