Ery Mefri, Menyatukan Rasa dalam Tari - Sabtu, 21 Juni 2003
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0306/21/naper/383331.htm


Ery Mefri, Menyatukan Rasa dalam Tari


KETIKA menemukan kenyataan yang menyakitkan, di mana manusia seolah tidak
bisa memaafkan diri sendiri, koreografer Ery Mefri (45) memutuskan berhenti
menari. Anak yang begitu ia cintai meninggal karena tifus, ketika Ery
mengikuti American Dance Festival di Durham, North Carolina, dan New York,
Amerika Serikat, tahun 1994.

"Dua jam sebelum meninggal ia masih sempat telepon saya dan mengatakan
sedang latihan menari di Taman Budaya Padang. Katanya, ayah lanjutkan saja
mengikuti festival di Amerika," tutur Ery ketika ditemui, Selasa (17/6),
sesaat menjelang pementasan beberapa karya tarinya di Gedung Kesenian
Jakarta (GKJ).

Lelaki yang kini bertubuh tambun itu-dan karena tubuhnya itu banyak yang
menduga ia tak cocok sebagai koreografer-sejak itu pula berhenti menari.
Bahkan kenyataan pahit itu hampir saja mengubah jalan hidupnya.

"Saya memutuskan berhenti menari. Sepulang dari Amerika, saya mencipta tari
berjudul Tunggal, khusus buat anak kedua saya yang waktu meninggalnya pun
saya tidak tahu. Tapi, sejak itu, setiap saya menari, selalu ingat dia. Maka
saya putuskan berhenti saja.... Saya hanya akan mencipta saja," kata Ery
sembari menyedot rokoknya dalam-dalam. Kelihatan koreografer yang pernah
menjadi penata tari dan musik terbaik se-Sumatera Barat tahun 1984 itu masih
terpukul mengingat kejadian itu.

Saat meninggal, Refi Mefri berusia 10 tahun. Pada usia itu, menurut Ery,
anaknya selalu berlatih di Taman Budaya Padang, tempat Ery bekerja. "Waktu
dia menelepon saya itu, dia sudah berada di rumah sakit," kata dia terbata.

Momentum itu menjadi begitu penting bagi perjalanan Ery sebagai koreografer.
Sejak itulah ia menjadi lebih percaya bahwa yang terpenting dari seluruh
bangunan yang bernama tari itu adalah penyatuan rasa. Meski ia tidak
langsung bergerak ketika menata tari, seluruh muridnya seolah sudah mengerti
apa yang dia kehendaki.

Tari Bundo Kanduang yang diciptakannya tahun 2000, dan malam itu ditarikan
Angga Djamar dan Afrizal di GKJ, barangkali menjadi contoh paling penting
bagi pandangan Ery tentang tarian.

Dalam keheningan suasana, karena tanpa musik, Angga dan Afrizal terlihat
begitu fasih dan padu mengekspresikan setiap gerakan. Mereka seperti dua
ekor ular yang licin dan lentur. Kondisi saling mengerti seperti itu, kata
Ery, tidak akan tercapai dalam waktu satu atau dua tahun.

"Angga sudah ikut saya lebih dari 10 tahun, sementara Afrizal tujuh tahun.
Penyatuan rasa itu memang membutuhkan waktu. Maka, murid saya tak pernah
lebih dari 10 orang," ujar Ery.

Pada rentang waktu itulah terjadi "sublimasi" rasa antara guru dan murid
serta antarsesama murid. Dalam kondisi seperti itu, Ery tidak merasa perlu
harus bergerak untuk sekadar memberi contoh gerakan. Seluruh spirit tari
yang menggelegak di dalam dada Ery seperti ditransformasikan lewat rasa
kepada para muridnya.

ERY Mefri, yang lahir pada 23 Juni 1958 ini, belajar menari dari ayahnya,
Djamin Manti Jo Sutan (84), pada usia tiga tahun. "Saya ingat tari yang saya
pelajari pertama kali adalah tari piring. Agar piringnya tak pecah, saya
sampai belajar di atas kasur tempat tidur ayah, ha-ha-ha...," ujarnya.

Sebenarnya, tambah Ery, dasar dari seluruh tarian minang adalah
gerakan-gerakan silat. Sejak kecil, sebagaimana lelaki Minang yang
senantiasa tidur di surau, Ery belajar silat dari seorang guru.

"Nah, saat istirahat belajar silat itulah kami juga mempraktikkan seni
randai. Spontan saja, sembari menyanyikan tembang-tembang tradisi, kami
semua membawakan lakon-lakon yang diambil dari mitologi," tutur ayah dari
Rio, Gebi, Intan, dan Ririn Mefri ini. (Meski menyebut nama-nama anaknya,
Ery tetap menolak memberi tahu nama istrinya).

Pada masa kecil itu, menurut Ery, orang Minang seperti punya prinsip, "Kalau
bapaknya penari, masa anaknya tidak bisa. Malu kita."

Sebelum akhirnya belajar di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) di
Padang Panjang, Sumatera Barat, Ery sesungguhnya telah menguasai tarian
tradisi secara otodidak. "Saya tamat dari SMKI tahun 1981 dan tahun 1982
mulai mencipta tari sendiri," tutur dia.

Justru saat dia mulai mencipta tari sendiri itulah yang banyak menimbulkan
kontroversi.

"Banyak sekali orang Minang yang menganggap saya merusak tari minang karena
saya adaptasi dengan tari kontemporer. Mereka tidak mengerti bahwa sampai
sekarang, di mana sudah 36 karya yang saya hasilkan, spirit semuanya tetap
tradisi. Saya selalu berangkat dari tradisi," kata Ery.

Karya Ery terbaru yang berjudul Tiang Nagari, yang dipentaskan pula di GKJ,
memang masih jelas berupaya mengadaptasi gerakan-gerakan silat minang ke
dalam gagasan terkini. Tari ini juga berangkat dari filosofi orang Minang
yang terjemahannya berbunyi, "Menepuk air di dulang, tepercik muka sendiri.
Mencabik baju di dada, mempermalukan diri sendiri".

Kenyataan sekarang, ujar Ery, begitu banyak orang yang mempermalukan diri
sendiri dengan berbagai perbuatan melanggar etika dan hukum. "Ini spirit
barunya, tetapi spirit tradisinya saya tetap mengambil Minang."

Pendapat Ery, jikalau ia mengambil tradisi secara fisik, maka tradisi yang
sudah dipelihara beratus-ratus tahun akan rusak. "Maka, tradisi bagi saya
hanya perangsang untuk mencipta," tuturnya.

KETIKA menamatkan pelajaran di SMKI, Ery mendirikan kelompok tari bernama
Nan Jombang Group. Kata ini sebenarnya berasal dari judul karya tari Ery
yang ia ciptakan pertama kali. "Dan, ayah saya juga sering dipanggil Nan
Jombang, orang yang gagah sekali, tapi nakal. Jadi, waktu mencipta itu juga
saya teringat ayah," katanya mengenang.

Lelaki kelahiran Saning Bakar, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, ini
barangkali menjadi salah satu penari yang masih menganggap tari sebagai
sebuah "ritual". Karena itu, gerakan-gerakan yang dimainkan tubuh hanyalah
bentuk-bentuk ekspresi yang sesungguhnya terjadi di dalam batin. Dia lebih
berupa olah rasa, yang kemudian tervisualisasi di dalam gerak.

Bisa dimengerti kemudian jika sejak tahun 1985, ketika ia berjumpa dengan
pemusik Rizal D Siagian, Ery tidak memanfaatkan musik secara visual untuk
mementaskan tariannya.

"Rizal mengatakan kepada saya, musik yang baik adalah musik yang tak
terdengar betapa kerasnya pun kamu mengukur. Ini saya kira pernyataan inti
dari musik itu sendiri. Sejak itu, musik selalu terintegrasi ke dalam
tari-tari yang saya ciptakan," tutur Ery.

Kalau toh di dalam koreografi Ery memerlukan musik, ia, misalnya, hanya
memasukkan hal-hal yang lumrah ada di dalam seni tradisi Minang. Dalam tari
Adat Salingka Nagari 2, Ery memanfaatkan celana galembong, celana silat
minang, yang kemudian dipukul-pukul pada bagian selangkangan kaki. Selain
itu, dalam tari Tiang Nagari, Ery hanya memasukkan nampan logam yang
terinspirasi tari piring. Nampan itu pun hanya dipukul-pukul sesekali.

"Musik itu sudah ada di sini," ujar Ery sembari menunjuk dadanya. Dan itu,
tambahnya, harus ada dalam setiap penari. "Memadukan ini yang tersulit.
Perlu waktu bertahun-tahun untuk memperoleh rasa yang sama sehingga
gerakan-gerakan jadi padu," kata dia.

Itulah, mengapa dalam setiap pementasan tari karya Ery selalu tercipta
suasana hening. Gerakan-gerakan adalah sebuah upaya untuk mencapai tahap
meditasi, bukan sebuah atraksi yang mengeksploitasi kekuatan fisik. (PUTU
FAJAR ARCANA)



RantauNet http://www.rantaunet.com
Isikan data keanggotaan anda di http://www.rantaunet.com/daftar.php
-----------------------------------------------

Berhenti menerima RantauNet Mailing List, silahkan ke: 
http://www.rantaunet.com/unsubscribe.php
===============================================

Reply via email to