Aneh, sementara ayat itu untuk mengiring orang keluar dari kebiadaban dan kejahiliaan yang memperlakukan perempuan se- mena-mena malah ditafsirkan untuk membawa kembali peradaban kekejahiliahan.
JD Dear All, Kompas, Senin 12 Mei 2003 Benarkah Poligami Sunah? Faqihuddin Abdul Kodir UNGKAPAN "poligami itu sunah" sering digunakan sebagai pembenaran poligami. Namun, berlindung pada pernyataan itu, sebenarnya bentuk lain dari pengalihan tanggung jawab atas tuntutan untuk berlaku adil karena pada kenyataannya, sebagaimana ditegaskan Al Quran, berlaku adil sangat sulit dilakukan (An-Nisa: 129). DALIL "poligami adalah sunah" biasanya diajukan karena sandaran kepada teks ayat Al Quran (QS An-Nisa, 4: 2-3) lebih mudah dipatahkan. Satu- satunya ayat yang berbicara tentang poligami sebenarnya tidak mengungkapkan hal itu pada konteks memotivasi, apalagi mengapresiasi poligami. Ayat ini meletakkan poligami pada konteks perlindungan terhadap yatim piatu dan janda korban perang. Dari kedua ayat itu, beberapa ulama kontemporer, seperti Syekh Muhammad Abduh, Syekh Rashid Ridha, dan Syekh Muhammad al-Madan-ketiganya ulama terkemuka Azhar Mesir-lebih memilih memperketat. Lebih jauh Abduh menyatakan, poligami adalah penyimpangan dari relasi perkawinan yang wajar dan hanya dibenarkan secara syar'i dalam keadaan darurat sosial, seperti perang, dengan syarat tidak menimbulkan kerusakan dan kezaliman (Tafsir al-Manar, 4/287). Anehnya, ayat tersebut bagi kalangan yang propoligami dipelintir menjadi "hak penuh" laki-laki untuk berpoligami. Dalih mereka, perbuatan itu untuk mengikuti sunah Nabi Muhammad SAW. Menjadi menggelikan ketika praktik poligami bahkan dipakai sebagai tolok ukur keislaman seseorang: semakin aktif berpoligami dianggap semakin baik poisisi keagamaannya. Atau, semakin bersabar seorang istri menerima permaduan, semakin baik kualitas imannya. Slogan-slogan yang sering dimunculkan misalnya, "poligami membawa berkah", atau "poligami itu indah", dan yang lebih populer adalah "poligami itu sunah". Dalam definisi fikih, sunah berarti tindakan yang baik untuk dilakukan. Umumnya mengacu kepada perilaku Nabi. Namun, amalan poligami, yang dinisbatkan kepada Nabi, ini jelas sangat distorsif. Alasannya, jika memang dianggap sunah, mengapa Nabi tidak melakukannya sejak pertama kali berumah tangga? Nyatanya, sepanjang hayatnya, Nabi lebih lama bermonogami daripada berpoligami. Bayangkan, monogami dilakukan Nabi di tengah masyarakat yang menganggap poligami adalah lumrah. Rumah tangga Nabi SAW bersama istri tunggalnya, Khadijah binti Khuwalid RA, berlangsung selama 28 tahun. Baru kemudian, dua tahun sepeninggal Khadijah, Nabi berpoligami. Itu pun dijalani hanya sekitar delapan tahun dari sisa hidup beliau. Dari kalkulasi ini, sebenarnya tidak beralasan pernyataan "poligami itu sunah". Sunah, seperti yang didefinisikan Imam Syafi'i (w. 204 H), adalah penerapan Nabi SAW terhadap wahyu yang diturunkan. Pada kasus poligami Nabi sedang mengejawantahkan Ayat An-Nisa 2-3 mengenai perlindungan terhadap janda mati dan anak-anak yatim. Dengan menelusuri kitab Jami' al- Ushul (kompilasi dari enam kitab hadis ternama) karya Imam Ibn al-Atsir (544-606H), kita dapat menemukan bukti bahwa poligami Nabi adalah media untuk menyelesaikan persoalan sosial saat itu, ketika lembaga sosial yang ada belum cukup kukuh untuk solusi. Bukti bahwa perkawinan Nabi untuk penyelesaian problem sosial bisa dilihat