Sabtu 15 Maret, Siang

Jam setengah sebelas lebih sedikit rombongan kami tiba di Terminal Haji
Bandara  King Abdul Azis. Setelah barang-barang bawaan kami diturunkan,
kami memasuki bangsal besar dengan atap berarsitektur tenda,  seperti
tempat kami berkumpul ketika baru tiba dari tanah air, dan berkumpul
per  kafilah di atas “kapling” masing-masing. Saya menenteng handbag dan
tas plastik, sedangkan Kur membawa dua buah tas dengan roda bagasi. Saya
sempat membantu Pak Masdoeki turun dari bus dan beliau terlhat
berterima kasih sekali.

Ketika hendak masuk, seorang petugas haji Indonesia menyambut kami
sembari berkata: “Ini tamu-tamu yang harus dilayani dengan baik nich”.

Tidak lama kemudian kami mendapat pembagian konsumsi dan air Zam-Zam
dalam jerigen 5 liter dari Garuda Indonesia.

Kami melihat beberapa petugas haji Indonesia, namun tidak jelas apa
fungsi mereka. Malah ada yang menjajakan buku dan membeli uang real
jemaah yang masih tersisa dengan rupiah. Kur menukarkan kepadanya
beberapa puluh real uang kami yang masih tersisa, kecuali satu lembar
pecahan 5 real untuk kenang-kenangan dengan nilai tukar Rp 2.300 per
satu real. Lumayan, ketimbang repot-repot ke money changer.

Setelah makan dan beristirahat selama lebih dari satu jam, kafilah kami
diminta berbaris dan berjalan menuju ruang pemerikasaan imigrasi dan
ruang tunggu jemaah haji Indonesia yang pintu masuk jemaah perempuan dan
laki-laki dipisah. Ketika itu beban saya bertambah dengan satu jerigen
air Zam-Zam. Sedangkan tas plastik yang berisi mainan oleh-oleh untuk
cucu-cucu kami dibantu Bu Juminem membawakannya.

Di depan pintu kami diminta antri, dan askar yang menjaga mulai menyuruh
jemaah perempuan masuk lima-lima. Pergerakannya terasa lambat karena
para askar yang menjaga terlihat agak lelet dan kerja suka-suka.

Beberapa jemaah yang melihat saya mempersilakan saya untuk antri di
depan, tetapi karena merasa tidak perlu diistimewakan, saya tolak dengan
baik.

Tidak lama terdengar azan Dhuhur. Mula-mula saya ragu apa mau salat dulu
atau nanti saja di ruang tunggu, tetapi kemudian saya meninggalkan
antrian, mengambil wudhuk di sebuah toilet di dekat Outlet Pepsi Cola,
dan kemudian mencari tempat salat. Kebetulan saya menemukan tempat salat
orang-orang Pakistan.

Selesai salat saya sempat agak kebingungan karena kehilangan orientasi,
tetapi akhirnya bisa menemukan antrian kafilah kami. Ketika saya sampai
beberapa orang jemaah laki-laki sudah ada yang masuk. Seorang jemaah
kembali menganjurkan saya ke depan, dan kembali saya bilang tak usah.

Pemeriksaan paspor lancar-lancar saja, hanya ya itu, gerakan jemaah
kadang-kadang tersendat-sendat. Ketika hendak sampai ke tempat
pemeriksaan barang saya melihat ban berjalan yang membawa air Zam-Zam
dalam berbagai wadah, yang oleh petugas Garuda diminta untuk dibagasikan
saja. Sebenarnya soal barang bawaan ke kabin Garuda lebih “bertoleransi”
dari pada “Saudia”. Ya, karena bertoleransi itu sehingga rak bagasi yang
di atas tempat duduk tidak dapat menampung semua barang bawaan
penumpang. Karena itu saya berfikir bagaimana caranya agar cepat masuk
dan menaruh barang-barang bawaan kami ke rak bagasi di atas tempat duduk
kami.

Selesai pemeriksaan kartu kesehatan, paspor dan bagasi kloter kami
berkumpul di ruang keberangkatan yang mirip bangsal dan tempat duduknya
tidak cukup bagi seluruh anggota kloter sehingga ada yang berdiri.

Ketika menunggu itu ada yang menjajakan teh susu panas, saya ingin
sekali tetapi sayang uang realan kami sudah habis kecuali pecahan 5 real
yang akan saya jadikan kenang-kenangan. Mau meminjam sama teman malu
juga. Tetapi tiba-tiba Kur menyuguhkan satu pot teh susu. “Ditraktir
Mbak Dewi”, katanya. Alhamdulillah.

Satu jam menjelang keberangkatan kami dipersilakan untuk boarding, namun
entah kenapa jemaah perempuan disuruh boarding lebih dulu, sehingga saya
dan Kur terpaksa berpisah. Begitu diperbolehkan masuk saya berjalan
dengan mendudu, sehingga Pak Yogas yang dengan agak bersusah payah
membawa barang-barang bawaan saya lewati saja tanpa saya sapa. Yang
terpikir di dalam benak saya ialah bagaimana segera sampai ke tempat
duduk dan menaruh handbag saya di atas rak bagasi.

Dan tak lama kemudian saya langsung mendapat ganjaran.

Begitu masuk ke dalam pesawat dan hendak menuju tempat duduk seperti
waktu berangkat dulu saya kaget, lho kok lain. Kemudian saya sadar bahwa
ini adalah Boeing 747 tipe 400 yang kapasitas dan lay-outnya agak
berbeda dengan tipe 200 yang kami gunakan pada penerbangan Jakarta-Jedah
2]. Tetapi kesadaran itu tidak membuat saya mudah menemukan tempat duduk
yang pada penerbangan haji, didasarkan kepada nomor urut dari depan itu.
Setelah berputar-putar kebingungan, ya, Darwin Bahar pemegang GFF Card,
berputar-putar kebingungan sembari menenteng handbag dan satu jerigen
air Zam-Zam dan hampir sepuluh menit baru berhasil menemukan nomer
tempat duduknya di pesawat!

Kur mengatakan dia melihat saya tetapi ketika dia hendak memanggil, saya
sudah menghilang ke depan. Ternyata tidak ada masalah dalam penempatan
barang-barang bawaan kami. Jerigen air Zam-Zam, sesuai dengan prosedur
harus ditaruh di bawah kursi, sedangkan roda bagasi yang harus dilepas
sebelum masuk ke dalam pesawat diletakkan pramugari di sebuah tempat
yang aman.

Tepat jam 4 petang waktu setempat atau jam 8 malam WIB, Boeing 747
Garuda yang membawa kami, melepaskan diri dari “boarding bridge” dan
tidak lama kemudian melesat ke angkasa.

Begitu peswat sampai pada ketinggian jelajah, di layar monitor muncul
Dirut Garuda Indra Setiawan mengucapkan selamat datang dan selamat telah
selesai menjalankan ibadah haji, yang diawali dengan melafadzkan
puji-pujian kepada Allah dan selawat kepada Rasullulah dalam Bahasa Arab
dengan kefasihan yang mirip seorang Ustadz. Lalu muncul Aa Gym dan
Ustadz Hatta.

Setelah itu di monitor yang muncul adalah data-data penerbangan waktu,
cuaca, ketinggian, kecepatan jelajah bergantian dengan visualisasi
lokasi pesawat di sepanjang perjalanan menyusuri jazirah Arab, Laut
Arabia, Samudera India, daratan Sumatera tepat di atas Kota Padang lalu
memutar ke  arah Bandara Sukarno-Hatta di Jakarta,  yang diikuti oleh
sebagian besar jemaah dengan penuh perhatian. Saya perhatikan di
sekeliling saya hampir tidak ada penumpang yang tertidur malam itu.

Dalam perjalanan pulang Jedah-Jakarta, Boeing 747 tipe 400  yang
mempunyai kecepatan maksimum 990 kph dan kecepatan jelajah sekitar 960
kph hanya memerlukan waktu delapan jam lebih sedikit.

Sebagaimana halnya dalam penerbangan keberangkatan, dalam penerbangan
pulang ini kami dapat makanan panas dua kali yang tidak seenak pada
waktu keberangkatan dan snack dalam boks.

Ada pula interval untuk sambutan dari Pak Ketua Kloter dan pembacaan doa
yang diperjayakan kepada Pak Ustadz Pembimbing kami.

Yang agak mengejutkan ialah adanya jemaah kafilah lain yang duduk di
bagian belakang  yang wafat, yang walaupun sudah agak berumur, ketika
naik ke pesawat dalam keadaan segar bugar.

Innalillahi wainna ilaihi, rojiun (sesungguhnya kita berasal dari Allah
dan kepadaNya kita akan kembali).

“Tadinya kami sangka bapak yang kena serangan Asma yang parah yang
satunya atau bapak yang waktu naik pesawat  ditandu dan diinfus”,  jelas
Suster Enny yang dicegat dan ditanyai  Kur ketika berjalan ke belakang
mengikuti dokter Ifa.

Minggu 16 Maret, menjelang pagi

Ketika waktu subuh tiba dan khawatir agak repot kalau melakukannya di
Bandara saya mengajak Kur untuk salat di tempat duduk dengan bertayamum.

Tepat Jam 4.20 pagi, Boeing 747 Garuda yang kami tumpangi menjejakkan
rodanya di landasan pacu Bandara Soekarno-Hatta. Kemudian  berhenti
sejenak di ujung landasan pacu, berputar untuk taxi menuju apron dan
akhirnya  merapat ke salah satu belalalai gajah atau “boarding bridge”
di Terminal A. Ketika pintu pesawat dibuka dan penumpang sudah
diperbolehkan meninggalkan pesawat, perasaan aneh kembali merasuki
perasaan saya, seakan-akan saya baru kembali dari sebuah tempat yang
tidak ada di dalam peta. Ya saya baru saja menyelesaikan sebuah
perjalanan rohani selama 39 hari sejak tanggal 4 Februari yang lalu
dengan pengalaman yang tak tepermanaikan.

Kami masih meliwati beberapa formalitas keimigrasian yang berjalan
dengan cepat dan lancar dan kemudian beristirahat di salah satu ruang
tunggu, dan jemaah yang belum salat Subuh di pesawat salat di sini. Kami
juga sempat mendengar ratap tangis keluarga jemaah yang tadi wafat di
pesawat.

Di Bandara Sukarno-Hatta, jemaah kafilah kami terbagi dua, ada yang
langsung di jemput kelurga di sini dan ada juga yang ke Plaza Bank
Mandiri lebih dulu. Kami termasuk kelompok yang pertama.

Sebelum berpisah saya bersalaman dengan perasaan haru dengan para
sahabat kami dan tidak lupa bersalaman dan berterima kasih kepada  Pak
Ustadz yang walaupun kadang-kadang menimbulkan rasa kecewa, tetapi saya
akui juga banyak berjasa kepada kami.

Begitu kami menuju pintu keluar Terminal A, kami terkejut melihat para
penjemput yang menyemut di luar. “Bagaimana anak-anak menemukan kita
nich?” kata saya kepada Kur setelah sadar bahwa ponsel saya yang kartu
Hallo-nya sudah diblokir Telkomsel tidak bisa lagi digunakan.

Tetapi Kur yang tidak kehilangan akal, segera “menyambar” ponsel yang
dipegang seorang jemaah dan kemudian menghubungan Iben untuk
memberitahukan di mana kami menunggu dia.

Tidak lama kemudian Iben muncul yang langsung memeluk saya dan mamanya,
lalu disusul adik-adiknya satu persatu Anton, Sonny, Meila dan Ira,
bungsu kami yang sudah semester lima di sebuah Akademi yang ketika
melepas kami di Plaza Bank Mandiri menangis seakan-akan melepas jenzah
kami untuk dibawa ke kuburan, memeluk saya seperti tidak akan
dilepaskannya lagi. Cucu kami Upik memeluk neneknya dengan menangis,
sementara Reihan yang juga ikut menjemput berkata sambil memandang
kepada neneknya: “Kasian lho Inyiek. 2]”

Ketika hampir sampai di rumah, sesuai dengan pesan Haji Asarajo, sesepuh
orang Minang di kompleks kami ketika melepas keberangkatan kami, kami
mampir di sebuah masjid dekat rumah untuk melakukan salat sunat dua
rakaat.

