Dari www.kagama.org

Salam
Is, 34

Syahril Sabirin, Ph.D : Demi Independensi Bank Indonesia


BANK SENTRAL harus independen. Kendati untuk mempertahankan amanah itu, ia
harus menghadapi tantangan hebat. Ia dipaksa memilih : Mundur atau ditahan !
Ia pilih tak rela BI diintervensi: Ia tak mau mundur! Akibatnya, ia dituduh
korupsi, diadili dan mendekam dalam tahanan.

Sempat divonis tiga tahun penjara. Tapi, akhirnya keadilan tetap singgah
menghampiri, ia divonis bebas. Pengagum Nelson Mandela ini, berjuang demi
keadilan dan independensi Bank Indonesia, yang dipimpinnya.

Salah satu hal yang sangat merisaukan, mantan Senior Financial Economist
Bank Dunia (1993-1997), ini dalam melihat perjalanan bangsa dan negara ini
adalah korupsi. Serta sikap penguasa yang baru terhadap penguasa yang lama.

“Kita ingin bebas dari korupsi,” katanya dalam percakapan dengan Wartawan
Tokoh Indonesia, Jumat 29/11/02, padahal saat ini sangat sulit untuk mencari
di mana yang tidak ada korupsinya. Juga di BI. “Syukur di BI hal itu sangat
kecil,” katanya.

Korupsi terjadi di mana-mana, dari yang kecil sampai yang besar, dari
puluhan sampai triliyunan rupiah. Yang kecil, contohnya, dalam membuat KTP,
harus memberikan uang kepada petugasnya. Itu korupsi juga. Sehingga batasnya
di mana, kalau menangani korupsi. Apakah semua itu harus diberantas
sekaligus atau ada batasan khusus?

Perihal sikap penguasa yang baru terhadap penguasa yang lama. Ia sangat
kagum dengan Nelson Mandela. Walaupun mungkin masalahnya tidak serumit
Indonesia. Namun pada intinya adalah sama, yaitu melupakan masa lalu,
pengampunan dosa dan melangkah ke depan dengan lembaran yang bersih. Prinsip
ini, menurutnya, merupakan satu-satunya cara agar negeri ini dapat maju.
Tapi harus dilandasi dengan tekat yang kuat, juga jangan sampai
diulang-ulang lagi.

Kalau tidak rela diampuni secara gratis, ampuni dengan imbalan. Dengan kata
lain, ganti rugi terhadap kejahatan yang lalu. Contohnya, jika ada koruptor
yang memiliki kekayaan dengan jumlah tertentu akan diminta dari hartanya
sejumlah beberapa persen. Dengan demikian negara pun mendapat dana yang
besar untuk melangkah ke depan.

Pria lulusan Ekonomi Perusahaan Fakultas Ekonomi, Univesitas Gajah Mada ini,
orang pertama memimpin Bank Indonesia (BI) setelah diberlakukannya UU No 23
tahun 1999 yang menjamin independensi BI. Ia memang orang karir di BI.
Setamat kuliah (sempat menganggur setahun karena pada waktu itu sulit sekali
mendapatkan pekerjaan), ia diterima di Bank Indonesia melalui proses tes
(1969). Ia mengawali karirnya di Bank Indonesia sebagai staf umum di Urusan
Ekonomi dan Statistik sampai menjadi direktur dan gubernur.

Beberapa tahun setelah bekerja di BI, ia mendapat kesempatan melanjutkan
pendidikan di Williamstown, Massachusetts, USA, 1973, untuk mengambil gelar
MA bidang pengembangan ekonomi. Kemudian tahun 1979 melanjut lagi dengan
memperoleh beasiswa dari USAID untuk program doktor (Ph.D) bidang Ekonomi
Moneter dan Internasional di Vanderbilts University, USA.

Setelah itu dipanggil kembali ke BI dan ditempatkan sebagai anggota direksi
(Dewan Gubernur – sekarang) selama 5 tahun dari tahun 1988-1993. Kemudian
selepas berdinas selama 5 tahun, ia lalu melamar ke Bank Dunia di Washington
DC, USA. Langsung diterima sebagai Senior Finacial Economics untuk wilayah
Timur Tengah dan Afrika Utara masa dinas 3 tahun.

Setelah itu, ia memutuskan untuk kembali ke Indonesia, beristirahat dulu.
Tiket kelas ekonomi sudah diambil, dijadualkan berangkat 24 Desember 1997.
Namun sebelum tanggal keberangkatan itu, datang telepon dari seorang pejabat
penting di Jakarta, yang tak perlu disebut namanya. Pejabat itu menyampaikan
bahwa akan ada rencana pergantian jajaran dewan direksi BI. Ia diminta untuk
kembali ke Bank Indonesia. Lalu ia bertanya: “Saya kembali sebagai apa?”
Pejabat itu menjawab akan ditempatkan sebagai direktur yang kemungkinan pada
dua atau tiga bulan ke depan akan diangkat menjadi gubernur.

Sebuah tantangan yang oleh banyak orang malah diperebutkan dengan berbagai
cara. Namun, ia tidak serta-merta mengyakan. Ia minta waktu untuk berpikir.
Setelah itu ia pun membicarakan tantangan itu kepada isterinya, Murni. Tapi,
isterinya menyerahkan sepenuhnya kepadanya. Isterinya menyatakan akan
mendukung apa yang paling baik menurut pertimbangannya. “Segala pertimbangan
kamulah yang mengetahui baik-buruknya,” kata isterinya.

