Server mailing list RantauNet berjalan atas sumbangan para anggota, simpatisan dan 
semua pihak yang bersedia membantu. Ingin menyumbang silahkan klik: 
http://www.rantaunet.com/sumbangan.php
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~


"Assalammualaikum WW"


Di bawah ini adalah pengalaman spritual haji yang sangat menarik dari
pasangan suami isteri Budi Hikmat dan Adelina Syarif yang dipostingkan
ke Milis Wanita Muslimah dan saya forwardkan ke milis ini atas
persetujuan pengirimnya (Mbak Adelina).

Menurut hemat saya pengalaman Mas Budi Hikmat dan Mbak Adelina Syarif
ini tidak hanya bermanfaat bagi para netters di milis ini yang akan
menunaikan ibadah haji pada musim haji 1424 H, tetapi juga bagi kaum
muslimin dan ummat beriman lainnya.

Saya percaya pengalaman spritual yang dialami Mas Budi Hikmat dan Mbak
Adelina Syarif tidak hanya bisa ditemui dalam peribadatan khusus seperti
perjalanan haji saja, tetapi juga bagi setiap insan yang melakukan
kegiatan peribadatan dan muamalah dengan tulus dan hanya semata karena
Allah.

Selamat berpuasa bagi yang menjalankannya

Wassalam, Anaswir


KESAKSIAN SPIRITUAL HAJI


Tiba-tiba kurasakan tangannya tersentak hingga jabat tangan kami
terlepas. "Rezekimu untuk berangkat haji telah disiapkan. Nanti juga
semua pengeluaranmu akan diganti?" Aku hanya terdiam. Kupikir ada cara
untuk menguji ucapannya? bahkan untuk membuktikan apakah agama dan Tuhan
yang selama ini kupercaya bukanlah dusta: Akan kukatakan kepada banyak
orang bahwa aku akan berangkat haji. Tahun ini!


Panjar ONH Dibayar Mertua

Kerinduan berangkat haji semakin menguat setelah adikku dan istrinya
berhaji menyusul Ibu dan Bapak yang sudah berangkat tahun sebelumnya.
Salah satu cara merawat kerinduan itu dengan memasang hiasan keramik
bergambar Masjidil Haram di dinding mushola rumah. Namun, berdasarkan
proyeksi kondisi keuangan, kami mungkin baru dapat berangkat tahun 2002.
Ketika mendengar pertimbangan kami, bapak mertua tegas berkata:
"Berangkatlah kalian haji tahun ini. Bapak beri pinjaman untuk panjar
ONH kalian berdua." Setelah membayar panjer ONH suami istri US$2000, aku
memperingatkan istri untuk kemungkinan menjual mobil Kijang Krista guna
menutupi ongkos haji.

Ongkos Hajimu Sudah Disiapkan!

Aku tertarik untuk meminta doa kepada seorang Ustadz yang materi kutbah
Jumatnya sangat menyentuh. Aku menandai Ustaz itu. Sebab, pernah tiga
kali sholat Jumat secara berturut-turut, di kota yang berbeda, surat Al
A?laa dan Ghaasyiyah dibacakan dalam sholat. Dan Ustadz itu imam sholat
yang ketiga dengan bacaan serupa. Sembari memberi salam, aku mengulurkan
jabat tangan, "Pak Ustadz, saya ingin sekali naik haji. Tolong doakan
saya?.

Wajah Ustadz itu nampak teduh saat memejamkan matanya. Berdoa. Tiba-tiba
kurasakan tangannya tersentak hingga jabat tangan kami terlepas.
"Rezekimu untuk berangkat haji telah disiapkan. Nanti juga semua
pengeluaranmu akan diganti..."

Ustadz itu nampak demikian yakin. Tetapi tak urung keraguan meliputiku.
Bagaimana mungkin dengan kondisi bisnis di kantor yang sedang menurun?
Aku hanya terdiam. Kupikir ada cara untuk menguji ucapannya? bahkan
untuk membuktikan apakah agama dan Tuhan yang selama ini kupercaya
bukanlah dusta: Akan kukatakan kepada banyak orang bahwa aku akan
berangkat haji. Tahun ini! "Ramalan" Ustaz itu tidak hanya kusampaikan
kepada istriku, tetapi juga kepada mertua, sanak saudara dan
teman-teman. Aku sengaja mengikat diriku dengan beban. Dan aku ingin
menyaksikan bagaimana beban yang melilitku itu dilepaskan.

Akhir Tahun Menegangkan

Sebagaimana karyawan lain, 23 Desember 2000 adalah hari yang menegangkan
bagiku. Sebab pada hari itu akan diumumkan keputusan manajemen
perusahaan terkait dengan THR dan bonus.

Aku gelisah sejak dini hari dan selama makan sahur. Biaya ONH harus
segera dilunasi dalam beberapa hari kemudian. Setelah subuh aku tidak
ingin tidur. Istriku memahami kekegelisahanku. Kami harus rela menjual
mobil untuk menutupi ongkos haji. Akhirnya kami putuskan untuk pasrah
saja. Kami isi waktu dengan jalan-jalan pagi di sekitar kompleks sambil
mengarang lagu Islami untuk anak-anak. Aneh, inspirasi mengarang lagu
demikian lancar mengalir. Setiba kembali di rumah aku menulis bait-baik
itu dengan komputer dan mencetaknya untuk dibagi kepada teman-teman.

Aku terlambat tiba di kantor. Tidak sempat ikut rapat pagi. Melewati
ruangan atasan dengan sungkan. Terbersit prasangka negatif saat
tangannya melambai memanggilku. Duh, mau diapain aku?

Rupanya ia ingin mengajakku bicara mengenai hal yang paling ditunggu
semua orang hari itu. Atasanku belum lama mengisi jabatan di bagianku.
Aku dimintai saran sebab menurutnya aku staff paling senior. Dia belum
tahu cara menyampaikan kepada bawahannya keputusan manajemen perusahaan
mengenai THR dan bonus serta pesan pimpinan tertinggi. Kepadanya
kusarankan untuk memanggil karyawan satu per satu masuk ke dalam
ruangannya untuk diberikan penjelasan secara pribadi. Atasanku
mengganguk setuju. Karena aku sudah berada di ruangannya, dia memutuskan
menjadikanku bawahan pertama yang menerima penjelasan. Kepuasan
hakikatnya adalah posisi relatif antara harapan dan kenyataan. Aku tidak
berharap banyak. Takut kecewa.

Lega rasanya hati ini saat atasanku menyampaikan keputusan rapat
pimpinan untuk tetap memberikan bonus meski kondisi bisnis saat itu
kurang menggembirakan. Suka cita itu bertambah setelah mengetahui besar
bonus sebanding dengan tahun sebelumnya. Alhamdulillah, terbayang bonus
itu melebihi ongkos haji kami. Pak Ustadz itu benar!!!

Ya Allah, telah Engkau cukupkan rezeki untuk biaya perjalanan haji kami.
Maka karuniakan pula kepada kami keselamatan dalam perjalanan,
kelancaran segala urusan, dan yang terpenting karuniakan kepada kami
kekhusyukan selama peribadatan. Lindungi pula harta dan keluarga yang
kami tinggalkan.

Salam untukmu wahai Nabi?

Perjalanan haji dimulai menyelesaikan ritual sholat Arbain dan berziarah
ke tempat-tempat bersejarah di Madinah. Roudoh, wilayah sempit antara
makam dan mimbar Nabi, sebagai tempat ijabah berdoa menjadi incaran para
jamaah. Aku memutuskan untuk mengunjungi Roudoh di malam hari. Allah
mengabulkan doaku. Tepat jam 2:30 aku terbangun, lalu mandi dan memilih
pakaian bersih terbaik. Sepanjang jalan menuju masjid Nabawi dan Raudoh
aku berdoa dan banyak mengirim sholawat untuk Nabi. Sepagi itu kulihat
banyak orang berduyun ingin masuk Roudoh. Aku ikut antri. Informasi yang
kuketahui Roudoh ditandai dengan karpet putih. Ketika merasa karpet yang
diinjak berwarna putih, aku bertanya kepada seorang jamaah untuk
menghilangkan keraguan. "Excuse me brother, where is Roudoh?"

"This is Roudoh! Shalat here two rakaat." Jawab laki-laki itu sangat
bersahabat sambil memberikan tempatnya kepadaku untuk sholat. Saat
selesai sholat dan berdoa, aku mendengar suara riuh askar yang melarang
orang sholat di sekitar makam Nabi. Demikian kuat Islam menolak syirik.

Aku ingin mendekat menuju mimbar untuk sholat dan berdoa sekali lagi.
Dengan perlahan berjingkat melewati celah sempit jemaah yang sedang
sholat atau duduk. Dari arah berlawanan, nampak seorang laki-laki ingin
keluar. Ia juga harus melewati barisan jemaah. Tiba-tiba badannya agak
oleng, hampir terjatuh. Alhamdulillah, lengannya dapat kutahan supaya
tidak jatuh. Aku tidak persis ingat mukanya, namun laki-laki itu
mengecupkan tangan kanan di bibirnya. Nampak berdoa. Kemudian ia
menempelkannya tangannya di dadaku. Kenangan yang tidak terlupakan.
Sebab ketika mengunjungi lagi Roudah, ada tangan yang menahanku agar
tidak terjatuh. Barangsiapa mengerjakan kebajikan dengan penuh
keikhlasan, maka Allah tidak pernah menyia-nyiakan amalannya.

"Suara-Suara" Itu Kembali Terdengar

Jemaah haji senantisa kembali dengan cerita-cerita yang sering kali
tidak masuk akal. Sahabat pembaca, sadarilah pengalaman mereka adalah
kesaksian spiritual yang memantapkan keimanan. Boleh jadi pengalaman itu
terdengar memalukan. Tetapi nikmatilah. Sebab itu teguran Allah di
dunia. Pasti lebih ringan ketimbang di akhirat. Dan aku hanyalah
menambah koleksi kesaksian itu.

Kesaksianku adalah kembali mendengar 'suara-suara'. Patut kuingatkan
'suara-suara' itu bukan produk akustik yang dapat didengar setiap orang.
'Suara-suara' itu melintas di dalam hati dalam bentuk dialog maupun
teguran. ?Suara? itu mengurai hikmah di balik peristiwa, menjawab
pertanyaan kritis, atau menyertai diri menghalau ketakutan. "Suara" itu
sangat kuat saat menjalani ibadah tawaf.

