Aneh, sementara ayat itu untuk mengiring orang keluar dari
kebiadaban dan kejahiliaan yang memperlakukan perempuan se-
mena-mena malah ditafsirkan untuk membawa kembali peradaban
kekejahiliahan.

JD

Dear All,

Kompas, Senin 12 Mei 2003

Benarkah Poligami Sunah?

Faqihuddin Abdul Kodir

UNGKAPAN "poligami itu sunah" sering digunakan sebagai pembenaran
poligami. Namun, berlindung pada pernyataan itu, sebenarnya bentuk lain
dari pengalihan tanggung jawab atas tuntutan untuk berlaku adil karena
pada kenyataannya, sebagaimana ditegaskan Al Quran, berlaku adil sangat
sulit dilakukan (An-Nisa: 129).

DALIL "poligami adalah sunah" biasanya diajukan karena sandaran kepada
teks ayat Al Quran (QS An-Nisa, 4: 2-3) lebih mudah dipatahkan. Satu-
satunya ayat yang berbicara tentang poligami sebenarnya tidak
mengungkapkan hal itu pada konteks memotivasi, apalagi mengapresiasi
poligami. Ayat ini meletakkan poligami pada konteks perlindungan terhadap
yatim piatu dan janda korban perang.

Dari kedua ayat itu, beberapa ulama kontemporer, seperti Syekh Muhammad
Abduh, Syekh Rashid Ridha, dan Syekh Muhammad al-Madan-ketiganya ulama
terkemuka Azhar Mesir-lebih memilih memperketat.

Lebih jauh Abduh menyatakan, poligami adalah penyimpangan dari relasi
perkawinan yang wajar dan hanya dibenarkan secara syar'i dalam keadaan
darurat sosial, seperti perang, dengan syarat tidak menimbulkan kerusakan
dan kezaliman (Tafsir al-Manar, 4/287).

Anehnya, ayat tersebut bagi kalangan yang propoligami dipelintir
menjadi "hak penuh" laki-laki untuk berpoligami. Dalih mereka, perbuatan
itu untuk mengikuti sunah Nabi Muhammad SAW. Menjadi menggelikan ketika
praktik poligami bahkan dipakai sebagai tolok ukur keislaman seseorang:
semakin aktif berpoligami dianggap semakin baik poisisi keagamaannya.
Atau, semakin bersabar seorang istri menerima permaduan, semakin baik
kualitas imannya. Slogan-slogan yang sering dimunculkan
misalnya, "poligami membawa berkah", atau "poligami itu indah", dan yang
lebih populer adalah "poligami itu sunah".

Dalam definisi fikih, sunah berarti tindakan yang baik untuk dilakukan.
Umumnya mengacu kepada perilaku Nabi. Namun, amalan poligami, yang
dinisbatkan kepada Nabi, ini jelas sangat distorsif. Alasannya, jika
memang dianggap sunah, mengapa Nabi tidak melakukannya sejak pertama kali
berumah tangga?

Nyatanya, sepanjang hayatnya, Nabi lebih lama bermonogami daripada
berpoligami. Bayangkan, monogami dilakukan Nabi di tengah masyarakat yang
menganggap poligami adalah lumrah. Rumah tangga Nabi SAW bersama istri
tunggalnya, Khadijah binti Khuwalid RA, berlangsung selama 28 tahun. Baru
kemudian, dua tahun sepeninggal Khadijah, Nabi berpoligami. Itu pun
dijalani hanya sekitar delapan tahun dari sisa hidup beliau. Dari
kalkulasi ini, sebenarnya tidak beralasan pernyataan "poligami itu sunah".

Sunah, seperti yang didefinisikan Imam Syafi'i (w. 204 H), adalah
penerapan Nabi SAW terhadap wahyu yang diturunkan. Pada kasus poligami
Nabi sedang mengejawantahkan Ayat An-Nisa 2-3 mengenai perlindungan
terhadap janda mati dan anak-anak yatim. Dengan menelusuri kitab Jami' al-
Ushul (kompilasi dari enam kitab hadis ternama) karya Imam Ibn al-Atsir
(544-606H), kita dapat menemukan bukti bahwa poligami Nabi adalah media
untuk menyelesaikan persoalan sosial saat itu, ketika lembaga sosial yang
ada belum cukup kukuh untuk solusi.

Bukti bahwa perkawinan Nabi untuk penyelesaian problem sosial bisa dilihat
pada teks-teks hadis yang membicarakan perkawinan-perkawinan Nabi.
Kebanyakan dari mereka adalah janda mati, kecuali Aisyah binti Abu Bakr RA.

Selain itu, sebagai rekaman sejarah jurisprudensi Islam,
ungkapan "poligami itu sunah" juga merupakan reduksi yang sangat besar.
Nikah saja, menurut fikih, memiliki berbagai predikat hukum, tergantung
kondisi calon suami, calon istri, atau kondisi masyarakatnya. Nikah bisa
wajib, sunah, mubah (boleh), atau sekadar diizinkan. Bahkan, Imam al-Alusi
dalam tafsirnya, Rûh al-Ma'âni, menyatakan, nikah bisa diharamkan ketika
calon suami tahu dirinya tidak akan bisa memenuhi hak-hak istri, apalagi
sampai menyakiti dan mencelakakannya. Demikian halnya dengan poligami.
Karena itu, Muhammad Abduh dengan melihat kondisi Mesir saat itu, lebih
memilih mengharamkan poligami.

Nabi dan larangan poligami

Dalam kitab Ibn al-Atsir, poligami yang dilakukan Nabi adalah upaya
transformasi sosial (lihat pada Jâmi' al-Ushûl, juz XII, 108-179).
Mekanisme poligami yang diterapkan Nabi merupakan strategi untuk
meningkatkan kedudukan perempuan dalam tradisi feodal Arab pada abad ke-7
Masehi. Saat itu, nilai sosial seorang perempuan dan janda sedemikian
rendah sehingga seorang laki-laki dapat beristri sebanyak mereka suka.

Sebaliknya, yang dilakukan Nabi adalah membatasi praktik poligami,
mengkritik perilaku sewenang-wenang, dan menegaskan keharusan berlaku adil
dalam berpoligami.

Ketika Nabi melihat sebagian sahabat telah mengawini delapan sampai
sepuluh perempuan, mereka diminta menceraikan dan menyisakan hanya empat.
Itulah yang dilakukan Nabi kepada Ghilan bin Salamah ats-Tsaqafi RA, Wahb
al-Asadi, dan Qais bin al-Harits. Dan, inilah pernyataan eksplisit dalam
pembatasan terhadap kebiasan poligami yang awalnya tanpa batas sama sekali.

Pada banyak kesempatan, Nabi justru lebih banyak menekankan prinsip
keadilan berpoligami. Dalam sebuah ungkapan dinyatakan: "Barang siapa yang
mengawini dua perempuan, sedangkan ia tidak bisa berbuat adil kepada
keduanya, pada hari akhirat nanti separuh tubuhnya akan lepas dan
terputus" (Jâmi' al-Ushûl, juz XII, 168, nomor hadis: 9049). Bahkan, dalam
berbagai kesempatan, Nabi SAW menekankan pentingnya bersikap sabar dan
menjaga perasaan istri.

Teks-teks hadis poligami sebenarnya mengarah kepada kritik, pelurusan, dan
pengembalian pada prinsip keadilan. Dari sudut ini, pernyataan "poligami
itu sunah" sangat bertentangan dengan apa yang disampaikan Nabi. Apalagi
dengan melihat pernyataan dan sikap Nabi yang sangat tegas menolak
poligami Ali bin Abi Thalib RA. Anehnya, teks hadis ini jarang dimunculkan
kalangan propoligami. Padahal, teks ini diriwayatkan para ulama hadis
terkemuka: Bukhari, Muslim, Turmudzi, dan Ibn Majah.

Nabi SAW marah besar ketika mendengar putri beliau, Fathimah binti
Muhammad SAW, akan dipoligami Ali bin Abi Thalib RA. Ketika mendengar
rencana itu, Nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu
berseru: "Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin
kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib.
Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan
mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib
menceraikan putriku, kupersilakan mengawini putri mereka. Ketahuilah,
putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah
menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku
juga." (Jâmi' al-Ushûl, juz XII, 162, nomor hadis: 9026).

Sama dengan Nabi yang berbicara tentang Fathimah, hampir setiap orangtua
tidak akan rela jika putrinya dimadu. Seperti dikatakan Nabi, poligami
akan menyakiti hati perempuan, dan juga menyakiti hati orangtuanya.

Jika pernyataan Nabi ini dijadikan dasar, maka bisa dipastikan yang sunah
justru adalah tidak mempraktikkan poligami karena itu yang tidak
dikehendaki Nabi. Dan, Ali bin Abi Thalib RA sendiri tetap bermonogami
sampai Fathimah RA wafat.

Poligami tak butuh dukungan teks

Sebenarnya, praktik poligami bukanlah persoalan teks, berkah, apalagi
sunah, melainkan persoalan budaya. Dalam pemahaman budaya, praktik
poligami dapat dilihat dari tingkatan sosial yang berbeda.

Bagi kalangan miskin atau petani dalam tradisi agraris, poligami dianggap
sebagai strategi pertahanan hidup untuk penghematan pengelolaan sumber
daya. Tanpa susah payah, lewat poligami akan diperoleh tenaga kerja ganda
tanpa upah. Kultur ini dibawa migrasi ke kota meskipun stuktur masyarakat
telah berubah. Sementara untuk kalangan priayi, poligami tak lain dari
bentuk pembendamatian perempuan. Ia disepadankan dengan harta dan takhta
yang berguna untuk mendukung penyempurnaan derajat sosial lelaki.

Dari cara pandang budaya memang menjadi jelas bahwa poligami merupakan
proses dehumanisasi perempuan. Mengambil pandangan ahli pendidikan Freire,
dehumanisasi dalam konteks poligami terlihat mana kala perempuan yang
dipoligami mengalami self-depreciation. Mereka membenarkan, bahkan
bersetuju dengan tindakan poligami meskipun mengalami penderitaan lahir
batin luar biasa. Tak sedikit di antara mereka yang menganggap penderitaan
itu adalah pengorbanan yang sudah sepatutnya dijalani, atau poligami itu
terjadi karena kesalahannya sendiri.

Dalam kerangka demografi, para pelaku poligami kerap mengemukakan argumen
statistik. Bahwa apa yang mereka lakukan hanyalah kerja bakti untuk
menutupi kesenjangan jumlah penduduk yang tidak seimbang antara lelaki dan
perempuan. Tentu saja argumen ini malah menjadi bahan tertawaan. Sebab,
secara statistik, meskipun jumlah perempuan sedikit lebih tinggi, namun
itu hanya terjadi pada usia di atas 65 tahun atau di bawah 20 tahun.
Bahkan, di dalam kelompok umur 25-29 tahun, 30-34 tahun, dan 45-49 tahun
jumlah lelaki lebih tinggi. (Sensus DKI dan Nasional tahun 2000; terima
kasih kepada lembaga penelitian IHS yang telah memasok data ini).

Namun, jika argumen agama akan digunakan, maka sebagaimana prinsip yang
dikandung dari teks-teks keagamaan itu, dasar poligami seharusnya dilihat
sebagai jalan darurat. Dalam kaidah fikih, kedaruratan memang
diperkenankan. Ini sama halnya dengan memakan bangkai; suatu tindakan yang
dibenarkan manakala tidak ada yang lain yang bisa dimakan kecuali bangkai.

Dalam karakter fikih Islam, sebenarnya pilihan monogami atau poligami
dianggap persoalan parsial. Predikat hukumnya akan mengikuti kondisi ruang
dan waktu. Perilaku Nabi sendiri menunjukkan betapa persoalan ini bisa
berbeda dan berubah dari satu kondisi ke kondisi lain. Karena itu, pilihan
monogami-poligami bukanlah sesuatu yang prinsip. Yang prinsip adalah
keharusan untuk selalu merujuk pada prinsip-prinsip dasar syariah, yaitu
keadilan, membawa kemaslahatan dan tidak mendatangkan mudarat atau
kerusakan (mafsadah).

Dan, manakala diterapkan, maka untuk mengidentifikasi nilai-nilai
prinsipal dalam kaitannya dengan praktik poligami ini, semestinya
perempuan diletakkan sebagai subyek penentu keadilan. Ini prinsip karena
merekalah yang secara langsung menerima akibat poligami. Dan, untuk
pengujian nilai-nilai ini haruslah dilakukan secara empiris,
interdisipliner, dan obyektif dengan melihat efek poligami dalam realitas
sosial masyarakat.

Dan, ketika ukuran itu diterapkan, sebagaimaan disaksikan Muhammad Abduh,
ternyata yang terjadi lebih banyak menghasilkan keburukan daripada
kebaikan. Karena itulah Abduh kemudian meminta pelarangan poligami.

