Pintu terkuak buyarkan lamunanku dan terpandang bidadari yang sudah
kembali dari perjalanan jauh. Bergerak aku mendekat dengan tangan yang
lebar terbuka dan begitu saja menghambur dia masuk pelukanku.
"Tadaima."
"Okaeri."
Desah kerinduan menggetari seluruh flat kami mengisi malam sejuk musim
panas yang sunyi. Harum wangi aroma bibir merahnya yang memekar lembut
menyentuhi mulutku yang selalu bau jamban umum. Di angkasa raya yang
tinggi milyaran bintang saling berkedipan mata dan berharap rembulan
sejenak mengecilkan lampu togoknya yang mengganggu agar mudah menikmati
adegan romantis yang lagi berlangsung di atas permukaan bumi ini. Ada
hendak lantunkan puisi gombal yang sudah dipersiapkan, tapi tak jadi
bersebab disadari hanya akan merusak lingkungan hidup saja.
"Adakah selalu rindu adiak akan Uda?"
"Tidak."
"Aduh."
Kubopong badan mungilnya menuju ruang tamu yang temaram dan merebah
diri di sofa yang lapang. Sementara bunga odontoglussum yang memerah
warna muda yang terpajang di atas meja tersenyum ceria memandangi kami
berdua. Sementara tatapan mata hangat Natsuko bagai lirih berbisik,
"Kasih akan Uda abadi mengairi kalbuku".
Manakala rembulan yang sendu sedikit memalingkan wajah ke samping,
bangkit dia dari sofa.
"Ada jus, Uda?"
"Ada jus apel, jeruk, anggur, dan lain-lain. Tapi, masih di
supermarket," jawabku sembari membayangkan kulkas yang isinya sudah
habis terkuras.
Kian menyipit matanya manis tersenyum yang berbinar bagai perigi pagi
bening di lembah terpencil rerumputan yang tenteram, tempat kuberbaring
teduh diselimuti kedamaian. Perigi itu senantiasa melimpah memenuhi
dahaga jiwaku. Ah, perigi itu jarek samato bini kanduang, kok hilang
indak ado gantinyo.
Seketika masuk dapur dia, tiba-tiba, "Kiak!"
Apa yang terjadi? Adakah gorila yang berwajah setampan Miko muncul yang
membuatnya tapakiak? Diam aku mematung duduk tak bergeming. Bunyi petir
yang keras menggelegar jatuh di dapur. Pastilah dia mendapatkan
wastafel yang menggunung oleh peralatan makan yang tak dicuci selama
dua minggu dengan lemari piring yang kosong melompong. Pastilah baginya
tumpukan piring gelas sendok garpu sumpit botol baskom periuk talenan
centong kuali itu kelihatan lebih tinggi dari Gunung Fuji.
Tak lama waktu mengalir, keluar dia dari dapur dan berdiri tegak lurus
mengangkang memelototiku berkacak pinggang dengan muka raksasa yang
merah bengis mengerikan. Badannya membesar dan membesar menjulang
menembus atap menyentuh awan. Buah dadanya yang putih kecil mungil
sebesar pualam muda itu memanjang lurus jauh melintasi ubun-ubunku.
Lengan bajunya pun sobek-sobek oleh otot baja yang besar menggelembung.
Erangannya dahsyat meluluhlantakkan kesunyian malam, menghancurkan kaca
jendela, memorak-porandakan dinding, mengambrukkan lantai, meruntuhkan
gunung di kejauhan. Mulutnya yang meruncing taring bagai harimau campa
itu siap mengerkah habis mengoyak-ngoyak tubuhku yang kian menciut.
Ngeri betul aku setengah mati dan perlahan-lahan menyurukkan diri ke
sudut sofa yang terdalam.
Selamat tinggal, dunia!
e
RantauNet http://www.rantaunet.com
Isikan data keanggotaan anda di http://www.rantaunet.com/daftar.php
-----------------------------------------------
Berhenti menerima RantauNet Mailing List, silahkan ke:
http://www.rantaunet.com/unsubscribe.php
===============================================
- [RantauNet.Com] Bidadari yang Bertaring edizal
- [RantauNet.Com] Bidadari yang Bertaring Darul Makmur