Teguran Allah: Jangan Menunda Berbuat Baik

Saat itu kami telah mengenakan busana ikhrom. Baru tiba di sebuah
penginapan di Mekkah dekat kawasan Pasar Seng dari miqot Bir Ali.
Badanku terasa letih. Selain perjalanan cukup jauh dan lalu lintas
Mekkah padat, jemaah harus memindahkan koper yang cukup berat. Sebagai
yang pertama kali masuk kamar, aku merasa mendapat hak memilih tempat
tidur yang paling menyenangkan. Kamar itu memuat lima tempat tidur,
empat di antaranya bertingkat dua. Jadi tidak salah bila aku memilih
tempat tidur tunggal. Aku merebahkan diriku sejenak, melepaskan penat.
Sayup terdengar satu per satu teman-temanku datang. Ada yang bergembira
mendapat dipan bawah. Namun ada yang berceloteh sebab mesti menempati
dipan atas. Kulirik yang terakhir datang adalah seorang kakek yang harus
menempati dipan atas terakhir. Dan terjadilah konflik bathin. Haruskah
aku memberikan tempatku?

Karena merasa letih aku memutuskan untuk menunggu sampai teman-temanku
saja yang menempati dipan bawah rela memberikan tempatnya. Tiba-tiba aku
merasa mual. Dan muntah tak terkendali muncrat mengotori sepre. Tibatiba
terdengar ?suara?: "Mengapa kamu seperti itu, padahal kamu sudah
mengenakan ikhrom?"

Segera aku istigfar. Ya Allah, ampunilah perbuatan buruk hambaMu.
Muntahku tidak kunjung reda. Istriku datang menghampiri setelah
diberitahu kondisiku. Kepadanya kubisikkan bahwa aku sedang ditegur.
Akhirnya kuputuskan untuk membersihkan tempat tidurku dan memberikannya
kepada sang kakek. "Pak, pindah saja ke tempat saya. Tetapi maaf yah,
tempatnya agak kotor kena muntah." Usulku sambil sambil membuka sepree
untuk dipindahkan.

"Terima kasih Mas, nggak apa-apa kok. Tempatnya masih bersih." Sang
kakek itu menyetujui tawaranku. Namun, rasa mualku belum reda. Rasa malu
bertambah ketika hampir semua jemaah sudah berangkat tawaf umrah dan
pimpinan rombongan berkata: "Wah kalau Mas Budi masih sakit, tawaf
umrahnya bisa diundur besok saja." Tidak ada lain yang dapat kukerjakan
kecuali memperbanyak istigfar. Sementara istri dengan setia menggosok
minyak angin di sekitar leher dan dada. Secara berangsur badan terasa
segar. Dan aku putuskan ikut rombongan terakhir untuk tawaf umrah.

Ada rasa takzim saat pertama kali memasuki pintu Babus Salam Masjidil
Haram. Alhamdulillah, aku bisa melihat masjid itu. Teringat cerita
seorang karibku yang lebih dulu pergi haji. Ada salah satu anggota
jemaahnya yang tidak bisa melihat masjid sebesar itu. Jemaah itu baru
bisa melihatnya setelah istigfar beberapa kali. Karena pelataran utama
padat sekali, kami memutuskan untuk tawaf di lantai dua yang lebih
lowong. MasyaAllah!!! Aku yang dikira kurang sehat ternyata mampu tawaf
dengan semangat. Bahkan sering ditegur karena berada jauh di depan
meninggalkan rombongan. Pimpinan rombongan kaget, "Lho, tadi Mas Budi
kelihatannya sakit. Kok sekarang nampak sehat sekali?"

Allah tidak saja Maha Pengampun, Allah membalas kebaikan dengan
kebaikan. Aku mendapat ganti tempat tidur yang lebih baik. Lebih empuk,
lebih dekat ke kamar mandi dan kamar makan. Juga ada jendela kaca
sehingga aku bisa melihat kondisi jalan di luar. Subhanallah. Teguran
itu pelajaran seumur hidupku.Tidak ada rasa malu sedikitpun untuk
menceritakannya kepada siapapun. Berbuat baik jangan ditunda-tunda!

Tawaf Latihan Berislam

Buku Haji karangan Dr. Ali Syariati - semoga Allah membalas kemurahannya
membagi ilmu - menegaskan jemaah haji hendaknya berlaku pasif selagi
tawaf. Pasif dalam kepasrahan sepenuhnya mengikuti
simulasi gerak objek semesta di dalam orbitnya masing-masing
mengelilingi pusat semesta. Pasif seperti elektron berotasi seputar inti
atom. Pasif seperti aliran sungai menuju samudera. Jemaah harus
menghindari lonjakan ekspresi hawa nafsu yang menimbulkan gesekan atau
membuat diri terlempar keluar orbit. Pasrahkan jiwa sepenuhnya di dalam
genggaman pengaturan dan pewalian Allah. Leburlah diri di dalam
penghayatan doa yang melantunkan kepapaan hamba di hadapan Allah, Rabb
Semesta Alam Yang Maha Perkasa dan Maha Agung. Aku memperingatkan istri
untuk disiplin menghayati makna tawaf itu. Ketika memulai tawaf haji,
kami memutuskan untuk mendekap sikut sebab kuatir tidak sengaja menyikut
orang lain. Pandangan kami lebih sering tertumpu ke lantai. Bila ada
barang yang dapat mengganggu, seperti tissue atau peniti, kami pungut
sembari berdoa: "Ya Allah, sebagaimana hambaMu membuang halangan ini,
maka hilangkan pula halangan dalam perjalanan hidup hamba." Kami
bergerak mengambang mengikuti arus. Pada putaran keenam kami terdorong
mendekati bangunan Kabah hingga menempel di dindingnya. Alhamdulillah,
aku tetap diberikan disiplin memperingatkan diri sendiri dan istri,
?Ingat, ini hanya batu bangunan biasa. Tidak memberikan mudharat atau
manfaat. Kalau ingin menyentuhnya, sentuh saja sekarang tanpa mengharap
apa-apa.? Kami menempelkan tangan sekali di dinding Kabah. Lalu
melanjutkan tawaf.

