Title: FW: Buat yang masih punya ayah


-----Original Message-----
From: Berlia Saridanti
Sent: 10 Oktober 2003 11:52
To: Anggota SKI Jakarta; All Muslim Batam; All Muslim Divre Barat; All Muslim Divre Timur; All Muslim Medan
Subject: FW: Buat yang masih punya ayah

Say or do something before it's too late.

----------

   Date: Fri, 5 Sep 2003 08:15:42 +0700

   From: "Yana"

Subject: Fw: I Wanna Be Like Him

I Wanna Be Like Him

Menjadi "sama dan serupa" dengan remaja lain merupakan keinginan dari

semua remaja. Saya ingat benar bagaimana sebagai seorang remaja dalam tahun

1963 saya merasa harus memiliki sepasang sepatu sport mutakhir yang

sedang "in". Persoalannya, bulan lalu saya baru saja membeli sepasang sepatu

kulit.

Tapi, sepatu sport benar benar sedang mode, oleh sebab itu saya datang

kepada ayah minta bantuannya.

"Saya perlu sedikit uang untuk sepatu sport", ujar saya suatu petang

di bengkel di mana ayah saya bekerja sebagai montir.

"Willie" ayah kelihatannya terkejut. "Sepatumu baru berumur satu

bulan, tapi Mengapa kini kau perlukan sepatu baru?"

"Setiap orang memakai sepatu sport yah!"

"Sangat boleh jadi nak, Namun hal tersebut tidak menjadikan ayah mudah

membayar sepatu sport "Gaji ayah kecil dan sering tidak cukup untuk

memenuhi kebutuhan sehari hari.

"Ayah, saya tampak seperti bloon memakai sepatu jenis ini "kataku

sambil menunjuk kepada sepasang sepatu oxford baru.

Ayah memandang dalam dalam ke mataku. Kemudian ia menjawab, "Begini

saja, Kau pakai sepatu ini satu hari lagi. Besok, di sekolah, perhatikan

semua sepatu dari kawan-kawanmu. Bila seusai sekolah kau masih berkeyakinan

bahwa sepatumu paling butut dibandingkan sepatu kawan kawanmu, ayah akan

memotong uang belanja ibumu dan membelikanmu sepasang sepatu sports"

Dengan gembira saya pergi ke sekolah, keesokan paginya, penuh

keyakinan bahwa hari itu merupakan hari terakhir bagiku mamakai sepatu

oxford

yang ketinggalan jaman ini. Saya lakukan apa yang ayah perintahkan saya

lakukan, namun tidak, saya ceritakan apa yang saya lihat secara teliti.

Sepatu coklat, sepatu hitam, sepatu tennis yang sudah kusam, semua

menjadi pusat perhatianku.

Pada petang hari, saya memiliki perbendaharaan dalam ingatanku betapa

banyaknya teman teman di sekolah yang juga memakai sepatu bukan sport,

bahkan sepatu - sepatu rusak, berlobang, menganga dan lain lain

bentuk yang sudah mendekati kepunahan sebagai alat pelindung kaki.

Namun banyak juga yang memakai sepatu sport yang gagah, yang

senantiasa berdetak detik penuh gaya bila si pemiliknya menghentakkannya

dengan

gagah perkasa.

Setelah sekolah usai, saya berjalan cepat ke bengkel di mana ayah

bekerja. Saya hampir yakin bahwa Senin depan saya juga akan masuk kelompok

yang

sedang "in". Setiap saya menghentakkan tumit saya di jalan, saya

membayangkan telah memakai sepatu sport idaman saya.

Bengkel sepi sekali saat itu. Suara yang terdengar hanya denting-

denting metal dari kolong sebuah chevy tua buatan tahun 1956. Udara berbau

oli, namun pada hemat penciuman saya, asyik sekali.

Hanya seorang langganan sedang menunggu ayah yang sedang bergulat di

kolong chevy tua itu.

"Pak Alva" tanya saya kepada langganan yang sedang menunggu, "masih

lamakah?"

"Entah Will. Kau tahu sifat ayahmu. Ia sedang membongkar persneling,

namun bila ia mendapatkan adanya bagian lain yang tidak beres, ia akan

menyelesaikannya juga."

Saya bersandar pada mobil abu abu itu. Apa yang bisa saya lihat

hanyalah sepasang kaki ayah yang menjulur keluar dari kolong mobil. Sambil

menjentik jentik lampu belakang chevy, secara tidak sadar saya menatap

kepada

kaki ayah. Celana kerjanya berwarna biru tua, kusam dan lengket terkena

oli, lusuh pula. Sepatunya, berwarna putih tua.... ah ....bukan hitam

muda......, dan sungguh sungguh butut, sebagaimana mestinya sepatu

seorang montir. Sepatu kirinya sudah tidak bersol, dan bagian kanan masih

memiliki sepotong kecil kulit tipis, yang dahulu bernama sol. Di ujungnya,

sebaris staples menggigit kedua belah kulit kencang kencang, mencegah jempol

kakinya mengintip keluar. Tali sepatunya beriap riap, dan sebuah

lubang memperlihatkan sebagian dari jari kelingkingnya yang terbalut kaus

katun.