Dalam konteks ini, Abduh menyitir teks hadis Nabi SAW: "Tidak dibenarkan
segala bentuk kerusakan (dharar) terhadap diri atau orang lain." (Jâmi'a
al-Ushûl, VII, 412, nomor hadis: 4926). Ungkapan ini tentu lebih prinsip
dari pernyataan "poligami itu sunah".

Faqihuddin Abdul Kodir Dosen STAIN Cirebon dan peneliti Fahmina Institute
Cirebon, Alumnus Fakultas Syariah Universitas Damaskus, Suriah

Subyantoro
Tensia Manufacturing Indonesia
E-mail     : [EMAIL PROTECTED]

        -----Original Message-----
        From: Yusran Arif [mailto:[EMAIL PROTECTED]
        Sent: Monday, May 12, 2003 9:20 PM
        To: 'Wargino, Wargino'; 'Doddy Jatiyanto - BMI'; Subyantoro, ID-
TEN; '[EMAIL PROTECTED]'; Yusran
Arif; '[EMAIL PROTECTED]'; 'Said Fachriansyah - BMI'; 'Dedi
Hasbullah - BMI'; '[EMAIL PROTECTED]'; '[EMAIL PROTECTED]'; 'iroed-
[EMAIL PROTECTED]'; '[EMAIL PROTECTED]'
        Subject: FW: Jihad Melawan Industri Syahwat

        http://www.sabili.co.id/telut-edisi22thx03c.htm

        Sabili Cyber-News

        Jihad Melawan Industri Syahwat

        Siapa yang paling diuntungkan Inul, dan siapa pula yang paling
        dirugikan?

        Setelah pertemuannya dengan Rhoma (25/4), salah satu pernyataan
pihak
        Inul adalah mundur dari layar kaca untuk waktu yang belum
ditentukan.
        Sikap ini tentu saja membuat sejumlah pengusaha hiburan kalang-
kabut.
        SCTV mungkin menjadi salah satu pihak yang paling terpukul dengan
        kejadian ini. Uang ratusan juta bahkan milyaran dipastikan ikut
lenyap
        bersama lenyapnya Inul dari layar kacanya.

        Stasiun teve yang sebagian sahamnya dimiliki Open Society pimpinan
        George Soros ini dikenal turut membesarkan Inul. Lewat
tayangannya, SCTV
        telah menyebarkan wabah goyang maksiatnya ke dalam bilik-bilik
pribadi
        seluruh keluarga Indonesia. Di teve, penyanyi yang bernama asli
Ainul
        Rokhimah tersebut muncul pertama kali di dalam acara Laris Manis.
Respon
        pemirsa dalam acara ini amat banyak. Melihat peluang ini di mana
Inul
        sangat potensial dijadikan mesin penghasil uang, SCTV kembali
        menampilkan Inul di dalam acara Liga Italia Centrocampo dan 3 in 1.

        Sambutan pemirsa luar biasa. Nama Inul pun meroket. SCTV kemudian
        membuat acara tersendiri bagi pecinta musik dangdut koplo, yakni
Duet
        Maut. Kemunculan Inul yang disandingkan dengan Annisa Bahar pada
        tayangan 14 Maret 2003 merupakan kelahiran acara tersebut.

        Hasil survey SRI, acara Duet Maut pertama itu meraup rating sebesar
        15,3. Ini berarti 15,3 persen pemirsa menontan acara tersebut.
Melihat
        hal ini, SCTV segera mengontrak Inul untuk tampil di Duet Maut
sebanyak
        13 episode.

        Benar saja, acara tersebut pada akhirnya menjadi mesin pendulang
uang
        bagi kantong SCTV. Setiap episodenya selalu kebanjiran iklan.
        "Sedikitnya 36 sampai 40 spot. Bisa akan lebih banyak bila kami
tidak
        membatasi jumlah iklannya," aku Humas SCTV Budi Darmawan seperti
dikutip
        Tabloid Citra (2/5). Dengan tarif sebesar 18 juta rupiah per-spot,
maka
        SCTV sedikitnya mendapat pemasukan sekitar 720 juta rupiah setiap
Inul
        muncul dalam Duet Maut!

        Sosok Inul ternyata tidak hanya ditampilkan dalam acara Duet Maut,
dalam
        acara-acara hiburan lainnya, segala berita tentang Inul pun dicover
        dengan cukup lengkap. Bahkan penampilan Inul di Bandung (4/5)
dijadikan
        dua berita utama sekaligus dalam Liputan 6 Sore SCTV (4/5). Sehari
        sebelumnya, stasiun teve yang sama juga membuat program khusus
tentang
        Inul dan kasusnya. Acara yang dipresentasikan oleh artis Denada ini
        secara sengaja memuat surat-surat para pendukung Inul dan sama
sekali
        tidak memuat surat-surat yang anti Inul, sehingga yang terjadi
        sesungguhnya adalah penyesatan opini publik.