Kesempatan Mencium Hajar Aswad

Melewati Rukun Yamani, kami melihat banyak orang berebut ingin mencium
Hajar Aswad. Dalam hati aku merintih, "Ya Allah, tentu saja hambaMu ini
ingin mengikuti sunah rasulMu mencium Hajar Aswad. Namun bila untuk itu
kami harus menyakiti orang lain, kami tidak mau." Terdengar 'suara',
"InsyaAllah, engkau akan diberikan kesempatan mencium Hajar Aswad."
Tangan kananku tak terkendali bergerak sehingga terkecup bibir. Aku
sampaikan pesan 'suara' itu kepada istriku Adelina yang rapat memegang
pinggangku. Kami terus ikut mengambang mendekati Hajar Aswad. Ketika
jaraknya semakin mendekat, kulihat seorang mengambil tongkat dari balik
gamisnya. Aku kaget. Untuk apa tongkat itu? Ketika memperhatikan
orang-orang saling berebut, aku sempat histeris dan memperingatkan semua
orang dalam bahasa Indonesia dan Inggris, "Jangan menyakiti orang di
sini. Don't hurt anybody here!" Teriakku lantang beberapa kali.

Situasi tidak membaik. Akhirnya aku kembali membathin. "Ya Allah,
hambaMu ini tidak ingin mencium Hajar Aswad sebab nanti akan menyakiti
orang lain." Kami kemudian terdorong keluar mendekati Maqom Ibrahim dan
sudah memulai putaran ketujuh. Terakhir! Ya, itu putaran terakhir. Jadi
tidak mencium Hajar Aswad adalah ketentuan Allah. Kami pasrah.

Tiba-tiba aku teringat bahwa tempat sesuci ini tentunya dijaga oleh
banyak Malaikat. Lalu kucoba membuka komunikasi, meminta mereka untuk
mendoakan kami. "Wahai para Malaikat yang menjaga tempat ini, tidakkah
kalian ketahui bahwa selama ini aku selalu mengakui keberadaan kalian
dengan berdzikir kepada Allah. Dengan membacakan ayat suci Al Quran yang
mengabadikan pernyataan kalian pada saat-saat awal penciptaan Adam."
Sepulang haji sering kurenungkan mengapa kata ?kalian? terpilih
digunakan kepada Malaikat yang suci? Rasanya pilihan kata itu arogan.
Apakah kata itu terpaksa kupilih sekedar untuk mendudukkan keistimewaan
manusia dibanding Malaikat di hadapan Allah?

Setelah membaca ?super-istigfar? aku lalu melafazkan Al Baqarah ayat 32
yang memuat pengakuan para Malaikat. "Subhanaka laa ilmalanaa illa maa
allam tanaa innaka antal 'alimul hakiim." Maha Suci Engkau. Tidak ada
yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami.
Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Terdengar kembali suara, "Bersabarlah sebentar di sini." Tidak ada lagi
yang kukerjakan kecuali bersabar. Tidak memaksakan diri. Tenang-tenang
saja menunggu giliran. Kami semakin mendekati Hajar Aswad. Terlihat dua
orang wanita tipikal Timur Tengah. Salah satu dari keduanya berteriak
lantang kepada orang-orang sekitar. Mungkin mereka mengharapkan para
laki-laki memberi mereka kesempatan mencium Hajar Aswad.

Rasanya tidak terduga kami sudah berada tepat di depan Hajar Aswad.
Kucermati penampilannya. Nampak banyak tonjolan seperti batu bopeng.
Tanganku bergerak mengusap. Dingin. Tak terasa istimewa. Aku tidak
menciumnya. Mungkin karena tadi tanganku telah kukecup. Kemudian kuminta
istriku untuk menciumnya. Dia kaget dengan kesempatan ini. Dia nampak
ragu dan memberikan dulu kesempatannya kepada dua orang wanita tadi
dengan bahasa Inggris seadanya. "Sisters, kiss, kiss." Kedua wanita itu
mencium Hajar Aswad bergantian. Istriku tetap bengong menatap Hajar
Aswad. Suatu kesempatan yang sangat langka mengingat demikian banyaknya
orang di situ. Waktu serasa berhenti untuk kami. Hingga aku terpaksa
berteriak, "Adek, cepat cium!" Lalu istriku menciumnya. Dua kali. Aku
melihat seorang di depan kami berteriak lantang menunjuk ke arah kami.
"Barkah?barkah? barkah!"