Pada waktu itu, ia belum bisa mengatakan ya atau tidak. Lalu karena di dalam
Islam diajarkan untuk shalat istiqarah ketika memiliki keraguan, maka ia pun
shalat. Setelah melaksanakan shalat istiqarah, ia kemudian memiliki
keyakinan hati. Lalu isterinya bertanya: “Bagaimana?” Ia pun menyatakan akan
menerima tawaran itu. Karena setelah shalat, ia merasakan betapa besar
kepercayaan yang diberikan kepadanya untuk mengemban sebuah tugas dalam
keadaan yang sangat sulit di tengah-tengah masa krisis. Apalagi rencananya
dalam 2 sampai 3 bulan ia akan ditempatkan menjadi gubernur. Sebuah amanah
tugas yang amat berat.

Lebih jauh ia merenung. Mengapa ia diminta untuk mengatasi masalah yang
sangat sulit itu? Berarti ia diharapkan dan dipercayai memiliki kemampuan
untuk dapat menyelesaikan tugas tersebut. Sehingga tidak patut permintaan
itu ditolak. Jika ditolak, barangkali ia akan disebut sebagai orang yang
amat sombong. Sementara dalam ajaran agama, tidak diperkenakan untuk
bersikap sombong. Saat itu ia hanya diberi waktu beberapa jam saja untuk
memutuskan sikap. Setelah mendapat keyakinan itu, ia pun telepon ke Jakarta
menyatakan menerima tugas tersebut.

Akhirnya ia pulang ke Jakarta sesuai dengan jadual penerbangan yang ketat
mendekati Natal. Ia tidak dapat mempercepat jadualnya. Sehingga ketika
pelantikan dilaksanakan, ia terlambat. Anggota dewan direksi yang lain sudah
dilantik sebelum ia tiba di Jakarta. Ia sendiri baru dilantik pada tanggal
29 Desember 1997 sebagai salah seorang direktur. Lalu, kurang dari dua bulan
berikutnya, berdasarkan Keppres RI No. 39/M/1998 tanggal 11 Februari 1998,
ternyata benar ia dilantik menjadi Gubernur BI pada masa pemerintahan Pak
Harto, menggantikan J. Soedradjad Djiwandono.

Sejak menerima tugas tersebut, ia berupaya mencurahkan segala kemampuan,
waktu dan tenaga, berjuang bersama-sama anggota direksi dan staf BI untuk
dapat mengatasi krisis moneter yang tengah melanda Indonesia. Namun, pada
permulaan, masih pemerintahan Pak Harto tahun 1998, keadaan politik saat itu
tidak terlalu mendukung, sehingga laju inflasinya meningkat begitu pesat.
Sangat sulit dihempang.

Selain akibat kondisi politik, ditambah lagi dengan belum adanya jaminan
terhadap nasabah bank pada masa itu. Sehingga kepercayaan terhadap lembaga
bank menurun drastis. Terlebih lagi dengan dilikuidasinya 16 bank pada bulan
Nopember 1997. Kepercayaan masyarakat terhadap bank makin sulit dibangkitkan
kembali.

Untuk mengatasi hal itu, lalu jaminan terhadap nasabah bank dikeluarkan.
Namun, pada saat itu tidak serta merta keadaan kepercayaan publik bangkit
kembali. Publik tampaknya perlu pembuktian tentang benar atau tidak.
Kemudian seiring berjalannya waktu, kepercayaan tersebut pulih kembali.
Namun sebelum kepercayaan itu pulih, hampir semua bank mengalami kesulitan.
Jika tidak dibantu, banyak bank itu akan gugur. Maka BI harus membantu
dengan likuiditas.

Itulah yang populer disebut dengan BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia).
Suatu cara terbaik ketika itu untuk menyelamatkan bank. Jika tidak, mungkin
tidak ada lagi bank di Indonesia. Kemudian sulit dibayangkan bagaimana
keadaan ekonomi, jika sebuah negara tidak mempunyai bank. Atau jika
setidaknya sama sekali tidak ada kepercayaan terhadap bank, seperti halnya
terjadi di Argentina beberapa waktu lalu. Dalam kondisi seperti itu, BLBI
itulah suatu usaha yang dapat dilakukan BI dengan persetujuan pemerintah
ketika itu.

Pada bulan Mei 1998 pemerintah berganti dari Pak Harto ke Pak Habibie. Pada
masa pemerintahan BJ Habibie terlihat arah yang lebih jelas dan fokus.
Kendati kondisi politik sangat tidak kondusif. Tampaknya Habibie memiliki
komitmen dalam perbaikan dan perkembangan ekonomi. Ini jelas tercermin dari
pidato kenegaraannya yang pertama. Ketika itu Habibie menyatakan akan
menempatkan BI sebagai sebuah lembaga, bank central, yang independen. Tak
berapa lama kemudian, komitmen ini pun segera diwujudkan dengan
diundangkannya UU No 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Sebuah landasan
hukum yang cukup kuat untuk menjamin indepensensi Bank Indonesia.

Lalu, pada pemerintahan Habibie itu, Syahril diangkat kembali untuk masa
jabatan pertama selama empat tahun, berdasarkan Keppres Nomor 149/M Tahun
1999 tanggal 17 Mei 1999. Posisinya sebagai Gubernur BI semakin kokoh dengan
disahkannya UU No 23 tahun 1999 yang menjamin independensi Bank Indonesia
itu.

Komitmen pemerintah waktu itu cukup kuat. Tim ekonominya juga cukup solid,
di bawah kordinasi Ginanjar Kartasasmita sebagai Menko Ekuin. Selepas itu,
arus inflansi pun mulai berkurang. Daya tukar rupiah juga kembali menguat
hingga sempat menyentuh posisi Rp 7000 per satu dollar AS dalam waktu yang
relatif singkat.

Pada awal ia menjabat sebagai Gubernur BI, bank central ini menjadi sebuah
sasaran yang sangat empuk untuk dikritik masyarakat. Sebab pada masa itu,
euforia reformasi, banyak pejabat yang mendapat hujatan. Terlebih lagi,
ketika BI mengeluarkan kebijakan suku bunga tinggi. Kebijakan moneter
diperketat. Beberapa pengamat mengritik kebijakan ini amat keras. Mereka
menyalahkan kebijakan itu. Namun Syahril menyarankan kepada segenap jajaran
BI, agar selalu bersabar, bijak, cerdas dan tetap konsisten.

Sebab jika belum waktunya, tapi kebijakan moneter dilonggarkan, itu berarti
seperti memberikan obat kepada pasien dengan setengah dosis. Tidak membuat
penyakit sembuh bahkan menjadikan penyakit itu kebal terhadap obat. Sehingga
tak dapat diobati lagi. Tetapi dengan kebijaksanaan yang ketat itu,
berangsur-angsur inflansi menurun, rupiah menguat. Lalu suku bunga pun turut
menurun. Ia dan jajarannya sangat menyukuri hal itu.

Namun tidak begitu lama, pemerintahan kembali berubah dari BJ Habibie ke Gus
Dur (Abdurrahman Wahid). Pergantian ini ternyata memunculkan masalah lain.
Masalah itu bermula pada saat, awal tahun 1999, ia diminta datang ke Istana
Kepresidenan bersama Menteri Keuangan Bambang Sudibyo, Kepala BPPN Cacuk
Sudaryanto. Saat itu menjadi berita hangat di media massa tentang Texmaco.
Maka ia berpikir mungkin masalah itu yang akan dibicarakan. Tetapi ketika
sampai di istana yang dibahas adalah tentang BLBI dan Gus Dur memintanya
untuk mundur dari jabatan Gubernur BI.

Sejenak, ia agak kaget. Tapi dibenaknya segera muncul tentang independensi
BI yang harus dipertahankan. Lalu, kepada Gus Dur, ia menyatakan tidak ada
alasannya untuk mundur. Menurut undang-undang independisi BI, hanya ada tiga
alasan kuat mengapa seorang Gubernur BI dapat mundur. Pertama, orang yang
bersangkutan dengan sukarela mengundurkan diri. Kedua, yang bersangkutan
meninggal dunia. Ketiga adalah berurusan dengan kriminalitas atau hukuman
pidana. Sehingga dari ketiga alasan tersebut tidak ada satu pun yang
membuatnya perlu mundur.

Juga dijelaskan, kalau ia mundur dalam sebuah tekanan atau terpaksa, ia juga
bersalah, karena sudah melanggar hukum. Sebab di dalam Undang-undang BI
dikatakan, jika Gubernur BI diintervensi, baik yang mengintervensi maupun
yang diintervensi, karena mau diintervensi, itu melanggar undang-undang.
Oleh karena itu tidak mungkin baginya untuk mundur.

Suasana tentu menjadi tegang. Gus Dur tetap menginginkannya mundur. Tapi,
hingga pertemuan itu berakhir, Syahril tetap kukuh menolak mundur.

Kenapa Gus Dur memaksanya mundur? Banyak orang menduga, mungkin masalah
salah satu bank yang dilikuidasi dan Gus Dur salah seorang pemegang
sahamnya. Selain itu, mungkin karena pernah seorang direktur bank, teman
dekat Gus Dur, hendak dipromosikan, namun ternyata menurut formula yang ada
di dalam BI, orang yang bersangkutan tidak lulus dalam fit and proper test.
Ketika itu, Gus Dur memintanya untuk diluluskan. Tapi Sayahril Sabirin dan
jajarannya mengatakan tidak mungkin. Sebab jika hal itu dilakukan,
kredibilitas BI akan hancur.

BI memilki suatu kebijakan bahwa pengurus bank itu harus diseleksi melalui
kriteria-kriteria tertentu. Ketika seseorang dinyatakan tidak lulus dalam
tes, tapi pemerintah menghendaki agar lulus, itu akan membuat segalanya
kacau balau. Sementara modal utama BI adalah kredibilitas institusi.

Setelah itu, pertemuannya dengan Gus Dur masih berlanjut. Gus Dur tetap
bersikeras memintanya mundur. Harus mundur. Kalau tidak, akan diambil
tindakan hukum. Hanya ada dua pilihan, mundur atau diusut, dijadikan
tersangka dan ditahan. Tapi, Syahril tak bergeming. Ia bertahan tidak mau
mundur. Sampai-sampai Jaksa Agung Marzuki Darusman pun, konon, ikut
“menyarankan” agar Syahril mundur, daripada ditahan. Tapi Syahril tetap pada
pendiriannya, tak mau mundur.

Karena ia tidak mau mundur, pada awal Juni 2000, ia pun dijadikan tersangka
dalam kasus Bank Bali. Padahal ia sudah menjelaskan bahwa ia tidak terlibat
dalam kasus itu.

Mengapa tak mau mundur? Ia tidak mau mundur bukan semata-mata secara pribadi
ingin bertahan dalam jabatan gubernur. Melainkan lebih daripada itu, yakni
memperjuangkan independensi BI. Sebuah pemikiran yang membuatnya harus kuat,
bahwa ketika ia menerima jabatan sebagai Gubernur BI, kebetulan bank central
itu baru saja mendapat status independen. Karena itu, ia menerimanya sebagai
sebuah amanah yang luar biasa: Memperjuangkan dan mempertahankan
independensi BI. Ia berpikir, kalau amanah itu dikhianati, maka dosanya akan
luar biasa. Lalu ia pun teguh mencoba mempertahankan amanah itu.

Jikakalau saat itu ia menuruti untuk mundur, dalam tekanan seperti itu,
tidak dapat dibayangkan bagaimana jadinya independensi Bank Indonesia. Pada
hal waktu itu, tugas yang diemban BI sangat penting dalam pemulihan ekonomi
bangsa ini akibat kondisi moneter dan politik yang bergejolak. Kalau bank
central saja tidak dapat mempertahankan konsistensi dan independensinya,
maka ekonomi Indonesia akan makin hancur.

