Untuk melengkapi tulisan mengenai nasionalisme yang di-forward oleh pak SBN, artikel pak Kartono Muhammad berikut ini melihat lebih jernih lagi kenapa terjadi degradasi rasa nasionalisme Indonesia sehingga dengan mengetahui akar permasalahannya diharapkan lebih "mudah" untuk me-recover rasa kebangsaan kita...
 
salam - tg
 
(Ini dari KOMPAS hari ini.)

Selasa, 15 Juli 2003

Rasa Nasionalisme Terluka

Oleh Kartono Mohamad

MENGAPA orang Bali, Jawa, Makassar, Padang (Minang - tg), Manado, Ambon, dan lainnya merasa diri sebagai bangsa Indonesia? Pertanyaan ini mungkin tak pernah terpikirkan. Kalaupun terpikirkan, tak pernah terungkap.

Sejak Budi Utomo berdiri tahun 1908, dan kemudian semakin mengental dalam Sumpah Pemuda tahun 1928, tanpa terasa perasaan sebagai satu bangsa (nasion) tertempa dan merasuk ke dalam pikiran berbagai kelompok etnis yang menghuni Nusantara. Seperti ditulis Benedict Anderson pada tahun 1983, nasionalisme adalah "an imagined political community-and imagined as both inherently limited and sovereign".

Rakyat penghuni Nusantara yang bekas Hindia Belanda sudah menanamkan dalam pikiran mereka bahwa mereka adalah satu bangsa, bangsa Indonesia, dan satu tanah air, tanah air Indonesia, seperti yang mereka ucapkan dalam sumpah mereka pada tahun 1928 itu. Nasionalisme Indonesia bukan lagi nasionalisme etnis yang terbatas pada satu kelompok etnis tertentu.

Dalam masyarakat modern, nasionalisme berbasis etnis ini memang hampir tidak populer lagi karena hampir selalu mengundang masalah baru di dalam hubungan antarsuku (tribes) yang ada di dalam tubuh mereka sendiri.

Tidak dapat disangkal lagi nasionalisme Indonesia, seperti juga nasionalisme Norwegia, adalah nasionalisme yang diciptakan (invented). Norwegia memisahkan diri dari Kerajaan Denmark dan menjadi negara merdeka tahun 1905 yang, menurut Thomas Hylland Eriksen, didahului dengan "penciptaan" budaya dan bahasa Norwegia yang berbeda dari Denmark. Untuk itu, para pencetus kemerdekaan Norwegia mengambil budaya dan bahasa (dialek) para petani di tengah pegunungan Norwegia sebagai budaya dan bahasa mereka karena di kota Norwegia digunakan bahasa Denmark.

Demikian pula para bapak pendiri (founding fathers) nasion Indonesia, melalui Budi Utomo dan kemudian Sumpah Pemuda, telah menciptakan nasionalisme Indonesia yang lintas etnis, dengan simbol bendera Merah Putih dan bahasa Indonesia. Semasa kepemimpinan Bung Karno dan Bung Hatta, nasionalisme Indonesia ini berhasil dijaga dan ditanamkan sehingga merasuk ke darah daging setiap orang Indonesia, tidak peduli di mana dia lahir dan dari suku apa orangtuanya berasal. Bahkan, pemberontakan (insurgensi) yang dilakukan PRRI di Sumatera masih menggunakan istilah Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia, dan Permesta di Sulawesi Utara pun tidak menggunakan kelompok etnis atau batas wilayah tertentu.

Rakyat Indonesia, seperti juga Amerika Serikat, adalah masyarakat yang amat pluralistik, baik dari segi etnisitas, bahasa ibu, maupun adat budayanya. Akan tetapi, berbeda dengan masyarakat Amerika Serikat yang sebagian besar (kecuali native American atau Indian) adalah pendatang yang dengan kemauan sendiri mendatangi benua tersebut, suku-suku bangsa di Indonesia adalah penduduk pribumi yang sudah beribu tahun menghuni wilayah tertentu dalam negara yang kemudian menjadi Republik Indonesia.

Perasaan menjadi pemilik sah dari suatu wilayah lebih kental di antara kelompok etnis Indonesia dibandingkan dengan dengan rakyat Amerika Serikat. Maka, sungguh merupakan keberhasilan yang sangat besar dari para pendiri negara ini untuk dapat membuat mereka kini merasa bahwa tanah air mereka adalah Indonesia, bukan hanya Jawa, Bali, Sulawesi, Irian, dan sebagainya. Pembentukan rasa nasionalisme Indonesia tertentu jauh lebih sulit dibandingkan dengan Norwegia yang negaranya berupa satu daratan tanpa terpisah-pisahkan oleh lautan.Terluka

Seperti ditulis Eriksen dalam bukunya, Etnicity and Nationalism, bangsa adalah sebuah komunitas yang diharapkan terintegrasi dalam hal budaya dan identitas diri secara abstrak dan anonimus (nations are communities where citizens are expected to be integrated in respect to culture and self-identity in an abstract, anonymous manner). Selama masa kepemimpinan Bung Karno dan Bung Hatta, rasa nasionalisme Indonesia dapat dipertahankan karena perasaan kebersamaan dapat dipertahankan.

Pertama, Bung Karno dan Bung Hatta tidak pernah menonjolkan identitas etnisnya. Bung Karno hampir tidak pernah menyatakan dirinya orang Jawa, tidak banyak menggunakan bahasa Jawa, tidak pula menonjolkan budaya Jawa-nya. Demikian pula Bung Hatta dan pemimpin lainnya.

Kedua, kehidupan pemimpin yang tidak terlalu jauh di atas kehidupan rakyat dalam hal kemewahan. Hanya di bagian akhir pemerintahannya, Bung Karno banyak digunjingkan dan dikritik karena membangun istana-istana baru meskipun tidak satu pun yang dia klaim sebagai milik pribadi atau keluarganya. Juga kritik tentang ketimpangan kehidupan muncul ketika Bung Karno bersikeras membangun Monumen Nasional ketika rakyat mengalami kesulitan mendapatkan bahan makanan. Akan tetapi, sebegitu jauh kritik itu belum sampai melukai rasa nasionalisme Indonesia.

Nasionalisme Indonesia yang belum terlalu kukuh, bagaikan adukan beton yang belum mengering, mulai terluka ketika ciri etnisitas menjadi makin menonjol, yang kemudian dibungkam secara represif dengan tutup SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) di masa Orde Baru. Ketika sikap "kami" dan "mereka" (us and them) makin menyeruak seperti bara dalam sekam. Ketika pemerintah pusat melaksanakan program pembangunan, tetapi dalam kenyataan mengeruk kekayaan dari daerah untuk diambil ke pusat, tetapi kemudian tidak kembali ke daerah, bahkan di pusat pun hanya dinikmati oleh sekelompok keluarga. Ketika Soeharto sangat menonjolkan kejawaannya bahkan dalam memerintah pun gaya feodal Jawa-nya sangat menonjol. Ketika ketidakmerataan kesejahteraan dan pembangunan makin terasa dan makin tampak justru setelah hadirnya media televisi swasta yang ironisnya lebih dikuasai keluarga Soeharto.

Perasaan bahwa daerah telah diperas oleh "orang-orang pusat" secara berangsur-angsur menjadi perasaan bahwa mereka diperas oleh orang-orang Jawa, tanpa menyadari bahwa "orang-orang pusat" yang korup itu juga berasal dari berbagai suku. Namun, karena Soeharto sangat kentara menampilkan kejawaannya, perasaan semacam itu tidak dapat dihindari.

"Batas-batas etnis" yang semula hanya pada aspek kesenian meluas menjadi "batas budaya" (cultural boundaries) dalam arti yang lebih luas. Kemudian hal itu makin menguat dengan territorial boundaries, yang setelah Soeharto jatuh perasaan itu pun berani muncul dalam isu "Riau Merdeka", "Aceh Merdeka", dan sebagainya, yang merupakan bentuk reaksi kemarahan terhadap perlakuan yang diterima semasa kepemimpinan Soeharto.

Satu-satunya institusi yang masih dapat mempertahankan rasa nasionalismenya adalah TNI, tetapi hal itu dilakukan melalui sistem organisasi dan hierarki yang tidak sama dengan masyarakat sipil. Berbeda dengan Bung Karno, Soeharto mencoba menerapkan sistem militer yang represif untuk mempertahankan integrasi bangsa yang kemudian lebih mengutamakan integritas teritorial, tetapi melupakan integritas sosial.

Hati yang terluka di daerah-daerah itu kemudian mempertebal ethnic boundaries, yang diikuti territorial boundaries berdasarkan etnis, serta perasaan "kami" dan "mereka" yang makin mengental. Rasa "memiliki daerah tertentu sebagai peninggalan nenek moyang" merupakan pembeda yang jelas dengan pluralisme rakyat Amerika Serikat.

Maka kemudian muncul isu "putra daerah" baik secara terbuka maupun terselubung, yang mengindikasikan bahwa rasa sebagai satu bangsa sedang mengalami kemunduran. Isu "putra daerah" ini selanjutnya dapat makin menyempit menjadi isu suku yang lebih kecil. Bisa jadi akan ada tuntutan agar Gubernur NTB, misalnya, harus dari suku Sasak dan bukan suku Bima karena ibu kotanya di Lombok, yang kemudian akan membuat orang Sumbawa ingin membentuk provinsi tersendiri.

Kini perasaan "kami" dan "mereka" makin diperumit dengan masalah agama, seperti yang tersirat dalam ribut-ribut soal UU Sisdiknas, perselisihan antarkelompok agama, dan munculnya kelompok-kelompok ekstrem dalam agama. Sikap "us and them" di antara umat beragama secara sengaja diperkuat justru oleh para pemimpin umat. Saling curiga berdasarkan suku, daerah, dan kemudian agama ini jika tidak dikelola dengan baik, atau justru bahkan disuburkan oleh beberapa pemimpinnya, akan membawa kehancuran Indonesia sebagai bangsa.

Ketika rasa kebersamaan sebagai satu bangsa menyusut, suatu saat tidak ada lagi sebuah nasion yang bernama Indonesia. Pada saat itu mungkin kita akan menuduh dan menyalahkan bangsa lain yang telah mengaduk-aduk separatisme di Indonesia tanpa melihat kelemahan dalam diri sendiri.

Kartono Mohamad Seorang Dokter di Jakarta

 
-----Original Message-----
From: SBN [mailto:[EMAIL PROTECTED]
Sent: Tuesday, 3 June 2003 4:40 PM

NASIONALISME DAN HAK ASASI MANUSIA
                         Oleh Hendardi

    ADA momok yang menghantui para pengibar otoritarianisme di
Indonesia. Momok itu adalah hak asasi manusia, demokrasi atau
reformasi total. Mereka bukan saja berusaha  ...<cut>... 

Kirim email ke