Oh, anak-anak kami. Pahamilah kesaksikan ini sebagai tanda keberadaan
Tuhan kita. Berislam sesungguhnya mendidik jiwa menghayati ketentuan dan
pewalian Allah sajalah yang terbaik. Ya Allah, karuniakan kepada kami
lebih banyak kesaksian nikmatnya hanya menjadi hambaMu.

Doa Di Depan Multazam

Setelah Hajar Aswad kami mendapat kesempatan berdoa di depan Multazam,
pintu Kabah yang terbuat dari emas. Tempat terbaik untuk berdoa. Allah
kembali menjaga disiplin kami. Dengan penuh keharuan, aku berseru sambil
menunjuk Multazam, "Kami tidak datang ke sini untuk melihat gedung ini.
Tetapi kami ingin bertemu dengan Pemiliknya!"

Rasa haru semakin meliputi dada. Air mata hangat menetes mengaliri pipi.
Merasakan kenikmatan itu sebagai pertanda penerimaan Pemilik rumah tua
itu. Namun masih tersisa keraguan. "Ya Allah, jangan sampai air mata
yang mengalir ini dari seorang yang munafik. Karena seorang munafik
menitikkan air mata dengan menggersangkan hatinya."

Sahabat, kenikmatan saat itu tidak terbelikan uang. Air mata tumpah
semakin deras. Sementara dada terasa terangkat mengembang. Nikmat.
Tenang. Damai. Tak terlintas kuatir atau cemas. Ya Allah, hambaMu datang
memenuhi panggilanMu.

Kupanjatkan doa dengan terlebih dahulu memohon ampun atas segala dosa
dan kesalahanku selama ini. Termasuk atas kebodohanku meminta sesuatu
yang tidak pantas. Tidak pantas dalam ilmuNya. Tidak sesuai dengan yang
telah ditetapkanNya untukku.

Begitu puas rasanya berdoa di situ. Aku mensyukuri nikmat bimbingan
Allah selama ini. Musibah yang mengguncangkan jiwa selama ini reaksi
terhadap dekapan kasihNya. Guncangan itu membuka mata bathin yang selama
ini tertutup deru amarah, bujukan syahwat, dan prasangka buruk kepada
Allah. Aku juga mensyukuri menerima undanganNya menunaikan haji.

Di depan Multazam itu, aku menyebutkan kembali satu per satu "empat
kata" yang selama ini ?diperdengarkan? kepadaku: "Bersih, Sabar, Syukur,
Ilmu." Empat kata yang menadai pintu-pintu hikmah. Hanya diperlukan satu
kunci untuk dapat memasuki semua pintu hikmah: Cinta!

Dapatkan Cinta Allah dengan mencintai makhlukNya. Kami berdoa agar Allah
menjaga mahligai rumah tangga kami. Membimbing kami sebagai orang tua
yang diberi amanah mendidik anak keturunan menjadi hambaNya yang
bertakwa. Tentu saja, ada juga permintaan khusus untuk
anak-anak kami yang tidak ingin kuceritakan di sini. Sekembali ke
Indonesia, aku menjaga empat kata tersebut dengan menjalankan sholat
Dhuha empat rakaat setiap pagi sebelum berangkat ke kantor. Rakaat
pertama, selesai Fatihah, aku membaca ayat yang berkenaan dengan
?Bersih?. Rakaat kedua ?Sabar?, ketiga ?Syukur? dan terakhir ?Ilmu?.

Sholat di Hijr Ismail

Setelah itu kami menuju Hijr Ismail untuk sholat. Alhamdulillah kami
mendapat tempat yang baik untuk sholat. Kamipun berdoa untuk diri kami
sendiri. Dan juga menyampaikan doa pesanan teman-teman. Di tempat ini
berdoa lebih leluasa. Bisa lebih lama. Hijr Ismail adalah bagian dari
bangunan Kabah. Jadi tidak sah dijadikan tempat tawaf. Setelah puas,
kami memberikan tempat kepada jemaah lain agar mereka juga mendapat
keleluasaan menunai sholat dan berdoa.

Puas Meminum Air Cinta Kasih

Selesai berdoa di Hijr Ismail, kami mengikuti arus putaran tawaf hingga
dapat keluar dengan mudah. Lalu bersiap sholat menghadap Maqom Ibrahim.
Setelah itu kami bersiap menuju Sumur Zam Zam. Ketika hendak menuju
Sumur aku membathin bahwa kami akan meminum air sebagai penghargaan
Allah untuk ikhtiar cinta kasih seorang Ibu Hajar mempertahankan
kehidupan bayinya Ismail. Belum jauh masuk ke daerah Sumur, tiba-tiba
ada orang yang selesai minum keluar sehingga aku langsung mendapatkan
tempat minum. Di situ aku minum sepuasnya air yang sejuk itu. Termasuk
membasuh muka dan kepala. Setelah itu keluar, menunggu istriku Adelina
selesai meminum air Zam Zam di bilik kaum perempuan.

Bersihkan Niatmu

Sesampai di penginapan, kami bertukar pengalaman. Kami menceritakan
kepada teman-teman kemudahan mencium Hajar Aswad. Seorang teman
menceritakan 'kegagalannya' mencium Hadjar Aswad. Padahal, saat itu dia
sudah demikian dekat. Ketika itu dia merasa badannya dengan ringan
diangkat ?seseorang? menjauhi Hajar Aswad. Kepada kami dia mengakui
sempat mempunyai niat kurang baik saat ingin mencium Hajar Aswad.

Sai': Kuatkan Dirimu Dalam Beriktiar

Berbeda dengan tawaf yang pasif, ketika menunaikan Sai jemaah harus
aktif menguatkan ikhtiar. Kewajiban setiap muslim hanyalah berikhtiar
sekuatnya. Jangan mengharapkan hasil lebih dulu. Sebab mengharapkan
hasil setara menabur bibit kekecewaan yang engkau akan tuai apabila
harapanmu tidak tergapai. Kuatkan ikhtiarmu, engkau akan menjadi seorang
profesional dalam bidangmu. Hargai anakmu berdasarkan disiplinnya
mengerjakan tugas, bukan dari nilai yang dia peroleh. Hargai kegigihan
ikhtiar suamimu mencari nafkah, bukan besar uang yang dibawanya pulang.

Alhamdulillah Sai dapat kami tunaikan dengan lancar. Seorang teman
menceritakan ?teguran? untuk istrinya saat Sai. Sang istri terlepas dari
pegangannya. Seolah hilang tertelan di antara kerumunan orang banyak.
Sang istri dijumpanya kembali di penginapan dalam keadaan menangis.
Temanku menceritakan langsung bahwa kejadian itu hanya terjadi seketika.
Beberapa detik saja. Dia tidak menemukan istrinya di daerah Sai.

Jumrah: Melempar Kejahatan Dalam Dirimu

Rangkaian ibadah yang cukup berat adalah melempar jumrah. Sebab
seringkali, jemaah yang kurang memahami hakikatnya berdesakan hingga
memakan korban. Buku "Haji" Ali Syariati mengupas secara mendalam makna
melempar jumrah. Ketiga berhala yang dilempar melambangkan tiga atribut
Allah (Rabb, Maalik dan Ilah) yang ingin dimiliki makhluk. Hayatilah
Surat Al Fatihah dan An Nass, pembuka dan penutup Al Quran. Keduanya
memuat kesepadanan ketiga atribut Allah diatas. Ingatlah, sesungguhnya
kita melempar kejahatan syetani yang ada di dalam diri kita. Jangan
sampai justru kita yang meragakan syetan, melempar dengan penuh nafsu.

Aku berdoa kepada Allah untuk memberikan keselamatan dan kemudahan saat
mengerjakan rangkaian ibadah ini. Aku berkonsentrasi menghayati kedua
surat diatas, banyak beristigfar, dan menunggu bimbingan. Kembali
"suara" itu terdengar menunjukkan jalan, belok kiri atau belok kanan.
Setelah menunaikan lemparan salah satu jumrah, kami menepi untuk berdoa,
bersyukur kepada Allah.

Tidak terlupakan saat "suara" itu menyuruhku berhenti padahal kulihat
ada jarak untuk masuk mendekati Jumrah Aqobah. Tiba-tiba aku merasa
mengerti maksudnya. Jarak itu berguna untuk menyelamatkan jemaah yang
berada di depan dari tekanan orang yang datang. Seorang jemaah yang
ingin keluar memelukku. Ia berterima kasih mendapatkan ruangan. Kemudian
kami dapat masuk mendekati jumrah. Melempar untuk diri sendiri dan
anggota jemaah yang berhalangan. Saking dekatnya dengan jumrah, terasa
beberapa kali kepalaku menerima lemparan batu kecil.

Arafah: Padang Kebijakan

Arafah puncak haji. Tidak sah haji tanpa kehadiran di Arafah. Meski
menemukan banyak pepohonan hijau, daerah itu sangat panas. Setelah
mendengar kutbah Arafah, kami keluar mencari tempat sendiri-sendiri
untuk merenung. Ada buku doa Arafah milik anggota jemaah yang kubaca.
Bagus sekali isinya. Sampai menangis. Lalu buku itu diedarkan untuk
dibaca jemaah lain. Istriku sangat tertarik dengan buku itu. Sepulang
haji, ia mengcopy beberapa eksemplar untuk dibagikan kepada jemaah calon
haji.

Setelah berdoa, aku tertarik memantau kondisi sekitar. Sebagaimana di
Mina, begitu banyak sampah di Arafah. Terutama bekas makanan dan minuman
yang melimpah di tempat itu. Banyak orang berderma membagikan makanan
kepada jemaah. Aku berdisplin tidak ingin membuang sampah sembarangan.
Bila ada kesempatan membersihkan sampah, aku berdoa ?Ya Allah,
sebagaimana hambaMu ini tidak ingin mengotori bumiMu yang suci, maka
sucikan pula hati hamba dari kemusyrikan dan kemunafikan?.

Doa Orang Tua Terkabul

Begitu banyak kenikmatan yang kami rasakan selama menunaikan ibadah
membuatku bertanya. Mengapa semua kemudahan itu aku rasakan? Pertanyaan
itu kuajukan setelah selesai sholat di lantai dua Masjidil Haram
menghadap ke Multazam. Terdengar kembali ?suara? itu menjawab: ?Itu
karena doa Ibumu...?

