Assalamualaikum w.w. Ananda Benni,

Nampaknya memang perlu disegerakan penelitian tentang
Minangkabau ini, supaya data yang kita gunakan sama.
Pernyataan Ananda bahwa "Kalau masyarakat di Kampuang
sendiri silaturahmi antar masyarakat masih sangat
bagus sekali terutama di lapau lapau, pengajian
ataupun buru babi" mungkin benar secara lahiriah di
atas permukaan, tapi -- seperti diungkap oleh
disertasi Prof Keebet von Benda-Beckman serta
penelitian Lusi Herlina dan Zaiyardam Zubir dkk,
melengkapi kritik Syehk Akhmad Khatib al
Minangkabauwi, Buya Hamka dll -- di bawah permukaan
nan tidak kasat mata, Minangkabau itu mengandung
banyak masalah. 

Kalau memang benar-benar tidak ada masalah, lantas
mengapa begitu riuh rendah kritik terhadap Minangkabau
selama 170 tahun belakangan ini ?

Tentang "Sindrom Arab" sesungguhnya pandangan kita
tidak berbeda banyak. Orang Minang pada dasarnya juga
bersikap seperti orang Arab, hidup dalam
kelompok-kelompok kecil tertutup, dan sangat sukar
untuk  menyatukannya, seperti Ananda akui sendiri.
Bahkan posisi orang Minang yang ibunya bukan Minang --
termasuk Dr Mohammad `Hatta ! -- sampai sekarang masih
dipersoalkan. Yang berbeda dengan orang Arab memang
hanya cara menyelesaikan konflik itu, sekarang, yang
lebih banyak diparambunkan saja. Bagaimana dahulu ?
Kan Perang Paderi 1803-1837 juga sangat berkuah darah
?  

Soal berbeda pendapat ? Itu mah wajar-wajar saja.
"Basilang kayu dalam tungku makonyo api akan iduik",
bak kato papatah kita. Kan susah kalau kito salalu
satuja-satuju sajo, kan? 