Dijadikan tersangka, juga tak membuatnya gentar mempertahankan kebenaran
yang diyakininya. Ia pun tak akan mau mengkhianati amanah memperjuangkan
independensi BI yang dipikul di pundaknya. Akhirnya ia resmi ditahan, ketika
Gus Dur dalam perjalanan pulang dari luar negeri. Sebelum kedatangan Gus
Dur, ia dipanggil untuk diperiksa di kejaksaan. Wartawan saat itu bertanya
kepadanya, tentang kemungkinan ia akan ditahan sebelum Gus Dur sampai ke
Jakarta. Ia pun menjawab: “Barangkali begitu.”

Dan memang benar, setelah diperiksa, ia mendapat keputusan ditahan pada hari
itu juga. Saat itu, ia mengatakan siap untuk ditahan. Tapi sebelum ditahan
ia meminta untuk bisa ke kantor sebentar saja, guna membereskan dan
menyerahkan tugas-tugas. Sehingga tugas-tugas di BI dapat berjalan terus.
Namun permintaan itu ditolak. Ia diharuskan langsung masuk tahanan saat itu
juga.

Ia pun pasrah menerima saja setiap keadaan. Namun dalam hati, ia tetap yakin
tidak bersalah apapun. Tidak ada sesuatu yang dapat membuatnya berpikir
bersalah. Ia tampak sangat yakin. Tak sedikit pun rasa kuatir terpancar dari
sikapnya. Apalagi isteri dan anak-anaknya juga tabah dan memberikan dukungan
yang luar bisa kepadanya.

Penahanan yang pertama berjalan selama 20 hari. Kemudian diperpanjang 40
hari dan 30 hari lagi. Di antara masa-masa tahanan itu, masih ada seseorang
yang bertanya kepadanya: “Mau mundur atau tidak? Kalau mau mundur, Anda
bebas!” Ini ujian yang maha berat baginya. Namun ia tetap kukuh. Bukan untuk
diri dan keluarganya saja, tetapi demi independensi BI. Ia pun tanpa gentar
menjawab “Kalau dulu sebelum ditahan saya tidak mau mundur, apalagi
sekarang!”

Pada masa-masa penahanannya, ia dan keluarganya tentulah mendapat cobaan dan
beban luar biasa. Ayahnya, yang sangat mencintainya, meninggal pada masa ia
dalam tahanan itu. Usia ayahnya memang sudah 91 tahun, tapi kondisinya
sangat sehat sebelum ia ditahan. Pada masa penahanan 20 hari yang pertama,
ayahnya sempat datang dari Bukit Tinggi untuk menjenguknya ke tahanan.

Sang Ayah tampak sehat dan tegar. Bahkan setelah menjenguknya dan mengetahui
bahwa keadaannya tidak seburuk dalam bayangan, ayahnya tampak senang. Lalu
setelah kujungan itu, Sang Ayah kembali ke Bukit Tinggi. Namun ketika Sang
Ayah mendengar berita penahanannya diperpanjang, kemungkinan timbul beban
dalam pikiran, beliau pun jatuh sakit. Ia sempat diperbolehkan menjenguk
ayahnya yang sakit di Bukit Tinggi. Tapi ajal yang ditentukan oleh Allah
akhirnya memanggil, beliau wafat. Ia pun diperbolehkan keluar ruang tahanan
lagi untuk menghadiri pemakaman ayahnya.

Penahanannya pun terus berlanjut. Bahkan sempat terdengar berita sas-sus,
bahwa penahanannya kemungkinan akan diperpanjang lagi, dan dicari
kasus-kasus lain. Namun pada suatu hari, ia tiba-tiba diperbolehkan pulang
ke rumah. Ia menjadi status tahanan rumah. Sama sekali ia tidak menduga
keputusan itu. Sebuah keputusan yang memberinya sedikit kebebasan
dibandingkan dalam tahanan kejaksaan.

Karena jika di rumah ia dapat berkomunikasi ke mana-mana. Sedangkan ketika
dalam tahanan kejaksaan, untuk membaca surat kabar saja dilarang. Mendengar
radio dan menggunakan telepon apalagi. Di tahanan, ia hanya bisa membaca
buku. Itu pun setelah 10 hari dalam tahanan. Selain membaca koran, ia juga
dilarang membawa laptopnya. Sehingga jika ia mau menulis sesuatu harus
belajar lagi menggunakan tangan.

Kebetulan pada waktu itu Bob Hasan dan Hendrawan juga ditahan. Ia kenal
kedua orang itu. Bob Hasan pernah menjadi menteri dan Hendrawan juga dikenal
dari Bank Aspac. Di tahanan itu mereka bertemu. D isitu mereka sama-sama
menghibur diri, belajar saja menikmati hidup. Untuk menghilangkan kejenuhan,
mereka sering bareng bermain gample.

Tentulah pengalamannya dalam tahanan merupakan sebuah pengalaman yang tidak
mungkin ia lupakan. Mungkin saja banyak orang bertanya-tanya, “Koq Syahril
Sabirin tidak terlihat stress?” Karena memang ia sama sekali tidak terlihat
stress. Ia tampak menerima keadaan apa adanya. Dapat menahan diri menerima
saja bagaimana adanya. Dilalui saja apa yang perlu dilalui. Bahkan sejak
masa penahanan, berat badannya malah naik cukup banyak.

Tak berhasil memaksa Syahril Sabirin mundur, dan ia masih ditahan, lalu
kepentingan politik saat itu mencari jalan lain. Ketika itu, ada upaya
mengatur mundur, dipaksa atau secara sukarela, seluruh deputi gubernur.
Mungkin sekenarionya, kalau kiranya semua deputi mundur, berarti
kepemimpinan BI kosong. Tidak ada pejabat yang aktif, dan gubernurnya dalam
tahanan. Jadi ada alasan kuat untuk merombak semua. Tapi untungnya ada di
antara deputi itu yang setia kawan berpihak kepadanya dan independesi BI,
tidak mau mundur. Kalau tidak, mungkin independensi BI sudah tamat.

Tak juga berhasil dengan cara itu, lalu berkembang keinginan untuk
mengamendemen UU BI. Tentu keinginan ini tidak lagi hanya sekadar mengganti
Gubernur BI, melainkan lebih dari itu yakni mengubur independensi BI. Saat
itu, Syahril dan jajaran BI, mendapat tekanan yang paling berat. Ada
berbagai pihak menelepon Syahril, menyarankan agar ia mundur sebelum
undang-undang diubah. Sebab, katanya, kalau undang-undang sudah diubah, ia
bukan lagi gubernur BI. Sehingga ketika diminta ke pengadilan, mau ngomong
apa lagi? Maka lebih baik mundur saja.

Keinginan kepentingan politik mengamendemen UU BI ini, tidak hanya pada
pemerintahan Gus Dur. Bahkan setelah Gus Dur digantikan Megawati
Sukarnoputri, masih saja kuat hasrat sebagian politisi untuk mengamandemen
UU BI, sebagai pintu masuk kadernya dalam bank central tersebut. Namun
belakangan, kesadaran para politisi mengenai pentingnya independensi BI
tampaknya semakin berkembang. Sehingga tak terdengar lagi keinginan untuk
mengamandemen UU BI itu.

Lalu, setelah ia menjadi tahanan rumah, keadaan tentu lebih baik. Ia sudah
mulai leluasa berkomunikasi berhubungan dengan dunia luar. Kemudian setelah
2 bulan sebagai tahanan rumah, informasi yang berkembang kemungkinan akan
diperpanjang. Hingga suatu hari dua orang jaksa datang menemuinya ke rumah.
Ia sempat berpikir “ada apa lagi nih!” Ternyata jaksa itu ingin menyampaikan
bahwa sejak hari ini ia dibebaskan dari tahanan rumah. Ia pun boleh ke luar
rumah. Itu juga berarti ia boleh masuk kantor.

Pagi besoknya, ia datang kembali ke BI. Ia disambut dengan baik oleh segenap
jajaran BI. Staf dan karyawan menyambutnya dengan penuh suka-cita. Ia pun
merangkul semua jajaran BI, termasuk para deputi yang sempat mengundurkan
diri. Peristiwa yang lalu dilupakan saja. Ia mengajak jajaran BI lebih baik
melihat ke depan. Apalagi, memang ketika peristiwa banyak deputi mundur itu,
ada yang mengaku dipaksa dengan diberikan ancaman, kalau menolak akan
“di-Syahril Sabirin-kan.”

Itulah sosok Syahril Sabirin, seorang pengagum Nelson Mandela. Ia tidak tahu
apakah sifat ini sebuah kelemahan atau kekuatan baginya. Bahwa ia bukan
orang pendendam. Ia selalu berpikir bahwa orang bisa berubah. Kendati belum
sebesar nama Nelson Mandela, namun dalam lingkungan lebih kecil di BI, ia
melakukan rekonsiliasi, memaafkan masa lalu. Lalu secara bersama-sama
bergandeng tangan menjemput masa depan BI yang lebih baik, bebas dari
intervensi politik dan penguasa.

Di tengah semua problem berat yang dihadapinya, sebagai pejabat negara,
Syahril tetap menunjukkan sosoknya sebagai pejuang dan pekerja keras. Ia
pantas disebut pejuang independensi BI. Bahkan, tidak berlebihan, bila pada
akhir masa jabatannya, ia patut diberi penghargaan sebagai “Pahlawan
Independensi BI”. Apalagi, menurut beberapa karyawan BI, sering kali Syahril
bekerja di kantor hingga hari berganti tanggal. Ia pun dikenal jajaran BI
sebagai seorang pemimpin yang santun dan mampu menjalin hubungan personal
yang menyenangkan dengan karyawan dan siapa saja. Barangkali, sikap inilah
yang membuat Syahril mendapat loyalitas penuh dari bawahannya.

Timnya pun tetap bekerja secara padu dan efektif. Hanya saja, masih ada
faktor-faktor eksternal yang mengganggu. Masih ada persepsi yang salah dari
beberapa orang di antara orang-orang politik tentang independensi BI.
Sepertinya BI harus dikuasai secara politik dengan dipimpin oleh orang-orang
politik. Padahal itu suatu pandangan yang sangat salah. Sebetulnya adalah
lebih aman bagi orang yang berkuasa atau orang politik jika BI independen.
Sebab dengan independennya BI akan lebih mampu menjaga kestabilan moneter
yang lebih baik. Sementara keadaan moneter yang baik itu adalah keuntungan
dan prestasi bagi pemerintah.

Datangnya Keadilan

Ia pun akhirnya diadili. Majelis hakim tingkat pertama di Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat, dibacakan pada 13 Maret 2002, memvonisnya terbukti bersalah
dengan pidana penjara selama tiga tahun. Sebuah vonis yang sangat tidak
diharapkannya. Ia dan keluarganya sempat merasa sangat terpukul. Namun, ia
tetap tabah dan berharap masih terbuka jalan datangnya keadilan, dengan
melakukan upaya hukum naik banding.

Sampai pada suatu hari, tepatnya 12 Agustus 2002, keadilan akhirnya datang
menghampirinya. Hari itu, sidang majelis hakim tingkat banding di Pengadilan
Tinggi Jakarta memvonisnya bebas. Sidang majelis hakim yang dipimpin Hakim
Ketua Ridwan Nasution itu membatalkan putusan majelis hakim tingkat pertama
di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Putusan majelis tingkat banding itu menyatakan terdakwa Syahril Sabirin
tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah telah melakukan tindak
pidana baik dakwaan primer maupun subsider. “Membebaskan terdakwa dari
dakwaan jaksa penuntut umum, merehabilitasi dan memulihkan nama baik, harkat
dan martabat terdakwa.”

Memang, dari sejak pertama ia diajukan sebagai tersangka dalam kasus Bank
Bali hingga hari terakhir penahanan, tidak ada satu bukti apapun yang dapat
membuktikannya bersalah. Dalam kesaksiannya, baik dari BPPN ataupun orang
Bank Bali, menyatakan ia tidak ada hubungan dengan kasus Bank Bali. Sehingga
tak heran bila ia merasa ada sebuah sekenario yang sudah diatur.

Sebelumnya ia didakwa terlibat dalam skandal cessie Bank Bali (BB) dan PT
Era Giat Prima (EGP) senilai Rp 904,6 miliar. Adapun dakwaannya, primer
melanggar Pasal 1 ayat 1a jo Pasal 28 UU 3/1971 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo
Pasal 64 KUHP, dakwaan subsider melanggar Pasal 1 ayat 1b jo Pasal 28 UU
3/1971 jo Pasal 55 ayat 1 ke-2 Pasal 64 KUHP.

Ia pun menyambut syukur, alhamdulillah, atas vonis bebas itu. Ia mengatakan
vonis ini pertanda keadilan telah datang. “Keadilan telah datang dari Yang
Maha Kuasa,” katanya. Ia dan keluarganya pun kembali menikmati hidup dengan
datangnya keadilan itu. Hidup apa adanya dan berguna bagi orang lain.
Sesekali menikmati musik country kesukaannya. Lalu menikmati kesenangan
mengemudikan sendiri mobilnya jika keluar kota.

Ia dan keluarganya juga tetap memilih tinggal di rumahnya sendiri di kawasan
Cinere, Depok. Rumah dinas Gubernur BI di kawasan Kebayoran Baru tidak
ditempatinya. Sementara untuk menjaga kebugaran tubuhnya, ayah dari
Melissari dan Stevano ini memilih olah raga tenis dan fitnes yang disediakan
di kantor BI.

Orang yang selaku Gubernur Bank Indonesia juga menjabat sebagai Gubernur
International Monetary Fund (IMF) dan Gubernur Pengganti Asian Development
Bank (ADB) untuk Indonesia, ini sengaja tidak memilih golf. Karena olah raga
itu akan banyak menghabiskan waktu, yang semestinya bisa untuk keluarga.

***

Bebasnya Syahril, juga bermakna suatu langkah bebasnya BI dari serangan
intervensi. Karena memang sudah jelas, apa yang telah terjadi adalah sebuah
kegiatan intervensi terhadap BI. Sayangnya dalam UU BI tersebut tidak ada
penjelasan, jika terjadi intervensi pihak manakah yang berwenang untuk
melakukan tindakan hukum. Mungkin untuk hal-hal lain dapat dikerjakan oleh
Kejaksaan Agung, namun dalam kasus ini, itu tidak mungkin, tidak ada
pengaturan.

Lalu, jika dilihat akibat langsung atau tidak langsung penahanannya terhadap
pergerakan ekonomi Indonesia pastilah ada. Besar atau kecil pasti ada
pengaruhnya terutama terhadap kepercayaan publik atau dunia international
terhadap independesi BI. Dunia internasional menilai kredibilitas bank
central menurun.

Satu bukti penilaian luar negeri. Sebelum ia ditahan waktu itu, Indonesia
merupakan calon anggota di Bank for International Settlement (bank cental
dari seluruh bank-bank central) yang berada di Swiss. Anggotanya biasanya
berasal dari negara-negara maju di Amerika dan Eropa saja. Kemudian
diperluas dengan memasukkan bank central yang mereka anggap layak dijadikan
anggota. Pada waktu itu yang menjadi calon di Asia yaitu Thailand, Indonesia
dan Singapura. Sedangkan Vietnam yang meminta untuk menjadi anggota tidak
diterima.

Namun ketika proses keanggotaan tersebut berjalan, tiba-tiba ia dijadikan
tersangka. Sehingga diputuskan menunda dulu menerima BI. Mereka menilai BI
tidak independen, masih dapat diintervensi.

Sampai akhirnya, setelah Syahril Sabirin divonis bebas, ia berkunjung ke
Mexico sebagai undangan. Di sana ia berbicara dengan General Manager Mr.
Andrew Croket. Hasilnya, kemungkinan pada bulan Mei 2003, BI dapat diterima
menjadi anggota.

Sementara, kekompakan timnya pun tampaknya makin solid. Terlihat dari
perkembangan rupiah yang relatif stabil. Bahkan dengan goncangan bom di
Bali, rupiah hanya terkoreksi di titik Rp 9.300 per US dolar. Selain dari
tingkat kredibilitas BI, sebagai modal utama, tampaknya sikap konsisten
dalam mengadakan intervensi ke pasar juga benar-benar nyata sehingga dapat
mempengaruhi nilai tukar rupiah.

Ini tentu tak terlepas dari manajemen SDM. “Saya dari dahulu percaya bahwa
SDM dalam BI itu lebih baik,” kata Doktor bidang Ekonomi Moneter dan
Internasional, Vanderbilt University, USA (1979) itu. Namun, katanya, jika
ada pelanggaran, langsung ditindak bahkan kalau perlu dipecat. Karena untuk
dapat kerja di bank sentral, kejujuran adalah sebagai modal utama. Maka jika
ada pelanggaran yang meyangkut ketidakjujuran itu tidak dapat ditolerir.

***

Masa kecil pria santun yang lahir di Bukittinggi, 14 Oktober 1943, ini
biasa-biasa saja sebagaimana layaknya anak-anak pada masanya. Tapi
pendidikan pengajian ketika masih kecil itu memberikan kesan yang mendalam
baginya. Ia merasakan pengajian itu sebagai bagian dari sekolah atau
pendidikan.

Dari tingkat SR (Sekolah Rakyat – Sekolah Dasar sekarang) hingga SMA, ia
bersekolah di Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Ia tinggal bersama orang tua.
Ayahnya seorang pegawai di sebuah perusahaan yang sekarang menjadi PLN.
Pernah juga mengajar tehnik. Belakangan membangun perusahaan kecil-kecilan
dengan nama Biro Tekhnik yang mengurusi pelayanan jasa instalasi listrik.
Ibunya seorang ibu rumah tangga.

Orang tuanya menanamkan pentingnya kejujuran dan jangan mengambil milik atau
hak orang lain. Tanpa ia sadari, petuah orang tuanya itu menjadi salah satu
prinsip hidupnya. Jujur dan jangan pernah mengambil milik atau hak orang
lain. Walau sekecil apapun milik orang jika diambil adalah salah dan akan
menyusahkan seluruh hidup. Prinsip itu selalu ia ingat.

Falsafah hidupnya juga sangat sederhana. Bagaimana supaya menjadi orang yang
berguna bagi orang lain serta berusaha jangan sampai menyusahkan orang lain.
Ia selalu berupaya agar kehadirannya bermanfaat di tengah-tengah kehidupan
orang lain.

Mengenai obsesi atau ambisinya juga tidak terlalu besar. Seperti pada tahun
1993, ketika berakhirnya masa tugas Adrianus Moy sebagai gubernur BI. Saat
itu, para tokoh-tokoh BI mencari calon pengganti. Salah seorang calon adalah
J. Soedradjad Djiwandono. Namun perlu juga adanya calon tandingan. Waktu itu
BJ Habibie belum mengenalnya. Lalu, Habibie bertanya kepada orang-orang
senior di BI. Mereka merekomendasikan Syahril Sabirin. Setelah itu ada orang
menghubunginya untuk masuk dalam pencalonan Gubernur BI. Ia hanya mengatakan
siap, kalau memang untuk kepentingan bangsa. Ketika itu, Djiwandono yang
terpilih, karena memang ia calon yang kuat.

Namun dari sisi lain, bisa dilihat, dasar Syahril Sabirin memang bukan orang
yang ambisius. Bahkan sebagaimana penuturannya kepada Wartawan Tokoh
Indonesia, di ruang tamu kantornya, Jumat 29/11/02, ia tidak memilki ambisi
dalam jabatan. Ia hanya punya ambisi dalam pengertian melakukan sesuatu
hingga berhasil. Untuk mencapai keberhasilan kerja atau prestasi itu, ia
akan melakukannya dengan sungguh-sungguh dan sebaik-baiknya. Seperti ketika
seorang pejabat penting menghubunginya ke Washington, ia juga berpikir-pikir
dulu, tidak serta-merta menerimanya.

Cita-citanya semasa kecil, ingin menjadi seorang insiyur. Karena ia paling
suka dan bisa di bidang matematika dan ilmu ukur. Namun masa PRII
(1958-1959), ketika ujian ilmu ukur, terjadi perang, baku tembak. Sehingga
ia tidak bisa ikut ujian. Padahal ujian itu untuk naik ke kelas tiga SMA.
Saat mulai pembagian jurusan, bagian A (jurusan sosial dan budaya) dan B
(jurusan ilmu pasti alam). Sempat juga ia berpikir apakah mesti mengulang
kembali. Tapi akhirnya ia pikir terima saja. Sehingga akhirnya ia masuk ke
kelas 3 bagian A. Jurusan yang memang sudah kehendak Tuhan baginya.

Setelah lulus SMA tahun 1962, ia bersama seorang teman berangkat ke Jakarta,
naik kapal laut. Pada masa itu transportasi sangat sulit. Mereka hanya dapat
membeli tiket dari calo yang harga sudah berlipat-lipat dari harga resmi.
Setelah dibayar, tiket tidak diterima. Katanya akan diterima setelah berada
di dalam kapal. Setelah di atas kapal, mereka pun meminta tiket itu. Tapi si
calo berjanji, nanti sebentar lagi. Tapi setelah itu orangnya pun menghilang
tanpa memberikan tiket. Untung waktu itu mereka tidak tertangkap sehingga
tidak perlu mencuci piring atau membersihkan kamar mandi. Pada saat itu
memang kondisi kapal sangat prihatin. Untuk dapat menggelar tikar saja sulit
sekali, saking penuhnya kapal.

***

Menyinggung beberapa kebijaksanaannya memimpin BI, di antarnya ketika
menaikan suku bunga yang sangat tinggi hingga mencapai 60%, yang ketika itu
banyak dikritik orang. Ia mengatakan kebijakan itu diambil karena arus
likuiditas yang sangat besar, inflasi besar, rupiah melemah. Sehingga ini
adalah satu-satunya cara, kecuali kepercayaan publik terhadap upaya-upaya
perkembangan ekonomi meningkat.

Tugas pertama BI dalam independensinya adalah menjaga kestabilan nilai
rupiah. Salah satu ukurannya yaitu inflasi. Seperti ketika inflasi membesar,
sementara pemerintah memerlukan kredit dalam pembangunan tertentu, jika BI
memberikan kredit tersebut, akan berakibat inflansi semakin menjadi.
Contohnya pada masa pemerintah Bung Karno. Ketika itu tugas BI hanya
mencetak uang. Sehingga inflansi bisa sampai 600%.

BI setiap minggu melakukan langkah-langkah yang perlu diambil dalam
menghadapi keadaan moneter yang sedang belangsung. Terutama dalam kaitannya
dengan nilai tukar rupiah, BI selalu siap. Begitu juga ketika hendak
melakukan intervensi pasar, benar-benar upaya tersebut dapat mempengaruhi
nilai tukar rupiah.

Tentang isu-isu uang seri ganda, menurutnya, itu adalah isu yang klasik.
Sebab ketika diminta buktinya, ternyata tidak ada. “Maraknya uang palsu itu
lebih merupakan marak dalam pemberitaannya. Kalau kita lihat dari jumlah
tidak banyak perubahan dari waktu ke waktu. Namun kami juga sangat berterima
kasih dan memberi acungan jempol terhadap usaha yang dilakukan kepolisian
yang mampu memecahkan kasus-kasus uang palsu,” katanya mengakhiri.

BIODATA SINGKAT :

N a m a : Syahril Sabirin, SE, MA, PhD

Lahir: Bukittinggi, Sumatera Barat, 14 Oktober 1943

Agama : Islam

Jabatan : Gubernur Bank Indonesia 1998-2003

Istri : Murni

Anak : Melissari dan - Stevano

Pendidikan Formal

1. Sekolah Dasar pada Sekolah Rakyat No. 15 Bukittinggi, lulus pada tahun
1956

2. Sekolah Menengah Pertama pada SMP No. 6 Bukittinggi, lulus pada tahun
1959

3. Sekolah Menengah Umum pada SMA II/C Bukittinggi, lulus pada tahun 1962

4. Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, lulus sebagai
Sarjana Ekonomi jurusan Perusahaan pada tahun 1968

5. Williams College, Williamstown, Massachusetts, USA, lulus pada tahun 1973
dengan memperoleh gelar Master of Arts (MA) dalam bidang Ekonomi Pembangunan

6. Vanderbilt University, Nashville, Tennessee, USA, lulus pada tahun 1979
dengan memperoleh gelar Doctor of Philosophy (PhD) dalam bidang ekonomi,
dengan spesialisasi ekonomi moneter dan ekonomi internasional

Pendidikan Lainnya :

1. Mengikuti berbagai pendidikan jangka pendek, baik dalam bidang ekonomi
maupun dalam bidang lainnya, seperti computer programming dll.

2. Mengikuti berbagai seminar dan konperensi di dalam dan luar negeri

3. Memberikan ceramah/kuliah di berbagai forum, antara lain di konperensi
yang diselenggrakan oleh the World Economic Forum, the Asia Society, the
Asia Money, dll.

Riwayat Pekerjaan :

1. Bank Indonesia, Jakarta : 1969 –1993, antara lain sebagai: • Staf Umum
Urusan Ekonomi dan Statistik Bank Indonesia (1969), • Kepala Bagian Neraca
Pembayaran: 1982-1983, • Kepala Bagian Pembinaan Bank-bank: 1983-1984, •
Pejabat Kepala Urusan Ekonomi dan Statistik: 1985-1987, • Pejabat Kepala
Urusan Pasar Uang dan Giralisasi: 1987-1988, • Direktur Bank Indonesia:
1988-1993, dengan bidang tugas mencakup Devisa, Luar Negeri. Dan Sumber Daya
Manusia (1988-1992) dan Pasar Uang dan Giralisasi, Akunting, dan Sumber Daya
Manusia (1992-1993),

2. Sebagai tenaga pengajar pada berbagai perguruan tinggi: 1980-1988, antara
lain pada Sekolah Tinggi Akuntasi Negara (STAN), Universitas Indonesia, dan
Universitas Taruma Negara.

3. World Bank, Washington, DC, USA: 1993-1996, sebagai Senior Financial
Economist di Direktorat Timur Tengah dan Afrika Utara, dengan tugas
menangani pembinaan sektor finansial antara lain di negara-negara Mesir,
Libanon, dan Jordania.

4. Bank Indonesia: Akhir 1997-sekarang : • 29 Desember 1997 – 19 Februari
1998: Direktur, • 19 Februari 1998 – sekarang: Gubernur

5. Selaku Gubernur Bank Indonesia juga menjabat sebagai:

• Gubernur International Monetary Fund (IMF) untuk Indonesia ; • Gubernur
Pengganti Asian Development Bank (ADB) untuk Indonesia ; • Gubernur
Pengganti Islamic Development Bank (IDB) untuk Indonesia (sampai tahun
2000).

Tulisan/ Publikasi :

1. Money, Price, Income and Interest Rates in Indonesia Before and After the
Financial Deregulation of June 1983, a paper written jointly with Muljana
Soekarni, in Structural Change and Economic Modelling, Sydney: Reserve Bank
of Australia, December 1986.

2. Indonesia’s Financial Reforms: Challenges in the 1990s for Its Banking
and Financial Markets, Journal of Asian Economics, 2/2, Fall 1991,
Greenwich, Connecticut and London: JAI Press Inc..

3. Exchange Rate Management in an Open Economy: The Case of Indonesia,
Journal of Asian Economics, 4/1, Spring 1993, Greenwich, Connecticut and
London: JAI Press Inc.

4. “Capital Account Liberalization”, in “Financial Sector Reforms in Asian
and Latin American Countries, Lessons of Comparative Experience”, The World
Bank, Washington. D.C., 1993.

Alamat Kantor :

Jl. MH. Thamrin 2 Jakarta 10110 Indonesia Telp : (62-21) 381-7187 Faks :
(62-21) 350-1867

Alamat Rumah: Jalan Ikan Mas No. 96, Blok K, Cinere, Depok , Jawa barat
16514

*** Sumber : htp://www.tokohindonesia.com

RantauNet http://www.rantaunet.com
Isikan data keanggotaan anda di http://www.rantaunet.com/daftar.php
-----------------------------------------------
Berhenti menerima RantauNet Mailing List, silahkan ke: 
http://www.rantaunet.com/unsubscribe.php
===============================================

Kirim email ke