        Selain SCTV, stasiun teve swasta yang juga mengeksploitir Inul demi
        memenuhi pundi-pundi uangnya adalah Trans TV. Acara Inul Daratista
        Special (IDS) yang disiarkan 19 April lalu mislanya, berada di
posisi 10
        dari seluruh program acara secara nasional untuk pekan ke 16 tahun
ini.
        Dari IDS, Trans TV juga berhasil meraup uang sedikitnya 700 juta
rupiah.

        Seperti juga di SCTV, di Trans TV Inul pun tidak hanya muncul
dalam IDS.
        Ia juga dimunculkan di acara ulang tahun tayangan infotainment
Kroscek
        dan Digoda. Belakangan Trans TV mengumumkan akan menayangkan acara
        "Goyang Inul" Mengikuti langkah SCTV dan Trans TV, Metro TV yang
        sesungguhnya memposisikan diri sebagai stasiun berita pertama di
        Indonesia ini, latah memasang Inul. Uang pun masuk dalam jumlah
yang
        lebih kurang sama. Stasiun teve lain tak ketinggalan, jadilah
sosok Inul
        dieksplotir sedemikian rupa hingga menjelma menjadi mesin pemasok
uang
        yang handal bagi stasiun-stasiun teve swasta Indonesia.

        Selain stasiun teve, sosok Inul ternyata juga membawa keuntungan
        berlipat pada industri iklan. Hingga saat ini, poduk-produk yang
sudah
        memajang Inul sebagai bintang iklannya adalah Sakatonik Grenk,
minuman
        Hore, obat nyamuk Vape, VCD Akari, jamu dan produk lainnya.

        Amalia Reska, Account Manager biro iklan Socrates yang membuat
iklan
        Sakatonik Grenk, seperti dikutip Tabloid Citra (2/5),
mengakui, "Kita
        mulai menayangkan iklan televisi yang dibintangi Inil pada bulan
        Februari. Selama bulan Maret-April, angka penjualan meningkat dua
kali
        lipat."

        Industri rekaman malah sudah duluan menggaet Inul. Perusahaan
Blackboard
        telah menyiapkan promosi album rekaman Inul. Iwan Sastrawijaya, bos
        Blackboard Record malah ikut mengiringi Inul saat menemui Rhoma di
Depok
        (25/4). Saat bertemu Rhoma, Iwan diusir dari ruang pertemuan gara-
gara
        berkeras agar goyang Inul harus dipertahankan.
        Seorang saksi mata jalannya pertemuan mengungkap pada Tabloid Cek &
        Ricek (5/5): Awalnya pertemuan tersebut berjalan dengan ramah.
Rhoma
        berbicara dengan nada sejuk dan tenang. Pada Inul, Rhoma menyebut
        penyanyi Malaysia Siti Nurhaliza yang dianggapnya sopan dalam
bernyanyi.
        Lantas Rhoma bertanya pada Inul, "Kenapa Anda tidak meniru
penyanyi itu
        yang mampu mengharumkan nama bangsanya?" Ditanya demikian, Inul tak
        menjawab. Ia tetap duduk menunduk. Namun yang menjawab justru Iwan
        Sastrawijaya. Bos perusahaan rekaman Blackboard ini
menyela, "Tidak bisa
        pak, soalnya tidak ada goyangnya!"

        Mendengar ucapan pengusaha itu, Rhoma meradang dan menghardik Iwan.
        Dengan marah, Rhoma mengusir Iwan keluar ruangan. Demikian
penuturan
        saksi mata itu.

        Kalimat yang meluncur dari mulut Iwan tersebut merupakan ekspresi
murni
        seorang pengusaha yang just money oriented, hanya berorientasi
pada uang
        dan keuntungan materil tanpa memikirkan masalah moralitas apalagi
akhlak
        bangsa. Jika tidak ada goyang, maka produk yang dijual tidak akan
laku.

        Sebab itu, ketika Inul menyatakan akan mengundurkan diri dari layar
        kaca, yang berarti menghilang dari tontonan publik secara
nasional, maka
        yang kalang-kabut dan pusing seribu keliling adalah para pengusaha
        industri hiburan. Sebab pemasukan sudah pasti akan melorot tajam.

