On 3/27/07, Saafroedin BAHAR <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Assalamualaikum w.w. Ananda Ahmad Ridha,
>

Wa'alaykumus salaam warahmatullahi wabarakaatuh, Pak Saaf

> Memperhatikan pandangan-pandangan Ananda yang sangat
> harfiah selama ini tentang agama Islam ....
>

Pak Saaf, saya bukanlah penganut madzhab Zhahiriyah namun suatu dalil
memang dipahami dari zhahirnya kecuali ada yang memalingkannya.
Sebagai contoh, dalam  ushul fiqh ada kaidah bahwa hukum asal larangan
adalah haram kecuali ada dalil yang memalingkannya mis. ke makruh.

Juga jika Bapak mencermati pandangan-pandangan yang saya bawakan, akan
jelas perbedaannya dengan madzhab Zhahiriyah.

Akan saya beri contoh yang termasuk paling jeleknya dalam madzhab
Zhahiriyah. Ada hadits yang melarang kencing ke air yang tidak
mengalir. Nah, sebagian orang Zhahiriyah berpendapat bahwa larangan
ini hanya jika seseorang kencing langsung ke air itu tapi kalau dia
kencing ke suatu wadah lalu dia tumpahkan dari wadah itu ke air itu
tidak apa-apa. Pendapat ini adalah keliru karena jelas bahwa melalui
banyak dalil diterangkan tentang pentingnya kebersihan, juga bahwa
kencing manusia adalah najis (kecuali bayi laki-laki yang belum makan)
dan besarnya ancaman melalaikan bekas najis. Dari situ dapat kita
pahami salah satu manfaat larangan itu adalah agar tidak mencemari air
tersebut.

Dari sini kiranya tidak perlu untuk melabeli saya harfiah, zhahiriyah,
tekstualis atau literalis. Mengenai tafsir dan asbabun nuzul, sangat
saya rekomendasikan Pak Saaf untuk merujuk ke tafisr yang sudah
dikenal kualitasnya seperti tafsir Ibnu Katsir; kini sudah ada
ringkasannya yang cukup mudah dibaca.

Kembali ke masalah waris, Allah 'Azza wa Jalla telah menetapkan
bagaimana harta warisan dibagi dan Allah adalah Yang Maha Adil serta
hukum-Nya adalah yang paling adil. Justru menjadi patokan bahwa yang
menyelisihi hukum-Nya adalah tidak adli.

Tidak semua hukum dapat kita pahami sebab atau hikmahnya namun bukan
berarti dapat kita "sesuaikan" menurut pendapat kita. Sebagai contoh,
mengapakah shalat shubuh 2 raka'at? Apakah boleh shalat Zhuhur dan
'Ashr diubah jadi dua raka'at lalu dipindah ke Maghrib dan 'Isya agar
tidak mengganggu jam kerja? Tentu tidak boleh.

> ... -- saya bisa mengerti mengapa Ananda merasa terkejut dengan sikap saya 
> yang tidak
> ingin mendiskriminasi anak perempuan dari anak laki-laki. Apalagi alasan 
> Ananda cukup
> kuat karena didasarkan pada ayat Al-Quran, kitab suci kita semua.
>

Berdasarkan hukum Islam, justru Bapak mendiskriminasi anak-anak Bapak
karena tidak adil dalam pembagian waris (jika nanti diterapkan
sepeninggal Bapak). BTW, jika setelah dibagi menurut hukum Islam lalu
anak laki-laki Bapak menghibahkan sebagiannya kepada saudara perempuan
karena dianggap mereka lebih membutuhkan maka tidak ada masalah.

Yang menjadi masalah di sini adalah pandangan bahwa hukum waris dalam
Islam itu tidak adil. Ini jugalah yang saya rasa menjadi inti masalah
dalam ABS SBK.

Keadilan antara laki-laki dan perempuan bukan berarti sama dalam
segala-galanya karena masing-masing memiliki tempat yang unik dan ada
aturan-aturan yang berbeda.

Sebagai contoh, kita ketahui hadits mengenai siapa yang paling berhak
diperlakukan dengan baik dan dijawab Rasulullah Shallallahu 'alayhi wa
Sallam "Ibumu" tiga kali dan baru dikatakan "Ayahmu". Apakah berarti
tidak adil?