"Sudah pulang nak? "ayah keluar dari kolong mobil.

"Yes sir" kataku.

'Kau lakukan apa yang kuperintahkan hari ini?"

"Yes sir"

"Nah, apa jawabmu ?" la memandangku, seolah olah tahu apa yang akan saya

ucapkan.

"Saya tetap ingin sepatu sport "Saya berkata tegas, dan berusaha

setengah mati untuk tidak memandang kepada sepatu ayah.

"Kalau begitu, ayah harus potong uang belanja ibumu.....

"Mengapa tidak pergi dan membelinya sekarang?" lalu ayah mengeluarkan

selembar $ 10. dan memancing uang receh untuk mencari 30 sen guna

membayar 3% pajak penjualannya.

Saya menerima uang itu dan segera berangkat ke pusat pertokoan, dua

blok dari bengkel di mana ayah bekerja.

Di depan sebuah etalase, saya berhenti untuk melihat apakah sepatu

sportku masih dipajang disana.

Ternyata masih! $9.95. Namun uang saya tidak akan cukup bila saya

harus membeli paku paku yang akan dipakukan pada solnya dan menimbulkan

suara klak klik yang gagah.

Saya pikir, untuk lari ke rumah dan minta bantuan dana dari mama,

sebab tidak mungkin kembali kepada ayah dan minta kekurangannya.

Pada saat saya teringat kepada ayah, sepatu tuanya tampak membayang

melintasi kedua mataku. Jelas tampak kebututannya, sisinya yang compang

camping, paku paku

yang telah mengintip keluar dan sebaris staples yang umumnya dipakai untuk

menjepit kertas. Sepatu kulit usang yang dipakainya untuk menghidupi

keluarganya. Pada waktu musim dingin yang menggigit, sepatu yang sama

dipakainya melintasi jalan jalan yang dingin, menuju kepada mobil mobilyang

mogok.

Namun ayah tidak pernah mengeluh. Terpikir olehku, betapa

banyaknya benda benda yang seharusnya dibutuhkan ayah, namun tidak

dimilikinya, semata mata agar saya mendapatkan apa yang saya ingini.

Dan kementerengan sepatu sport yang ada di balik kaca etelase di hadapanku

mulai memudar.

Apa jadinya bila ayah bersikap sepertiku. Sepatu jenis apa yang saat

ini kupakai, bila ayahku bersikap seperti saya bersikap. Saya masuk ke

dalam toko sepatu itu. Sebuah rak besar terpampang megah, penuh berisikan

sepatu sport yang sungguh keren. Di sampingnya, terdapat sebuah rak lain,

dengan sebingkai tulisan "obral besar. 50% discount". Dibawah bingkai itu

tergeletak sepatu sepatu semodel sepatu ayah, beberapa generasi lebih

muda, tentunya.  Otakku bermain ping pong. Mula mula sepatu ayah yang

butut. Dan sekarang sepatu baru. Pikiran tentang: menjadi "in" dan seirama

dengan

remaja lain di sekolah. Dan kemudian pikiran tentang ayah,.... telah

mengalahkannya.

Saya mengambil sepatu ukuran 42 dari rak yang berdiscount. Dengan

segera berjalan ke arah meja kasir, ditambah pajak, jadilah bilangan $ 6.13.

Saya kembali ke bengkel dan meletakkan sepatu baru ayah di atas kursi

di mobilnya. Saya mendapatkan ayah dan mengembalikan uang kembalian yang

masih tersisa.

"Saya pikir harganya $ 9.95" kata ayah.

"Obral" kataku pendek.

Saya mengambil sapu, dan mulai membantu ayah membersihkan bengkel.

Pukul lima sore, ia memberi tanda bahwa bengkel harus ditutup dan kami harus

pulang.

Ayah mengangkat kotak sepatu ketika kami masuk ke dalam mobilnya.

Ketika ia membuka kotak itu, ia hanya dapat memandang tanpa mengucapkan

sepatah

katapun. Ia memandang kepada sepatu itu lama-lama, kemudian

kepadaku. "Saya pikir kau membeli sepatu sport", katanya pelan.

"Sebetulnya ayah, ... tapi .... Saya tak sanggup meneruskannya.

Bagaimana saya harus menjelaskannya bahwa saya sungguh ingin menjadi seperti

ayah?

Dan bila saya tumbuh menjadi dewasa, saya sungguh ingin menjadi

seperti orang baik ini, yang Tuhan berikan kepada saya sebagai ayah saya.

Ayah meletakkan tangannya pada bahu saya, dan kami saling memandang

untukwaktu sesaat.

Tidak ada kata kata yang perlu dikatakan. Ayah menstarter mobil, dan kami

pulang.

Terima kasih Tuhan, karena engkau telah memberiku seorang ayah yang baik dan

bertanggung jawab.............


Kirim email ke