Sontak aku menangis terharu. Tidak mempedulikan tangis itu bakal
terdengar siapa saja. Berkali-kali aku memanggil ibuku. Untuk berterima
kasih. Allah menitipkan kasihNya kepada setiap orang tua, terutama Ibu,
agar kita mengenal cintaNya.

Aku teringat ?kebangkitan? spiritualku awal 1997. Hanyalah doa ibu yang
menyelamatkanku dari goncangan kejiwaan saat pertama kali aku mendengar
?suara-suara.? Saat semua orang tidak berdaya dengan masalahku, ibuku
datang. Kukatakan kepada beliau bahwa aku sedang mengalami ?sesuatu?.
Aku hanya minta didoakan keselamatan. Aku sangat menyakini doa Ibu
sangat mustajab. Tidak terhalang atau mampu dihalangi oleh syetan atau
iblis durjana sekalipun. Ibuku lalu mengajarkan sepasang doa. Doa
pertama dibaca oleh sang anak. Kemudian dibalas oleh orang tua. Doa itu
kami senantiasa ajarkan kepada anak-anak kami. Dan Ibuku benar. Setelah
didoakan keadaanku membaik. Kemudian ?suara? itu menjelaskan banyak hal,
termasuk kandungan surat Al Fatihah. Peristiwa itu kami abadikan sebagai
nama putri kami Dina Zahra Fatihah.

Dalam keharuan, aku menyampaikan kesaksian kepada Allah bahwa kedua
orang tuaku telah menunaikan amanah mereka mendidik anak-anaknya dengan
sebaik-baiknya. Aku mendoakan kebaikan untuk keduanya. Di sanalah, aku
berdoa kepada Allah semoga mudah menghapalkan ayat 23 dan 24 surat Al
Israa? untuk bacaan sholat: Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu
jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu
bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya
atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka
sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ?ah? dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan
yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh
kesayangan dan ucapkanlah: ?Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya,
sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil?.

Sobatku, bacalah dan hafalkan ayat itu dengan tartil. Nikmatilah alunan
Firman Allah itu. Resapi pesan moral yang dikandung. Ada awal untuk
menghadirkan dan menikmati Tuhan melalui kepandaian kita berterima kasih
menghargai pengorbanan orang tua. Sholat Di Atap Masjid dan Jemaah Mesir
Saat sholat Jumat kali kedua, aku terlambat datang sehingga sulit
mendapatkan tempat yang menyenangkan. Sholat Jumat sebelumnya, akupun
tidak memperoleh tempat datar, terpaksa harus berdiri di tangga.
Pengalaman pertama kali sholat Jumat yang tidak memungkinkan sujud.
Demikian padatnya keadaan Masjidil Haram saat sholat Jumat.

"Suara" itu terdengar menyarankan, "Mengapa engkau tidak mencoba sholat
di bagian atap Masjid?" Usulan tidak menarik. Sholat di lantai dekat
pintu Babus Salam saja panas, apalagi di atap. "Nggak ah, mana tahan.
Terik sekali!"

?Suara? itu kembali menjawab. Malah menantang. "Tidak! Akan
menyenangkan. Ayolah." Kuputuskan mengikuti saran'nya'. Akhirnya
terpilih tempat yang cukup strategis, tetapi tetap saja terpanggang
panas. Lalu kukenakan topi payung dan selendang untuk menahan panas.
Tidak berapa lama datang seorang jamaah, yang akhirnya kukenal berasal
dari Mesir. Ia membawa payung. Teduh bayangan payung jatuh tepat ke
arahku, melindungiku dari sengatan panas. Ingin sekali aku mengaji.
Tetapi suaraku serak. Sebab sedari selesai Subuh hingga Dhuha aku
membaca Al Quran di dalam Masjid.

Jemaah Mesir itu membaca Al Quran dengan dialek khas namun bacaannya
jelas. Tiba-tiba dia terbatuk. Dengan cepat, kutawarkan permen menthol.
"Good for your throat" bujukku. Dia menerimanya, tetapi
tidak memakannya. Ketika ingin membaca surah yang lain, aku memberanikan
diri 'memesan' surat Al Mulk untuk dia baca. Dan diapun
membaca dengan baik.

Ketika surat Al Mulk selesai, dia kembali batuk. Aku lalu tawarkan
Komix. Dia menerimanya. Dan aku kembali 'memesan' surah Ar Rahman. Dia
menyetujui, lalu membacanya dengan tartil.

Selesai membaca surat Ar Rahman, aku menawarkan dirinya untuk istrirahat
minum. Kutunjukkan botol mineral Dua Tang yang aku bawa dari Indonesia.
Aku peragakan bagaimana air tidak akan muncrat bila knopnya ditekan dan
air akan muncrat bila knop ditarik. Kuberikan kepadanya sebagai hadiah.
Dia senang sekali. Tetapi sekali lagi kembali "memesan" surah Al Waqiah.
Dia kembali dengan suka hati membacanya dengan baik.

Selesai dia mengaji, kami ngobrol sebentar. Dia nampak tidak banyak
mengerti bahasa Inggris. Ketika dia menyebutkan Egypt, aku menduga dia
berasal dari Mesir. Spontan aku berkata: "Oh?Firaun?Firaun." Dia hanya
tersenyum simpul membenarkan.

Meski pakai bahasa tarzan, suasana menyenangkan. Tidak terasa sengatan
terik matahari. Namanya Ahmad. Dia mendoakanku suatu hari dapat
mengunjungi negerinya Mesir. Sobat, jangan menyepelekan doa di Masjidil
Haram. InsyaAllah, suatu saat aku - malah kudoakan beserta anak mantuku
- berziarah ke Mesir.

Akhirnya saat sholat Jumat tiba. Ada keraguan panas akan menyengat meski
seorang yang badannya tinggi berada di depanku. Keraguanku tercampakkan,
saat semilir angin terasa sejuk membelai kulitku berulang-ulang. Ya
Allah, janjimu benar. Sholat di atap Masjidil Haram menyenangkan. Sejuk.
Dan aku dapat mendengarkan surah yang ingin kubaca pada hari Jumat lewat
perantaraan lisan seorang jemaah Mesir.

Minuman Hangat Sebelum Tahajjud

Aku menguatkan niat untuk Tahajjud di Masjidil Haram. Saat terbangun,
aku ingin lebih dulu menyenangkan diri dengan minuman hangat. Teh Susu
misalnya. Namun sayang sekali, pemanas air di penginapan kami belum
berfungsi. Air masih dingin untuk membuat seduhan. Aku mengharapkan
dalam situasi dini hari seperti ini masih ada penjual minuman. "Suara"
itu kembali terdengar, "InsyaAllah, engkau akan mendapatkan penjual
minuman teh susu hangat."

Aku melanjutkan langkah menelusuri pertokoan Pasar Seng yang masih sepi.
Kucoba memperlambat langkah sembari mengawasi jika ada penjual
minuman. Ternyata tidak ada hingga mendekati tangga atas Masjidil Haram.
Aku langsung kembali membathin. Tak apalah. Minum air Zam Zam saja
cukup.

Ketika hendak masuk pintu masjid, aku melihat seseorang melintas sambil
hati-hati memegang gelas yang nampak mengepul. Nah, pasti di sekitar
sini ada penjual minuman. Lalu kucoba mengikuti jalan yang agak mendaki.
Masya Allah, tidak jauh kulihat satu-satunya kedai yang masih buka.
Langsung ku hampiri membeli segelas teh-susu. Berhajilah Selagi Muda

Ketika kami selesai sholat di lantai dua menghadap Multazam, aku merasa
ada tangan seseorang yang menyentuh pundakku. Ketika aku menoleh,
kulihat seorang bapak yang cukup tua. Tersenyum. Namun tiba-
tiba dia menangis. Aku salah tingkah. Mau bertindak apa? Kudekati saja
sambil meletakkan tanganku di pundaknya. Seolah merangkul. Aku menunggu
hingga dia puas menangis. Masih dalam keadaan terisyak, bapak itu
berkata: ?Bapak terharu melihat kalian. Masih begitu muda, tetapi sudah
memenuhi panggilan Allah berhaji.?

Kami jadi turut terharu. Sembari berusaha keras menutup rapat
celah-celah kesombongan yang ditiupkan syaitan, aku menyarankan supaya
bapak itu untuk mendoakan semoga anak-anaknya dapat berangkat haji
selagi muda. Bapak itu mengangguk. Dia kemudian menceritakan asal dan
kondisi anak-anaknya. Ya Allah, mudahkanlah bagi anak keturunannya
menunaikan haji selagi muda.

Doa Untuk Pak Sabeni

Setelah merampungkan tawaf haji, kami menghubungi bapak mertua di
Jakarta. Ada kabar duka. Pak Sabeni, supir kami yang baik hatinya,
berpulang tiba-tiba. Kami memanjatkan doa untuknya. Aku membacakan Surat
Yasin khusus untuknya di Masjidil Haram. Semoga Allah mengabulkan doa
kami, mensejahterakan almarhum di alam barzahnya. Memberi kesabaran dan
keikhlasan kepada keluarga yang ditinggalkan. Istriku sangat terkejut.
Ia mengenang kebaikan almarhum yang akan menjaga anak-anak kami selama
kami menunaikan ibadah haji.

Penutup

Kami cukupkan penuturan pengalaman haji kami di sini. Penuturan ini
hanyalah sebagian ekspresi kesyukuran kami kepada Allah. Tidak
mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun dari siapapun. Kecuali dari
Allah. Semoga penuturan ini dapat menjadi pelajaran yang bermanfaat bagi
calon jemaah haji khususnya. Rawatlah kerinduan Anda berhaji dengan
menyakini haji adalah kewajiban. Niatkan pergi haji dengan menyisihkan
sejumlah uang tabungan pembuka. Semoga Allah menjadikan perjalanan haji
sebagai bagian penting untuk kematangan spiritual kita. Semoga Allah
berkenan menunjukkan sebagian tanda-tanda
keagunganNya saat Anda berhaji.

Note: Budi Hikmat dan Adelina Syarif


-- 
Wassalam,
Anaswir <[EMAIL PROTECTED]> 

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Ingin memasarkan produk anda di web RantauNet http://www.rantaunet.com 
Hubungi [EMAIL PROTECTED] atau [EMAIL PROTECTED]
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Isikan data keanggotaan anda di http://www.rantaunet.com/daftar.php
----------------------------------------------------
Berhenti menerima RantauNet Mailing List, silahkan ke: 
http://www.rantaunet.com/unsubscribe.php
========================================

Kirim email ke