Wassalam,
Saafroedin Bahar

--- benni inayatullah <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

>   Bapak Saaf yang baik
>    
>   Betul sekali pak kita sepaham betul itu sekiranya
> kesadaran identitas keminangan itu perlu dirawat dan
> dijaga. Saya juga turut prihatin dengan etek bapak
> yang telah beralih pilihan agama. Namun bagi saya
> sendiri masalah religy dan cultural sesungguhnya
> membutuhkan pembahasan terpisah betapapun dalam adat
> Minang kalau sudah tidak Islam berarti sudah tidak
> Minang.
>    
>   Saya pikir mengenai pertanyaan Bapak lebih tepat
> kiranya ditujukan kepada suku Minang yang di rantau.
> Kalau masyarakat di Kampuang sendiri silaturahmi
> antar masyarakat masih sangat bagus sekali terutama
> di lapau lapau, pengajian ataupun buru babi. Dalam
> kehidupan sehari haripun aman aman saja belum ada
> saya mendengar terjadi pertikaian yang berdarah
> darah akibat kurangya silaturahmi kecuali di sumani
> tempo lalu. Apakah ini gejala yang berbeda di tiap
> nagari atau kan memang titik tolak yang berbeda.
> Kalau memang titik tolak yang berbeda itu sudah
> susah untuk bertemu..
>    
>   Mengenai sindrom arab lagi lagi kok pandangan kita
> beda..sepanjang pengetahuan saya arab dari dulu
> sifat wathoniyah, kebangsaan dan kesukuan mereka
> sangat kental. Sehingga amat sering terjadi
> pertikaian antar suku. Suatu hal yang rasanya tidak
> pernah kita temukan di Minang. Bahkan ketika ada
> perbedaan antara  Datuak katumanggungan dan datuak
> Prapatiah, suatu perbedaan yang fundamental sekali
> mereka bisa menyelesaikan dengan cara bijaksana dan
> elegan. Beda sekali dengan Arab yang penyelesaiannya
> gak jauh dari pedang dan panah. Jadi saya pikir
> kekhawatiran itu tidak akan terjadi di Minang..
>    
>   Saya pikir saat ini Minangkabau dalam masa
> transisi baik itu pemerintahan/birokrasi maupun pola
> adat dan budaya. Peralihan dari sistem orde baru dan
> mencoba kembali ke pola yang ada sebelumnya. Saya
> pikir ini adalah bagian dari dialektika. Ketika
> ternyata pola lama ini tidak berjalan sepetri yang
> diharapkan tentu akan muncul antitesa baru. Dan itu
> proses yang akan berjalan karena bagaimanapun kalau
> dilakukan  perubahan secara radikal oleh kelompok
> yang kecil maka resistensi masyarakat Minang itu
> akan besar sekali. Tapi ketika masyarakat sendiri
> sudah merasa butuh ada perubahan maka mereka tidak
> akan menjalan “defense mechanism” (istilah bapak
> saaf) yang antipati terhadap perubahan dari dalam
> maupun luar. Jadi sekali lagi ini masalah
> waktu..masyarakat saat ini sedang merasa tidak ada
> sesuatu yang dikhawatirkan karena mereka sedang
> dalam luapan kegembiraan akibat desentralisasi yang
> memberikan kewenangan untuk kembali kepola masa
> silam yang pernah membawa “kejayaan”.
>    
>   Pada intinya saya sepakat dengan ide perubahan
> yang bapak sampaikan karena perubahan suatu
> keharusan jika ingin bersaing dengan kemajuan jaman
> yg makin edan. Namun perubahan itu hendaknya dimulai
> dari kesadaran dari dalam masyarakat dulu baru
> kemudian di percepat dengan ide besar dan SDM dari
> rantau. Saat ini saya belum melihat kearah itu
> ..yang bisa kita lakukan saat ini menurut saya
> adalah penetrasi bidang ekonomi karena yang
> dibutuhkan masyarakat kita adalah ide dan
> kreativitas. Sumbar bukannya tidak punya uang tapi
> tidak memiliki ide dan kreativitas untuk
> menghasilkan uang. Saya pikir itu adalah ide yang
> paling mungkin untuk dibawa ketataran praktis
> ketimbang merubah pola adat dan budaya kita.
>    
>   Sekian dulu pak, mohon maaf
>    
>   Wassalam
>    
>   Ben
>    
>   
> 
> Saafroedin BAHAR <[EMAIL PROTECTED]> wrote: 
> Waalaikumsalam w.w. Ananda Benni,
> 
> Saya memang berharap demikianlah hendaknya. Namun
> agak
> sukar juga untuk mengabaikan gejala sebaliknya, yang
> demikian sering dirisaukan, baik dalam pembicaraan
> sehari-hari maupun dalam milis ini.
> 
> Satu hal adalah jelas, yaitu bahwa perasaan dan
> kesadaran keminangan itu perlu dirawat,
> dimutakhirkan,
> dirapikan, untuk kemudian didayagunakan untuk
> kepentingan bersama. Kita hidup bersama dengan
> suku-suku bangsa lain, yang juga mempunyai pengaruh
> dan daya tariknya sendiri, yang bisa mengalahkan
> daya
> tarik keminangan itu sendiri. Dengan kata lain, saya
> ingin mengajak kita untuk sadar, bahwa keminangan
> itu
> jangan sampai dianggap sebagai sesuatu yang 'given'
> yang dapat dianggap akan bertahan tanpa dirawat
> baik-baik. Keminangan itu bisa sirna !
> 
> Dalam hubungan ini, izinkan saya menginformasikan,
> bahwa dua adik Ayah saya sebapak, yang satu
> laki-laki
> bermukim di Amerika Serikat [sekarang sudah
> meninggal]
> dan seorang lagi perempuan, bermukim di Jakarta,
> telah
> masuk kristen, karena lingkungan pergaulannya dengan
> orang luar, dan sangat sedikit dengan urang Minang
> sendiri. Yang perempuan sekarang bahkan menajdi
> penginjil, dan tidak bosan-bosannya mencoba menarik
> saya, yang sudah barang tentu saya hadapi saja
> dengan
> senyum, karena bagaimanapun juga  beliau adalah etek
> saya. Dalam tahun 1968 dahulu, sebagai perwira Kodam
> III/17 Agustus `saya pernah mewawancarai seorang
> penginjil orang Lintau (!) dari Yayasan Maleachi,
> Bandung, tentang mengapa beliau sebagai orang Minang
> kok masuk kristen. Jawabnya sangat sederhana, yaitu
> karena sewaktu ia dalam keadaan sakit berat, tak
> seorangpun orang Minang yang datang menjenguknya.
> Hanya seorang pendeta Kristen yang bukan saja datang
> menghibur tetapi juga memberikan bantuan.
> 
> Jika demikian, ada `pertanyaan saya: apa memang tak
> perlu kita pererat hubungan silaturrahmi antar warga
> Minang sebagai suatu suku bangsa, tanpa
> mengaitkannya
> dengan suatu tujuan khusus dan berjangka pendek ?
> Atau, pertanyaan ini lebih nakal lagi: apakah kita
> merasa sebagai suatu suku bangsa, ataukah tidak, dan
> terkesan bersatu hanya karena kita sama-sama
> berbahasa
> Minang ? 
> 
> Sekedar catatan, saya menduga salah satu faktor
> mengapa orang Arab amat sukar disatukan adalah
> karena
> memang mereka bukan merupakan suatu komunitas.
> Mereka
> hanya kebetulan berbahasa`Arab yang sama. Saya
> khawatir kita orang Minang sudah lama terjangkit
> dengan apa yang bisa sebut sebagai 'sindrom Arab',
> yaitu kelihatannya bersatu, tetapi nyatanya tidak. 
> 
> Karena itulah saya selalu menghimbau, jangan puas
> diri, sudah lama kita orang  Minang bermasalah,
> hanya
> heran koq sulit amat mengajak para dunsanak untuk
> melihat kenyataan, karena lebih suka 'berdiang
> dengan
> kegemilangan masa lampau' yang entah ada entah tidak
> pula.
> 
> Wassalam,
> Saafroedin Bahar
> 
> --- benni inayatullah 
>  wrote:
> 
> >   Assalamualikum Pak Saaf..
> >    
> >   Memang betul apa yang Bapak sampaikan sejak
> tahun
> > 1958 itu memang gejala penyembunyian identitas
> > kultural sudah mulai marak tidak terlepas dari
> > pemberontakan PRRI yang bagi sebagian kalangan
> > dianggap pemberontakan setengah hati itu. Bapak
> > tentu paham sekali bagimana hancurnya segala aspek
> > kehidupan orang minang ketika itu mulai dari
> > infrastruktur dan yang paling parah mental yang
> > jatuh selain karena pemberontakan juga lebih
> > diakibatkan oleh tekanan dari Partai Komunis
> > Indonesia /PKI yang tiba tiba memiliki kekuasaan
> > lebih yang didapatkan dari pemerintah pusat yang
> > menerapkan doktrin “musuh lawan adalah kawan”.
> >    
> >   Jadi pada kasus ini saya menganggap lunturnya
> > kebanggan sebagai identitas disebabkan oleh
> tekanan
> > tekanan tersebut dan itu hanya terjadi dalam
> tataran
> > formal seperti nama anak yang berubah ke jawa
> jawaan
> > namun semangat kecintaan kepada ranah saya pikir
> > tidak berubah sama sekali buktinya seiring
> perubahan
> > waktu hingga saat ini identitas itu sudah kembali
> > muncul dan kita masih ingat betapa lagu pop minang
> > belasan tahun lalu yang dinyanyikan Elly Kasim dkk
> > sempat merajai lagu tanah air.
> >    
> >   Bapak Saaf saya memahami sekali kekecewaan Bapak
> > tentang semangat masyarakat Minang saat ini yang
> > selalu beromantika dengan keberhasilan masa
> lampau.
> 
=== message truncated ===



 
____________________________________________________________________________________
Now that's room service!  Choose from over 150,000 hotels
in 45,000 destinations on Yahoo! Travel to find your fit.
http://farechase.yahoo.com/promo-generic-14795097

--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
Berhenti (unsubscribe), kirim email ke: [EMAIL PROTECTED]

Konfigurasi dan Webmail Mailing List: http://groups.google.com/group/RantauNet
Daftar dulu di: https://www.google.com/accounts/NewAccount
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke