-------Original Message-------
 
 
tulisan bagus...menyentak kesadaran kita tentang kehidupan dunia...

http://www.gatra.com/artikel.php?id=29574

Widi Yarmanto
Nyantol

KALA bocah, saya suka berdebat bab kiamat. Saya ngotot lolos dari
maut, ngumpet tak bisa ditemukan siapa pun, termasuk Tuhan. Kendati
teman sebaya mengatakan, jika langit runtuh dan bumi
dijungkirbalikkan, kita tak bisa lolos dari maut, saya tak peduli.
Pokoknya, aku tak mau mati! Titik!

Engkel-engkelan itu pun tak habis. Maklum, bocah di bawah 10 tahun.
Pemahaman soal kiamat baru jelas setelah akil balig. Bahwa kematian
itu kiamat, barang siapa mati berarti kiamatnya telah tiba. Amal
baik dan buruk ditimbang untuk dicemplungkan ke neraka atau surga.

Toh, perilaku saya untuk berdusta atau bohong --kecil-kecilan, sih--
tetap terpelihara. Perut masih menelan barang haram. Otak pun masih
suka ngeres. Ibadah nomor sekian, cari kenikmatan nomor
satu. ''Kematian itu masih jauh,'' itu pikiran saya.

Orang dewasa pun bila diingatkan kematiannya ada yang melengos atau
melupakannya. Saat ke kubur, umpamanya, mereka mengira selamanya
hanya akan menyaksikan penguburan orang lain, dan tak pernah
terpikir bahwa suatu ketika mereka sendiri diusung dalam keranda.

Sikap lalai itu mungkin akibat kurangnya perenungan pada maut.
Tampaknya, tanda-tanda keuzuran berupa rambut putih, mata rabun, dan
kulit keriput belum menyentuh. Juga iklan-iklan kematian di koran
cuma sebagai obat ''puas'': ''Ah, umur saya sudah dilebihkan
ketimbang mereka.''

Sebenarnya, menguak misteri kematian bukan cermin selera rendah,
melainkan merupakan prestasi keagamaan. Sejak 2.000 tahun sebelum
Masehi, melewati masa Dante, Donne hingga Milton, perenungan yang
terus-menerus atas kefanaan manusia dan kemungkinan bertahan hidup
telah menghadirkan tema kesusastraan yang tak kunjung habis, dan
indah.

Mengingat kematian itulah yang, Kamis malam pekan lalu, jadi tema
pengajian di Bintaro, Tangerang, Banten. Waktu itu, tuan rumah yang
kiai mengisahkan sebuah pemakaman yang diikutinya di Tanah Kusir,
Jakarta Selatan, April silam. Deretan mobil pelayat menandakan bahwa
almarhum bukan rakyat kecil.

Saat jenazah diturunkan ke liang lahat, kakinya nyantol tak bisa
masuk. Mata orang pun terpana. Terpaksa, tanah kubur digali lebih
panjang. ''Kocrok! Kocrok!'' Mayat kembali diturunkan. Lho, kok,
masih nyantol. Digali lagi. Hasilnya sama saja. Para pelayat mulai
bisik-bisik tentang almarhum.

Penggali kubur judek. ''Pak, ukuran jenazah 165 sentimeter. Kubur
yang kami gali panjangnya 260 sentimeter, kok tidak masuk. Liang
lahat tak mungkin digali lagi, karena sudah mentok dengan nisan
sebelah,'' ujar penggali kubur. Masya Allah!

Pihak keluarga lantas meminta kiai itu mendoakan almarhum. Dia pura-
pura mbudek, karena hati kecilnya menolak. Ia ingat firman Allah
bahwa bumi-Nya tak akan menerima jenazah orang-orang yang tak
diridhai. ''Bapak diminta untuk ke depan,'' kata seseorang mencolek
sang kiai.

Apa boleh buat, dia pun berdoa. Di tangannya tergenggam segelas air
putih. Benar saja. Begitu air usai didoai, lalu disiramkan, dan
jenazah diturunkan, kaki almarhum tetap mengganjal pada ujung tanah
kubur. Tidak bisa masuk!

Tak ada jalan lain kecuali dipatahkan. ''Mohon jangan dilakukan
dulu, saya mau menjauh,'' ujar kiai itu. Ternyata, walau sudah
menjauh, kala kaki itu dipatahkan, suaranya cukup menyentakkan.
Prak! Semua orang terdiam, larut dalam pikiran masing-masing.

Begitu prosesi dilanjutkan --antara lain diazani dan diqamati--
deretan mobil pengiring sudah lenyap. Pelayat telah sepi. ''Yang
tersisa hanya lima mobil dan pihak keluarga,'' kata kiai itu.
Perjalanan hidup manusia hingga ke liang kubur tersebut tak urung
membuatnya berkaca-kaca.

''Sesungguhnya kuburan adalah tahap pertama akhirat. Jika
penghuninya selamat darinya, maka yang datang sesudahnya akan lebih
mudah, tapi jika dia tidak selamat darinya, maka yang datang
sesudahnya akan lebih sukar,'' begitu Rasulullah SAW pernah bersabda.

Artinya, memahami kematian bisa jadi cermin hidup dan mempertebal
iman. Pernah, setahun lalu, seseorang yang menghadiri pemakaman
keluarga di Wonogiri, Jawa Tengah, juga mengisahkan ketrenyuhan
serupa. Makam itu berada di atas bukit. Saat liang kubur baru digali
semeter lebih sedikit, air mengucur deras dari sebuah sumber.

Ini mengherankan, tak masuk akal! Penggali kubur geleng-geleng
kepala. Air dikuras, tapi tak juga habis. Lalu diuruk pasir.
Hasilnya nihil. Apa boleh buat, terpaksa jenazah dimasukkan ke liang
lahat dalam kondisi berair. Mayatnya mengapung kayak gedebok pisang.
Para pelayat menundukkan kepala, kasihan.

Adakah ini bagian dari ketidakridhaan-Mu, ya, Allah? Engkau tidak
mengendaki bumi-Mu dimasuki orang-orang yang zalim, yang suka
menyakiti orang, yang suka menilap bukan haknya? Wallahualam. Yang
pasti, fenomena kubur tak sudi menerima jenazah seringkali hanya
menyadarkan kita sesaat.

''Ingatlah kematian. Demi Zat yang nyawaku berada dalam kekuasaan-
Nya, kalau kamu mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kamu akan
tertawa sedikit dan banyak menangis,'' sabda Nabi SAW. Memang, kita
tak menutup mata bahwa kematian --bagi sebagian orang-- adalah
kebahagiaan, dan hidup adalah upaya memperoleh tambahan nilai
kebaikan. Namun, acap pula kematian itu membisukan jawaban.



Yahoo! Groups Sponsor
ADVERTISEMENT
click here

Untuk berhenti dari milis majalah-permata, kirim e-mail kosong ke:
[EMAIL PROTECTED]
-----------------------------------------------------------------


Your use of Yahoo! Groups is subject to the Yahoo! Terms of Service.
 
____________________________________________________
  IncrediMail - Email has finally evolved - Click Here

Kirim email ke