pada teks-teks hadis yang membicarakan perkawinan-perkawinan Nabi. Kebanyakan dari mereka adalah janda mati, kecuali Aisyah binti Abu Bakr RA. Selain itu, sebagai rekaman sejarah jurisprudensi Islam, ungkapan "poligami itu sunah" juga merupakan reduksi yang sangat besar. Nikah saja, menurut fikih, memiliki berbagai predikat hukum, tergantung kondisi calon suami, calon istri, atau kondisi masyarakatnya. Nikah bisa wajib, sunah, mubah (boleh), atau sekadar diizinkan. Bahkan, Imam al-Alusi dalam tafsirnya, Rûh al-Ma'âni, menyatakan, nikah bisa diharamkan ketika calon suami tahu dirinya tidak akan bisa memenuhi hak-hak istri, apalagi sampai menyakiti dan mencelakakannya. Demikian halnya dengan poligami. Karena itu, Muhammad Abduh dengan melihat kondisi Mesir saat itu, lebih memilih mengharamkan poligami. Nabi dan larangan poligami Dalam kitab Ibn al-Atsir, poligami yang dilakukan Nabi adalah upaya transformasi sosial (lihat pada Jâmi' al-Ushûl, juz XII, 108-179). Mekanisme poligami yang diterapkan Nabi merupakan strategi untuk meningkatkan kedudukan perempuan dalam tradisi feodal Arab pada abad ke-7 Masehi. Saat itu, nilai sosial seorang perempuan dan janda sedemikian rendah sehingga seorang laki-laki dapat beristri sebanyak mereka suka. Sebaliknya, yang dilakukan Nabi adalah membatasi praktik poligami, mengkritik perilaku sewenang-wenang, dan menegaskan keharusan berlaku adil dalam berpoligami. Ketika Nabi melihat sebagian sahabat telah mengawini delapan sampai sepuluh perempuan, mereka diminta menceraikan dan menyisakan hanya empat. Itulah yang dilakukan Nabi kepada Ghilan bin Salamah ats-Tsaqafi RA, Wahb al-Asadi, dan Qais bin al-Harits. Dan, inilah pernyataan eksplisit dalam pembatasan terhadap kebiasan poligami yang awalnya tanpa batas sama sekali. Pada banyak kesempatan, Nabi justru lebih banyak menekankan prinsip keadilan berpoligami. Dalam sebuah ungkapan dinyatakan: "Barang siapa yang mengawini dua perempuan, sedangkan ia tidak bisa berbuat adil kepada keduanya, pada hari akhirat nanti separuh tubuhnya akan lepas dan terputus" (Jâmi' al-Ushûl, juz XII, 168, nomor hadis: 9049). Bahkan, dalam berbagai kesempatan, Nabi SAW menekankan pentingnya bersikap sabar dan menjaga perasaan istri. Teks-teks hadis poligami sebenarnya mengarah kepada kritik, pelurusan, dan pengembalian pada prinsip keadilan. Dari sudut ini, pernyataan "poligami itu sunah" sangat bertentangan dengan apa yang disampaikan Nabi. Apalagi dengan melihat pernyataan dan sikap Nabi yang sangat tegas menolak poligami Ali bin Abi Thalib RA. Anehnya, teks hadis ini jarang dimunculkan kalangan propoligami. Padahal, teks ini diriwayatkan para ulama hadis terkemuka: Bukhari, Muslim, Turmudzi, dan Ibn Majah. Nabi SAW marah besar ketika mendengar putri beliau, Fathimah binti Muhammad SAW, akan dipoligami Ali bin Abi Thalib RA. Ketika mendengar rencana itu, Nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru: "Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilakan mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga." (Jâmi' al-Ushûl, juz XII, 162, nomor hadis: 9026). Sama dengan Nabi yang berbicara tentang Fathimah, hampir setiap orangtua tidak akan rela jika putrinya dimadu. Seperti dikatakan Nabi, poligami akan menyakiti hati perempuan, dan juga menyakiti hati orangtuanya. Jika pernyataan Nabi ini dijadikan dasar, maka bisa dipastikan yang sunah justru adalah tidak mempraktikkan poligami karena itu yang tidak dikehendaki Nabi. Dan, Ali bin Abi Thalib RA sendiri tetap bermonogami sampai Fathimah RA wafat. Poligami tak butuh dukungan teks Sebenarnya, praktik poligami bukanlah persoalan teks, berkah, apalagi sunah, melainkan persoalan budaya. Dalam pemahaman budaya, praktik poligami dapat dilihat dari tingkatan sosial yang berbeda. Bagi kalangan miskin atau petani dalam tradisi agraris, poligami dianggap sebagai strategi pertahanan hidup untuk penghematan pengelolaan sumber daya. Tanpa susah payah, lewat poligami akan diperoleh tenaga kerja ganda tanpa upah. Kultur ini dibawa migrasi ke kota meskipun stuktur masyarakat telah berubah. Sementara untuk kalangan priayi, poligami tak lain dari bentuk pembendamatian perempuan. Ia disepadankan dengan harta dan takhta yang berguna untuk mendukung penyempurnaan derajat sosial lelaki. Dari cara pandang budaya memang menjadi jelas bahwa poligami merupakan proses dehumanisasi perempuan. Mengambil pandangan ahli pendidikan Freire, dehumanisasi dalam konteks poligami terlihat mana kala perempuan yang dipoligami mengalami self-depreciation. Mereka membenarkan, bahkan bersetuju dengan tindakan poligami meskipun mengalami penderitaan lahir batin luar biasa. Tak sedikit di antara mereka yang menganggap penderitaan itu adalah pengorbanan yang sudah sepatutnya dijalani, atau poligami itu terjadi karena kesalahannya sendiri. Dalam kerangka demografi, para pelaku poligami kerap mengemukakan argumen statistik. Bahwa apa yang mereka lakukan hanyalah kerja bakti untuk menutupi kesenjangan jumlah penduduk yang tidak seimbang antara lelaki dan perempuan. Tentu saja argumen ini malah menjadi bahan tertawaan. Sebab, secara statistik, meskipun jumlah perempuan sedikit lebih tinggi, namun itu hanya terjadi pada usia di atas 65 tahun atau di bawah 20 tahun. Bahkan, di dalam kelompok umur 25-29 tahun, 30-34 tahun, dan 45-49 tahun jumlah lelaki lebih tinggi. (Sensus DKI dan Nasional tahun 2000; terima kasih kepada lembaga penelitian IHS yang telah memasok data ini). Namun, jika argumen agama akan digunakan, maka sebagaimana prinsip yang dikandung dari teks-teks keagamaan itu, dasar poligami seharusnya dilihat sebagai jalan darurat. Dalam kaidah fikih, kedaruratan memang diperkenankan. Ini sama halnya dengan memakan bangkai; suatu tindakan yang dibenarkan manakala tidak ada yang lain yang bisa dimakan kecuali bangkai. Dalam karakter fikih Islam, sebenarnya pilihan monogami atau poligami dianggap persoalan parsial. Predikat hukumnya akan mengikuti kondisi ruang dan waktu. Perilaku Nabi sendiri menunjukkan betapa persoalan ini bisa berbeda dan berubah dari satu kondisi ke kondisi lain. Karena itu, pilihan monogami-poligami bukanlah sesuatu yang prinsip. Yang prinsip adalah keharusan untuk selalu merujuk pada prinsip-prinsip dasar syariah, yaitu keadilan, membawa kemaslahatan dan tidak mendatangkan mudarat atau kerusakan (mafsadah). Dan, manakala diterapkan, maka untuk mengidentifikasi nilai-nilai prinsipal dalam kaitannya dengan praktik poligami ini, semestinya perempuan diletakkan sebagai subyek penentu keadilan. Ini prinsip karena merekalah yang secara langsung menerima akibat poligami. Dan, untuk pengujian nilai-nilai ini haruslah dilakukan secara empiris, interdisipliner, dan obyektif dengan melihat efek poligami dalam realitas sosial masyarakat. Dan, ketika ukuran itu diterapkan, sebagaimaan disaksikan Muhammad Abduh, ternyata