        Dengan sendirinya, untuk kembali membuat deras uang masuk ke kocek
        mereka, maka segala daya upaya akan ditempuh untuk mengembalikan
Inul ke
        layar kaca. Konspirasi antara pengusaha industri hiburan, stasiun
teve,
        seniman, artis, media massa dan komunitas pecinta dangdut koplo pun
        terjadi. Simbiosis mutualisme, kejasama yang saling menguntungkan,
untuk
        kembali menghadirkan Inul dengan goyangan erotisnya masuk ke bilik
tiap
        keluarga Indonesia.

        Dengan berbagai dalih, kebebasan berekspresi, kebebasan
berkesenian,
        demi hak asasi manusia dan sebagainya diteriakkan. Padahal jika
        ditanyakan apakah selama ini mereka peduli dengan moralitas dan
ahklak
        bangsa, maka jawabannya adalah nol besar. Apakah para artis
sinetron
        pernah peduli dengan dampak dari sinetron-sinetron misteri yang
menjual
        cerita mistik dan kemusyrikan? Apakah para artis sineron itu pernah
        peduli dengan dampak sinetron-sinetron yang mengumbar aurat, gaya
hidup
        permisif, pamer kekayaan, gaya hidup boros dan kekerasan? Umumnya
tak
        pernah.

        Jadi yang diusung para artis adalah kebebasan ekspresi mereka
sendiri
        dan hak mereka sendiri, tanpa peduli dengan hak asasi orang lain.
        Kebebasan ala Barat yang kebablasan itulah yang mereka inginkan.
Apakah
        akan kita biarkan?

        Sosok Inul jelas telah mendatangkan keuntungan material yang amat
besar
        bagi para pengusaha industri hiburan-tepatnya industri pornografi,
        meminjam istilah Ketua MUI Pusat Amidhan. Lalu, siapa yang selama
ini
        dirugikan oleh keberadaan Inul?

        Ketua MTP (Masyarakat Tolak Pornografi) Indrawati Pary menegaskan,
        kehadiran Inul dan artis lainnya yang sama-sama mempertontonkan
erotisme
        sangat merugikan moral dan ahklak bangsa.

        Bahkan lebih jauh, Indrawati Pary melihat fenominul ini merupakan
satu
        strategi yang disengaja-konspirasi-oleh pihak-pihak tertentu untuk
kian
        memperbodoh dan menjerumuskan bangsa ini ke dalam jurang
kebinasaan.
        "Misalnya saja, dari kemarin kita sudah kirim banyak surat bernada
        keberatan tentang tayangan Inul di teve. Surat-surat itu kami
kirim ke
        berbagai media massa, cetak maupun teve, biasanya dalam hitungan
satu
        hari sudah dimuat, tapi kali ini kok tidak. Malah yang saya lihat,
opini
        yang berkembang dan dimuat mereka malah yang mendukung Inul. Itu
nggak
        fair namanya. Kalau mau mengakomodir ya dua-duanya harus dimuat,
tapi
        ini tidak," keluh Indrawati.

        Sekjen Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Hussein Umar
menuturkan,
        "Pernah salah satu stasiun teve swasta dalam Live Show menampilkan
Inul,
        lalu lewat telepon dua orang tokoh agama: A'a Gym dan KH. Ma'ruf
Amin
        dimintai komentarnya. Kedua tokoh agama itu memberikan nasihat yang
        bagus dan bijak. Tapi apa komentar sang pembawa acara yang diiyakan
        sendiri oleh Inul? Mereka berdua berkata bahwa biar protes jalan
terus,
        goyang tetap jalan terus juga. Jadi ini sudah merupakan satu
pelecehan
        terhadap norma-norma asasi kehidupan kita."
        Tentang pemberantasan kemaksiatan, Ketua Front Pembela Islam (FPI)
Habib
        Rizieq punya pedoman, "Jika mereka berani mati di dalam
kemaksiatan,
        mengapa kita takut mati di dalam membela kebenaran?"

        Rizki Ridyasmara
        Laporan: Adnan Firdaus, Fadli Rachman, Eman Mulyatman.




RantauNet http://www.rantaunet.com
Isikan data keanggotaan anda di http://www.rantaunet.com/daftar.php
-----------------------------------------------

Berhenti menerima RantauNet Mailing List, silahkan ke:
http://www.rantaunet.com/unsubscribe.php
==============================================

Kirim email ke