Dulu ada lagu rakyat Minang yang populer

     Tak ton tong kalamai jagung
     Tagunda-gunda ka cambuang basi
     Dahulu balaki ajuang
     Kini balaki tukang padati

Si Buyung yang tangkas dan cerdik itu sekarang duduk mencangkung kuncun
di bawah pohon kuini di depan rumahnya sembari memegang ton tong, atau
kentungan bambu yang karena kecerobahannya membawa petaka bagi
sahabatnya itu. Tidak sedikit sesalnya kepada dirinya karena skenario
yang ditetapkan tidak berjalan mulus karena dia abai pada kenyataan
bahwa pada saat sahabatnya memerlukan musik dangdut dia masih menabuh
irama blus.

Tetapi yang terjadi di biliak (kamar tidur) si Kiah adalah sebuah gunung
yang kawahnya sudah tertutup pasir, batu-batuan dan air yang  meledak
dengan hebat memuntahkan segala penghalang yang ada untuk kemudian
menyembur kahan lahar panas dengan dahsyat dan kemudian merambah,
memanggang dan menyapu rata apapun yang dilaluinya, pepohonan
batuan-batuan bahkan bukit-bukit.

Dan ini adalah lahar panas yang dinanti-nantikan si Kiah yang sebelum
menjadi anak daro beberapa kali disambangi oleh Etek Baya induak paja
Malintang Alam yang beranak delapan itu dan “bercerita panjang” kepada
si Kiah yang membuat matanya berbinar dan wajahnya tersipu merah.

Dan itu adalah lahar panas yang dinanti-nantikan si Kiah walaupun ia
sempat terpekik---tidak menangis---yang disebabkan rasa sakit yang yang
menghentak sampai ke tulang sumsum ketika lahar panas itu menerjang
dengan ganas (tidak lama sesudah itu didengarkan suaminya berteriak
kencang). Terkejut sejenak, namun  dia sudah tidak perduli karena
permainan itu segera membuat dia terbuai. Jeda sejenak, lalu permainan
dilanjutkan kembali. Ketika itu jam di dinding berdentang sembilan kali,
dan berdentang lagi menandakan bahwa enampuluh menit sudah liwat,
permainan terus berlanjut dan berlanjut dan berpeluh, lalu jam dinding
berdentang lagi dan berdentang lagi.

Dan malampun semakin larut dan berpeluh di biliak si Kiah, di sebuah
dusun di kaki Gunung Merapi, di dataran tinggi Agam yang di malam hari
dingin menusuk tulang. Permainan usai tidak lama setelah jam didinding
berdentang dua kali.

Dan ketika mereka terjaga matahari sudah mulai naik. Untuk pertama
kalinya sejak balikh si Samsu tidak ikut sembahyang subuh berkaum
(berjamaah) di surau..Dengan gelagapan Samsu setengah berlari ke
pancuran mandi, sembari menjadari bahwa dia akan meliwati hari-hari yang
berat, hari-hari yang penuh cemooh dan cemeeh dari orang-orang
sekampung. Entah kemana mukanya akan disurukkan jika bertemu dengan
orang-orang kampuang yang sebagian besar dia kenal baik itu.

Dan Samsu tidak menunggu lama. Ketika liwat di depan lepau Mak Leman,
anak-anak muda yang berkumpul di sana bersorak sembari tertawa: Oi
cape’an tontong. Mereka berhenti tertawa dan menggoda ketika si Buyung
yang tinggi hitam dan kekar yang berkerumun sarung dan bertopi sebo itu
mendehem lalu berseru. “Oi ka sawah waang Samsu!”

Samsu yang berjalan dengan mendudu hampir terloncat karena terkejut dan
menjawab dengan tergagap. “yo…yo..yo…Yuang” . Ingin rasanya dia berlari
sekencang-kencangnya dari sana, tetapi lututnya tidak kuasa bergerak.

Di sawah pun si Samsu bekerja tanpa bergairah. Sebentar-sebentar dia
mencingangak mendengar suara orang, seakan setiap oarang akan datang
untuk mentertatawainya.

Tetapi lain di sawah lain pula di rumah. Lain di sawah, lain pula di
biliak se Kiah.

Walaupun ketika si Samsu tiba di rumah matahari sudah mulai hilang di
punggung bukit dan sikekeh sudah mulai berbunyi, namun si Kiah harus
mandi basah sebelum Magrib. Lalu mandi basah lagi sebelum Isya. Apa pula
hendak di kata, ketika keduanya masuk lagi ke biliak untuk beradu
(tidur) begitu selesai makan malam dan sembahyang Isya. Tanpa
membuang-buang waktu, si Samsu pun langsung minta jatah lagi. "Uwan ko
cangok bana mah (Kanda ini rakus benar)" ujar si Kiah dengan tersenyum
manis dan manja", lalu melepaskan kain panjang yang membalut tubuhnya
yang jenjang itu, menggeraikan rambutnya dan menelentangkan dirinya di
atas kui (ranjang).  Si Samsu hanya tergelak, dan setelah diberi lalu
minta tambuah ciek, tambuah pula ciek, tambuah, tambuah dan tambuah lagi
ciek, sampai si Kiah yang sudah bersimbah peluh dengan wajah letih
tetapi sumringah berkata dengan lembut: "Alah tu wan, indak talok di
awak lai" (Sudah dulu kanda, sudah tidak sanggup lagi dinda).

Dan untuk kedua kalinya mereka terjaga ketika matahari sudah tinggi. Dan
untuk kedua kalinya sejak balikh, si Samsu tidak ikut sembahyang subuh
berkaum di surau.

Dan Samsu pun segera menjalani siang-siang yang menekan yang semakin
tidak terpikulkan, sehingga sesudah berunding dengan si Buyung, si Samsu
berbulat hati untuk merantau ke Jawa untuk menggalas dengan membawa
serta si Kiah. Si Buyung yang dua hari lagi akan kembali ke Jawa, akan
mencarikan tempat berjualan di Pasar Senen dan rumah untuk dikontrak di
daerah Galur atau Tanah Tinggi.

(Bersambung)

Darwin



RantauNet http://www.rantaunet.com
Isikan data keanggotaan anda di http://www.rantaunet.com/daftar.php
-----------------------------------------------

Berhenti menerima RantauNet Mailing List, silahkan ke: 
http://www.rantaunet.com/unsubscribe.php
===============================================

Kirim email ke