Juga laki-laki wajib berjihad ke medan perang jika diperintahkan
penguasa sedangkan perempuan tidak. Laki-laki wajib memberi nafkah
keluarganya sedangkan perempuan tidak. Perempuan mengandung selama
sembilan bulan dan laki-laki tidak. Persaksian seorang laki-laki
setara persaksian dua orang perempuan. Perempuan mengalami haid dan
nifas dan tidak boleh shalat dan berpuasa selama haid dan nifas. Istri
harus meminta izin untuk berpuasa sunnah jika suaminya di rumah.

Jadi, Pak Saaf, lihatlah Islam sebagai suatu paket dan tidak hanya per
bagian. Kalau satu bagian kita lalaikan maka kita telah berbuat
zhalim.

Dalam hukum waris juga tidak sesederhana laki-laki dapat dua bagian
perempuan namun anak laki-laki memperoleh dua bagian anak perempuan.
Jika mayyit tidak punya anak, orang tua tidak dibedakan bagian ibu dan
ayah tapi kalau punya anak dibedakan. Itu semua telah ditetapkan Allah
Ta'ala.

> Bersamaan dengan itu, tolong Ananda jelaskan 'asbabun
> nuzul' dari ayat-ayat harta warisan tersebut dan
> bagaimana caranya mengakomodasi pemahaman kita
> sekarang ini tentang kesetaraan antara laki-laki dan
> perempuan.
>

Asbabun nuzulnya telah diterangkan Da Adhi dan cukup jelas. Masalah
konsep kedudukan laki-laki dan perempuan dalam Islam juga telah saya
singgung di atas.

> Apakah turunnya ayat-ayat warisan tersebut tidak merupakan refleksi dari 
> kondisi Tanah
> Arab pada saat itu ?
>

Tidak, karena hukum Islam adalah untuk manusia seluruhnya, bukan hanya
untuk orang Arab. Hukum Islam sangat berbeda dengan hukum lokal Arab
pada masa itu. Pandangan orang bahwa apa yang datang dari Allah dan
Rasul-Nya adalah praktik lokal Arab berarti dia tidak paham praktik
lokal Arab sebelum Islam dan hukum Islam. Allahul musta'aan.

BTW, shahabat dan ulama-ulama besar bukan cuma orang Arab secara suku.
Sebut saja Salman al-Farisi radhiyallahu 'anhu dari Persia, Abdullah
bin Salam dan Shafiyyah radhiyallahu 'anhuma dari Bani Israil, ayah
Abu Hanifah berasal dari Kabul, al-Bukhari yang digelari Amirul
Mu'minin fil Hadiits berasal dari Uzbekistan dan lainnya.

> Apakah ada ahli fiqh -- entah di mana -- yang juga terganggu hati nuraninya 
> terhadap
> diskriminasi ini dan berusaha menyusun tafsiran yang lebih menghormati 
> perempuan?
>

Para ulama yang jelas kualitasnya dan diakui dari masa ke masa
termasuk Rasulullah dan para shahabat beliau (yang merupakan ulama
paling utama) tidak mempermasalahkan itu dan saya yakin hati nurani
mereka adalah yang paling baik dan paling sesuai dengan kehendak Allah
dan Rasul-Nya.

Apakah ada yang tidak beres dengan hati nurani mereka semua karena
mereka tidak menganggapnya sebagai diskriminasi? Jelas hati nurani
mereka baik-baik saja. Maka saya katakan bahwa hati nurani yang baik
tidak akan keberatan dengan hukum yang datang dari Allah dan
Rasul-Nya. Hukum itu juga merupakan petunjuk yang ditinggikan di atas
hukum-hukum lainnya.

Allah Ta'ala berfirman (yang artinya):

"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan,
kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap
putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya."
(QS. an-Nisaa' 4:65)

"Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama
yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah
sebagai saksi." (QS. al-Fath 48:28)

"Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di
antara orang-orang muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida
kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang
mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar." (QS. at-Taubah 9:100)

> Sekali lagi, dalam pandangan saya posisi manusia sebagai 'khalifatullah fi'l 
> ardhi' jauh
> lebih tinggi dari sekedar masalah harta warisan. Saya tidak akan pernah 
> menzalimi anak
> perempuan saya yang adalah darah daging saya sendiri. Bahwa kaidah itu 
> tercantum
> langsung dalam Al Quran memang menjadi pikiran saya.
>

Manusia memiliki kedudukan yang tinggi selama memenuhi tugasnya untuk
tunduk kepada Allah Ta'ala, satu-satunya sesembahan yang berhak
disembah.