Hari itu tamu tidak berhenti-hentinya datang ke rumah yang ditemui oleh
Kur yang dengan lancar dan ceria menceritakan pengalaman kami selama
berhaji di Tanah Suci. Rasa penat, letih dan lelah yang mulai saya
rasakan sejak kami beristirahat di Asrama Embarkasi Haji Indonesia di
Jeddah sehari sebelum kepulangan ke tanah air, semakin tak tertahankan.
Kecuali waktu makan dan salat,  sepanjang hari Minggu itu kerjaan saya
hanya tidur

Ketika bangun keesokan harinya, perasaan letih sudah mulai sirna. Dan
begitu perasaan letih hilang, kerinduan kepada tanah haram mulai terasa.
Dan kerinduan itu semakin lama semakin mengental.

Tanpa terasa, air mata saya jatuh berlinang membasahi pipi.

Selesai

Salam, Darwin

1] Sikapnya yang agak longgar terhadap barang bawaan penumpang ke kabin
merupakan kelebihan lain dan sekaligus kelemahan Garuda. Tetapi terlepas
dari hal itu dan kerepotan harus ke Jedah dulu untuk pulang ke tanah
air, saya tetap lebih senang menggunakan Garuda. Ini tidak hanya
menyangkut masalah nasinonalisme atau semacamnya, tetapi lebih
dikarenakan dalam  profesionalisme pelayanan, Garuda tidak di bawah
Saudia, kalau tidak hendak dikatakan lebih baik. Contohnya Saudia
Airlines masih mau menyewa pesawat dari maskapai penerbangan semacam
“Indonesian Airlines” untuk menutupi kekurangan armada hajinya,
sementara Garuda, sepanjang yang saya ketahui, hanya mau menyewa dari
maskapai penerbangan yang bonafid. Ketika saya bertugas ke Sulawesi
Selatan tiga pekan sebelum berangkat ke Tanah Suci, saya melihat sebuah
pesawat Boeing 767 (saya tidak salah ketik!) KLM berlogo Garuda  sedang
parkir di Bandara Hasanudin, artinya disewa Garuda dari KLM untuk
mengangkut jemaah haji  Embarkasi Makasar.  Pelayanan “on board” Garuda
juga cukup baik. Pramugarinya rata-rata santun-santun dan Garuda bisa
menampilkan suasana religius sepanjang penerbangan. Selama perjalanan
Garuda memberi makan dua kali yang baik dan enak , dan mudah dinikmati
oleh jemaah haji semua usia (terutama yang berasal dari katering di
Bandara Sukarno-Hatta) dan snack menjelang landing. Yang mengecewakan
dari Garuda ialah koper, handbag dan tas paspor yang dihadiahkannya
kepada jemaah kualitasnya rendah. Koper dan handbag  resluitingnya mudah
dol. Sedangkan tas paspor jahitannya gampang jebol. Menggelikan dan
sekaligus konyol adanya usul yang konon berkembang di Jawa Timur, agar
jemaah haji Indonesia  semuanya dibawa oleh Saudia Airlines dengan
alasan bahwa penerbang Garuda ada yang non-muslim. Memangnya penerbang
Saudia Airlines muslim semua, khususnya pada pesawat-pesawat yang
disewanya dari maskapai-maskapai penerbang lain?

2] Dengan memodifikasi tempat duduk kelas bisnis menjadi kelas eknomi,
Boeing 747 tipe 400 yang mempunyai kecepatan maksimum 990 kph dan  dalam
penerbangan reguler punya kapasitas tempat duduk 82 kelas bisnis dan 323
kelas ekonomi, dalam penerbangan haji dapat membawa 480 penumpang.
Sementara Tipe 200 yang mempunyai kecepatan maksimum 920 kph dan  dalam
penerbangan reguler punya kapasitas tempat duduk 38 kelas bisnis dan 360
kelas ekonomi, dapat membawa 460 penumpang

3] Sebutan Nenek dalam Bahasa Minang di daerah Padang Panjang.



RantauNet http://www.rantaunet.com
Isikan data keanggotaan anda di http://www.rantaunet.com/daftar.php
-----------------------------------------------

Berhenti menerima RantauNet Mailing List, silahkan ke: 
http://www.rantaunet.com/unsubscribe.php
===============================================

Kirim email ke