Perempuan tuh emang aneh.
Maunya persamaan hak. Maunya emansipasi.
Oke lah bisa diterima bila mereka ingin persamaan hak dalam kesempatan untuk mendapatkan pendidikan, mengembangkan karir dan bidang profesi.
Yang tadinya didominasi laki2, sekarang perempuan juga bisa jadi : polisi, dokter, insinyur, profesor, petugas SPBU, supir angkot, supir taxi, dan lain lain.
 
Tapi ada juga yang kebablasan.
Misalnya dengan pendidikan tinggi yang diraihnya, karir yang ada di top level, dan dengan pendapatan yang dihasilkannya, membuat mereka nggak memandang sebelah mata kepada laki2 yang dianggapnya nggak sepadan.
Tatapan matanya kalau diterjemahkan ke dalam kalimat, kira2 bunyinya begini : "bisa kasih makan gue apa lu beraninya deketin gue. Kalau cuma mampu mboncengin gue di motor, mending ke laut aja deh".
Ini sih boleh aja dibilang : percuma lah sekolah tinggi kalau hanya mematikan 'rasa' tapi esensi dalam hidup nya enggak dia dapatkan.
 
Sebenernya ngapain juga terobsesi mengalahkan lelaki, perempuan kan secara kodrat udah lebih dari laki2 karena punya rahim, bisa melahirkan.
 
Laki-laki juga nggak kalah ajaibnya.
Udah tau punya kemampuan lebih daripada perempuan yaitu tugasnya jadi pemimpin dan imam di dalem keluarga, kok sibuk amat sih dengan gengsi yang takut kalah sama perempuan ?
Takut punya pasangan yang sekolahnya lebih tinggi dari dia.
Ini lebih parah lagi : kalau bisa punya pasangan yang nggak selevel tingkat pendidikannya dengan dia.
Ih....bete.
Anyway, iya kan ? ini fakta kan ?
 
Di Minang juga kerasa.
Kalau aja ada perempuan yang bisa menyedot perhatian orang, apakah karena dia pandai, cerdas, atau berani mengungkapkan dan berbuat sesuatu aja...wah pasti banyak suara2 sumbang dari kaum lelaki.
Jujur aja, dalam hati mereka yang pertama kali muncul pasti kagum, baru kemudian : wah, nggak beres nih perempuan sangat mengancam harkat dan martabat para lelaki...harus dibasmi (hahaha ini sih ekstrimnya lho).
 
Tapi unik juga, polanya pola garis ibu. Dominasi di rumah tangga pada kenyataannya si ibu memang agak lebih berperan dalam urusan domestik.
Cuma urusan eksternal pasti dipegang lelaki (padahal nggak sedikit lho mereka cuma jadi speaker aja karena sutradaranya tetap si perempuan pasangannya, nah lhooo)
 
Waktu ngomong2 iseng membahas kriteria seorang wali nagari, saya pernah nyeletuk bertanya : kenapa sih wali nagari harus dipimpin oleh seorang lelaki ? kalau di Perda boleh perempuan, saya pasti mau mencalonkan diri.
Jadi kira2 kenapa yaa ?
 
Selamat Pagi Dunia !
"C"
 
nb : perempuan pakai emosi, lelaki pakai rasio.
Sebenernya beda itu indah kan ? maka hidup jadi lebih berwarna.
apa jadinya kalau kita samaaa semua, hiii....serem pasti !
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 


Upgrade Your Email - Click here!

Reply via email to