yang terjadi lebih banyak menghasilkan keburukan daripada kebaikan. Karena itulah Abduh kemudian meminta pelarangan poligami. Dalam konteks ini, Abduh menyitir teks hadis Nabi SAW: "Tidak dibenarkan segala bentuk kerusakan (dharar) terhadap diri atau orang lain." (Jâmi'a al-Ushûl, VII, 412, nomor hadis: 4926). Ungkapan ini tentu lebih prinsip dari pernyataan "poligami itu sunah". Faqihuddin Abdul Kodir Dosen STAIN Cirebon dan peneliti Fahmina Institute Cirebon, Alumnus Fakultas Syariah Universitas Damaskus, Suriah Subyantoro Tensia Manufacturing Indonesia E-mail : [EMAIL PROTECTED] -----Original Message----- From: Yusran Arif [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: Monday, May 12, 2003 9:20 PM To: 'Wargino, Wargino'; 'Doddy Jatiyanto - BMI'; Subyantoro, ID- TEN; '[EMAIL PROTECTED]'; Yusran Arif; '[EMAIL PROTECTED]'; 'Said Fachriansyah - BMI'; 'Dedi Hasbullah - BMI'; '[EMAIL PROTECTED]'; '[EMAIL PROTECTED]'; 'iroed- [EMAIL PROTECTED]'; '[EMAIL PROTECTED]' Subject: FW: Jihad Melawan Industri Syahwat http://www.sabili.co.id/telut-edisi22thx03c.htm Sabili Cyber-News Jihad Melawan Industri Syahwat Siapa yang paling diuntungkan Inul, dan siapa pula yang paling dirugikan? Setelah pertemuannya dengan Rhoma (25/4), salah satu pernyataan pihak Inul adalah mundur dari layar kaca untuk waktu yang belum ditentukan. Sikap ini tentu saja membuat sejumlah pengusaha hiburan kalang- kabut. SCTV mungkin menjadi salah satu pihak yang paling terpukul dengan kejadian ini. Uang ratusan juta bahkan milyaran dipastikan ikut lenyap bersama lenyapnya Inul dari layar kacanya. Stasiun teve yang sebagian sahamnya dimiliki Open Society pimpinan George Soros ini dikenal turut membesarkan Inul. Lewat tayangannya, SCTV telah menyebarkan wabah goyang maksiatnya ke dalam bilik-bilik pribadi seluruh keluarga Indonesia. Di teve, penyanyi yang bernama asli Ainul Rokhimah tersebut muncul pertama kali di dalam acara Laris Manis. Respon pemirsa dalam acara ini amat banyak. Melihat peluang ini di mana Inul sangat potensial dijadikan mesin penghasil uang, SCTV kembali menampilkan Inul di dalam acara Liga Italia Centrocampo dan 3 in 1. Sambutan pemirsa luar biasa. Nama Inul pun meroket. SCTV kemudian membuat acara tersendiri bagi pecinta musik dangdut koplo, yakni Duet Maut. Kemunculan Inul yang disandingkan dengan Annisa Bahar pada tayangan 14 Maret 2003 merupakan kelahiran acara tersebut. Hasil survey SRI, acara Duet Maut pertama itu meraup rating sebesar 15,3. Ini berarti 15,3 persen pemirsa menontan acara tersebut. Melihat hal ini, SCTV segera mengontrak Inul untuk tampil di Duet Maut sebanyak 13 episode. Benar saja, acara tersebut pada akhirnya menjadi mesin pendulang uang bagi kantong SCTV. Setiap episodenya selalu kebanjiran iklan. "Sedikitnya 36 sampai 40 spot. Bisa akan lebih banyak bila kami tidak membatasi jumlah iklannya," aku Humas SCTV Budi Darmawan seperti dikutip Tabloid Citra (2/5). Dengan tarif sebesar 18 juta rupiah per-spot, maka SCTV sedikitnya mendapat pemasukan sekitar 720 juta rupiah setiap Inul muncul dalam Duet Maut! Sosok Inul ternyata tidak hanya ditampilkan dalam acara Duet Maut, dalam acara-acara hiburan lainnya, segala berita tentang Inul pun dicover dengan cukup lengkap. Bahkan penampilan Inul di Bandung (4/5) dijadikan dua berita utama sekaligus dalam Liputan 6 Sore SCTV (4/5). Sehari sebelumnya, stasiun teve yang sama juga membuat program khusus tentang Inul dan kasusnya. Acara yang dipresentasikan oleh artis Denada ini secara sengaja memuat surat-surat para pendukung Inul dan sama sekali tidak memuat surat-surat yang anti Inul, sehingga yang terjadi sesungguhnya adalah penyesatan opini publik. Selain SCTV, stasiun teve swasta yang juga mengeksploitir Inul demi memenuhi pundi-pundi uangnya adalah Trans TV. Acara Inul Daratista Special (IDS) yang disiarkan 19 April lalu mislanya, berada di posisi 10 dari seluruh program acara secara nasional untuk pekan ke 16 tahun ini. Dari IDS, Trans TV juga berhasil meraup uang sedikitnya 700 juta rupiah. Seperti juga di SCTV, di Trans TV Inul pun tidak hanya muncul dalam IDS. Ia juga dimunculkan di acara ulang tahun tayangan infotainment Kroscek dan Digoda. Belakangan Trans TV mengumumkan akan menayangkan acara "Goyang Inul" Mengikuti langkah SCTV dan Trans TV, Metro TV yang sesungguhnya memposisikan diri sebagai stasiun berita pertama di Indonesia ini, latah memasang Inul. Uang pun masuk dalam jumlah yang lebih kurang sama. Stasiun teve lain tak ketinggalan, jadilah sosok Inul dieksplotir sedemikian rupa hingga menjelma menjadi mesin pemasok uang yang handal bagi stasiun-stasiun teve swasta Indonesia. Selain stasiun teve, sosok Inul ternyata juga membawa keuntungan berlipat pada industri iklan. Hingga saat ini, poduk-produk yang sudah memajang Inul sebagai bintang iklannya adalah Sakatonik Grenk, minuman Hore, obat nyamuk Vape, VCD Akari, jamu dan produk lainnya. Amalia Reska, Account Manager biro iklan Socrates yang membuat iklan Sakatonik Grenk, seperti dikutip Tabloid Citra (2/5), mengakui, "Kita mulai menayangkan iklan televisi yang dibintangi Inil pada bulan Februari. Selama bulan Maret-April, angka penjualan meningkat dua kali lipat." Industri rekaman malah sudah duluan menggaet Inul. Perusahaan Blackboard telah menyiapkan promosi album rekaman Inul. Iwan Sastrawijaya, bos Blackboard Record malah ikut mengiringi Inul saat menemui Rhoma di Depok (25/4). Saat bertemu Rhoma, Iwan diusir dari ruang pertemuan gara- gara berkeras agar goyang Inul harus dipertahankan. Seorang saksi mata jalannya pertemuan mengungkap pada Tabloid Cek & Ricek (5/5): Awalnya pertemuan tersebut berjalan dengan ramah. Rhoma berbicara dengan nada sejuk dan tenang. Pada Inul, Rhoma menyebut penyanyi Malaysia Siti Nurhaliza yang dianggapnya sopan dalam bernyanyi. Lantas Rhoma bertanya pada Inul, "Kenapa Anda tidak meniru penyanyi itu yang mampu mengharumkan nama bangsanya?" Ditanya demikian, Inul tak menjawab. Ia tetap duduk menunduk. Namun yang menjawab justru Iwan Sastrawijaya. Bos perusahaan rekaman Blackboard ini menyela, "Tidak bisa pak, soalnya tidak ada goyangnya!" Mendengar ucapan pengusaha itu, Rhoma meradang dan menghardik Iwan. Dengan marah, Rhoma mengusir Iwan keluar ruangan. Demikian penuturan saksi mata itu. Kalimat yang meluncur dari mulut Iwan tersebut merupakan ekspresi murni seorang pengusaha yang just money oriented, hanya berorientasi pada uang dan keuntungan materil tanpa memikirkan masalah moralitas apalagi akhlak bangsa. Jika tidak ada goyang, maka produk yang dijual tidak akan laku. Sebab itu, ketika Inul menyatakan akan mengundurkan diri dari layar kaca, yang berarti menghilang dari tontonan publik secara nasional, maka yang kalang-kabut dan pusing seribu keliling adalah para pengusaha industri hiburan. Sebab pemasukan sudah pasti akan melorot tajam. Dengan sendirinya, untuk kembali membuat deras uang masuk ke kocek mereka, maka segala daya upaya akan ditempuh untuk mengembalikan Inul ke layar kaca. Konspirasi antara pengusaha industri hiburan, stasiun teve, seniman, artis, media massa dan komunitas pecinta dangdut koplo pun terjadi. Simbiosis mutualisme, kejasama yang saling menguntungkan, untuk kembali menghadirkan Inul dengan goyangan erotisnya masuk ke bilik tiap keluarga Indonesia. Dengan berbagai dalih, kebebasan berekspresi, kebebasan berkesenian, demi hak asasi manusia dan sebagainya diteriakkan. Padahal jika ditanyakan apakah selama ini mereka peduli dengan moralitas dan ahklak bangsa, maka jawabannya adalah nol besar. Apakah para artis sinetron pernah peduli dengan dampak dari sinetron-sinetron misteri yang menjual cerita mistik dan kemusyrikan? Apakah para artis sineron itu pernah peduli dengan dampak sinetron-sinetron yang mengumbar aurat, gaya hidup permisif, pamer kekayaan, gaya hidup boros dan kekerasan? Umumnya tak pernah. Jadi yang diusung para artis adalah kebebasan ekspresi mereka sendiri dan hak mereka sendiri, tanpa peduli dengan hak asasi orang lain. Kebebasan ala Barat yang kebablasan itulah yang mereka inginkan. Apakah akan kita biarkan? Sosok Inul jelas telah mendatangkan keuntungan material yang amat besar bagi para pengusaha industri hiburan-tepatnya industri pornografi, meminjam istilah Ketua MUI Pusat Amidhan. Lalu, siapa yang selama ini dirugikan oleh keberadaan Inul? Ketua MTP (Masyarakat Tolak Pornografi) Indrawati Pary menegaskan, kehadiran Inul dan artis lainnya yang sama-sama mempertontonkan erotisme sangat merugikan moral dan ahklak bangsa. Bahkan lebih jauh, Indrawati Pary melihat fenominul ini merupakan satu strategi yang disengaja-konspirasi-oleh pihak-pihak tertentu untuk kian memperbodoh dan menjerumuskan bangsa ini ke dalam jurang kebinasaan. "Misalnya saja, dari kemarin kita sudah kirim banyak surat bernada keberatan tentang tayangan Inul di teve. Surat-surat itu kami kirim ke berbagai media massa, cetak maupun teve, biasanya dalam hitungan satu hari sudah dimuat, tapi kali ini kok tidak. Malah yang saya lihat, opini yang berkembang dan dimuat mereka malah yang mendukung Inul. Itu nggak fair namanya. Kalau mau mengakomodir ya dua-duanya harus dimuat, tapi ini tidak," keluh Indrawati. Sekjen Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Hussein Umar menuturkan, "Pernah salah satu stasiun teve swasta dalam Live Show menampilkan Inul, lalu lewat telepon dua orang tokoh agama: A'a Gym dan KH. Ma'ruf Amin dimintai komentarnya. Kedua tokoh agama itu memberikan nasihat yang bagus dan bijak. Tapi apa komentar sang pembawa acara yang diiyakan sendiri oleh Inul? Mereka berdua berkata bahwa biar protes jalan terus, goyang tetap jalan terus juga. Jadi ini sudah merupakan satu pelecehan terhadap norma-norma asasi kehidupan kita." Tentang pemberantasan kemaksiatan, Ketua Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq punya pedoman, "Jika mereka berani mati di dalam kemaksiatan, mengapa kita takut mati di dalam membela kebenaran?" Rizki Ridyasmara Laporan: Adnan Firdaus, Fadli Rachman, Eman Mulyatman. RantauNet http://www.rantaunet.com Isikan data keanggotaan anda di http://www.rantaunet.com/daftar.php ----------------------------------------------- Berhenti menerima RantauNet Mailing List, silahkan ke: http://www.rantaunet.com/unsubscribe.php ==============================================