"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang
serendah-rendahnya (neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada
putus-putusnya." (QS. at-Tiin 95:4-6)

Sedangkan iman dikaitkan dengan keikhlasan dalam menerima hukum-hukum Allah.

Agar tidak menzhalimi anak perempuan Bapak, penuhilah hak-haknya
sesuai dengan digariskan Allah. Tidak hanya dalam masalah waris namun
juga secara menyeluruh dalam kehidupannya.

> Tentu pada taraf terakhir hal ini akan menjadi masalah iman kita 
> masing-masing, yang
> akan kita pertanggungjawabkan kelak di hadhirat Allah s.w.t. Kalau sekiranya
> pemahaman saya salah, Ananda tidak akan dimintai pertanggungjawaban, kan ?
>

Benar, Pak. Yang menjadi tanggung jawab saya adalah saling
mengingatkan kepada kebaikan dan kesabaran, amar ma'ruf nahyi munkar
sesuai kemampuan saya. Sebagaimana ketika sekelompok dari Bani Israil
mengingatkan kelompok yang melanggar aturan hari Sabtu dan dikatakan
oleh kelompok ketiga bahwa peringatan itu sia-sia maka kelompok yang
mengingatkan berkata:

"Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu,
dan supaya mereka bertakwa". (QS. al-A'raaf 7:164)

Terlebih ketika Bapak mempublikasikan pemahaman itu maka jika
pemahaman itu salah, Bapak akan dimintai pertanggungjawaban atas
orang-orang yang mengikuti Bapak.

Rasulullah Shallallahu 'alayhi wa Sallam bersabda (yang artinya):

"Barangsiapa yang memberi teladan (contoh) perbuatan yang baik, ia
akan mendapatkan pahala perbuatan tersebut serta pahala orang yang
mengikutinya (sampai hari Kiamat) tanpa mengurangi pahala mereka
sedikit pun. Barangsiapa yang memberikan contoh kejelekan, maka ia
akan mendapatkan dosa perbuatan tersebut serta dosa orang-orang yang
mengikutinya (sampai hari Kiamat) tanpa mengurangi dosa mereka sedikit
pun". (HR. Ahmad, Muslim dan lainnya.

> Namun pandangan Ananda dapat saya terima sebagai masukan. Saya masih ingin
> mendengar penjelasan dari para ahli fiqh lainnya yang lebih 'enlightened'.
>

Semoga ada manfaatnya dan juga saya ingatkan bagi diri saya dan kita
semua bahwa dari umat ini yang paling tercerahkan ("enlightened")
adalah yang tunduk kepada ketentuan dari Allah, yakni Rasulullah dan
para shahabat beliau.

"Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari
Tuhanmu, (Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah Kami turunkan
kepadamu cahaya yang terang benderang (Al Qur'an)." (QS. an-Nisaa'
4:174)

Juga perlu diingat sabda Rasulullah (yang artinya):

"Senantiasa ada dari umatku sekelompok orang yang menegakkan perintah
Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak merugikannya orang yang menghina dan
menyelisihi mereka sampai datang hari kiamat dan mereka berada dalam
keadaan demikian" (HR. Muslim)

Artinya tidak mungkin seluruh umat Islam menyepakati kesalahan
sehingga jika para shahabat tidak ada yang mempermasalahkan hukum
waris maka itulah kebenaran. Karena jika dikatakan hukum itu tidak
adil berarti pada masa itu mereka menyepakati kesalahan dan perintah
Allah tidak ditegakkan dan ini bertentangan dengan keterangan dari
Rasulullah.

Allahu Ta'ala a'lam.

Wassalaamu 'alaykum warahmatullahi wabarakaatuh,
-- 
Ahmad Ridha bin Zainal Arifin bin Muhammad Hamim
(l. 1400 H/1980 M)

--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
Kami mengundang sanak untuk hadir dalam acara: "Wartawan mengajak Berdoa 
Bersama untuk Keselamatan Negeri" pada tanggal 8 April 2007 jam 08:00 di Masjid 
Istiglal. Acara ini terpicu oleh musibah terbakarnya Ustano Pagaruyuang dan 
Gempa di Sumbar.

Berhenti (unsubscribe), kirim email ke: [EMAIL PROTECTED]

Konfigurasi dan Webmail Mailing List: http://groups.google.com/group/RantauNet
Daftar dulu di: https://www.google.com/accounts/NewAccount
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke