Judul    : Tiga Episode Bangkai
Pengarang: Zelfeni Wimra 
Penerbit : Jawa Pos
Tanggal  : 13 Mei 2007 
  
BATU BANGKAI ( Episode I )

Menjadi batu, sebuah pilihan paling damai. Biar setiap orang tahu, 
kemenakan Rajo Kiramaik tidak lagi senang menyendiri dan menangis. 
Penghuni istana pun tidak perlu lagi bergunjing tentang bangkai yang 
dirahasiakan salah seorang anak dara kerajaan. Ibunya, yang tahu 
perihal bangkai itu, setiap kali ia hendak bepergian secara sembunyi-
sembunyi dengan hulubalang, selalu mengingatkan bahwa apa yang 
dilakukannya itu berbahaya. Bila mamak Rajo tahu, ia pasti marah 
besar. Seorang anak dara kerajaan diam-diam bepergian dengan 
hulubalang merupakan aib besar bagi kerajaan. Rajo sudah berkali-
kali menegaskan bahwa kemenakannya tidak boleh bergaul dengan 
sembarang orang. Kemenakannya hanya boleh berkawan dengan orang-
orang yang setara dengannya. Keluar dari anjungan pun hanya untuk 
keperluan penting. Untuk itulah, ia selalu didandani, dihiasi dengan 
tak kondai atau pasak guyang. Agar ia berbeda dari padusi lain. 
Impian mamak, kerajaan ini kelak akan menerima lamaran Rajo Mudo. 
Mamak kukuh dengan sikap yang satu ini. Apalagi setelah Bujang 
Salamaik datang membawa sebuah paham yang salah satu ajarannya 
mengatur bagaimana sebuah keluarga menjaga marwah. Menikahkan anak-
kemenakan harus dengan yang sekufu, sebanding.

Dalam sejumlah pertemuan keluarga kerajaan, ingin ia sampaikan, 
betapa ia tersiksa melakoni status padusi terakhir di kerajaan 
matrilinial ini. Padusi-padusi sebelumnya telah menikah dan 
pernikahan-pernikahan itu dipandang tidak bermartabat oleh sang 
mamak. Itulah sebab, mengapa ia dipingit. Keluar anjungan harus 
seizin mamak. Bila ada tamu kerajaan ia harus tampil mendampingi 
mamak dengan dandanan yang dipaksakan. Pun, bila mamak berkunjung ke 
kerajaan lain, ia akan dibawa ikut. Mamak sudah menerangkan maksud 
semua itu. Mamak ingin urang sumando-nya juga berasal dari keturunan 
bermartabat seperti dirinya. Kemenakan kemenakannya yang lain 
terlalu longgar memilih laki, karena terlalu cemas akan menjadi 
rando seumur hidup.

Tapi, sebelum ia memilih jadi batu, ibu yang selalu disalaminya 
setiap kali hendak bepergian dengan hulubalang adalah orang pertama 
yang tahu. Ketika suatu kali, tepat ketika mamak memerintahkan bala 
tentaranya berperang melawan serangan kerajaan dari tanah Jao, ia 
melihat tidak ada lagi senyum di wajah ibunya.

"Kenapa, Bunda murung? Apa karena hari ini hari perpisahan dengan 
Ayah? Bukankah Bunda juga yang bilang kalau di hari perpisahan tidak 
boleh bersedih. Para lelaki yang akan berangkat perang harus dilepas 
dengan senyuman. Dengan peluk dan ciuman," lirihnya. Tapi sang ibu 
tetap murung. Perlahan ia dekatkan tangannya ke perut sang anak yang 
mulai membuncit.

"Kau akan jadi batu, Nak."

"Bunda mengutuk aku?"

"Bukan. Itu bukan kutukan. Itu hukuman."

"Berangkatlah sendiri ke pengasingan. Ibu tidak diizinkan mengantar."

"Baik, Bunda."

"Inilah yang bunda cemaskan, Nak. Bukan perpisahan. Bagaimana 
jadinya nanti bila mamak dan abahmu mengetahuinya. Kita semua malu. 
Kau akan terbuang dan jadi batu," gagau ibunya di hari 
kerangkatannya menuju pengasingan.

"Hulubalang itu juga ikut berperang," isak ibunya, "Kalau ia tidak 
kembali, siapa yang akan bertanggung jawab..." "Jangan cemas, Bunda. 
Aku ikhlas jadi batu..."

Petang hari ia berangkat. Sendiri. Ia menuju ranah Bulantiak, tanah 
pengasingan orang-orang yang senasib dengannya. Dalam perjalanan itu 
ia mesti melewati Pasie Talang yang lengang, di mana segerombolan 
penyamun biasa mengintai mangsa. Begitu pula di sekitar daerah 
Bendang, Kutianyie, Lundang, Batang Laweh, Rawang, dan Koto Baru, 
sangat terkenal dengan keganasan para perampok. Orang yang melewati 
tempat-tempat itu jarang yang selamat. Kalau pun selamat, pasti 
sudah dianiaya, dirampok. Kalau perempuan diperkosa.

Tapi ia beruntung. Satu hari perjalanan tidak seorang penyamun pun 
yang menghadang. Bahkan sampai menyeberangi Batang Bangko dan 
mendaki bukit kecil, ia tidak menemui rintangan apa-apa, kecuali 
letih dan beragam siksa di pikiran.

Perjalanannya tidak jauh lagi. Tinggal menuruni bukit kecil itu. 
Sejenak ia ingin beristirahat. Di atas sebuah gundukan tanah ia 
merenungi takdirnya sebagai orang buangan. Dengan berpanduang daun 
puau, ia tertidur. Saat itulah, di luar kuasanya, tubuh buncitnya 
perlahan mengeras jadi batu.



LUMPUR BANGKAI ( Episode 2 )

Di tanah yang sama, dari ranah Pulakek seorang andeh miskin 
mendandani anak gadisnya. Mereka berencana pergi ke rumah Anduang 
Gadih Ajo, kemenakan Datuak Rajo Biaro, suku Melayu, di Kapau, untuk 
meminjam 15 sukat padi.

Sepanjang perjalanan mereka membincang siasat bagaimana menarik hati 
Anduang Gadih Ajo sehingga bersedia meminjamkan padi.

Andeh itu meminta anaknya berlaku sebagaimana layaknya seorang yang 
terpandang. Hanya karena musim panen padi belum datang, mereka 
terpaksa meminjam padi. Itulah kesan yang harus muncul.

Setibanya di rumah Anduang Gadih Ajo, mereka disilakan masuk dan 
disuguhi makan siang dan minum secukupnya. Anduang Gadih Ajo 
menyilakan andeh makan di dulang dan anak makan di talam. Tapi sang 
anak tiba-tiba menolak.

"Orang tua ini tidak usah makan di dulang. Ia makan di sayak saja. 
Ia kan cuma hamba sahaya saya...," ucap anak gadis itu. Pongah.

Andeh tersentak, seketika selera makannya hilang. Ia tercekik. 
Antara percaya dan tidak pada apa yang baru saja didengarnya. Tapi, 
rencana sudah dirancang. Andeh menduga baik, itu hanyalah sandiwara 
anaknya saja.

Selesai makan, Anduang Gadih Ajo menanyakan maksud kedatangan 
mereka. Dan sang anak buru-buru menjawab, bahwa kedatangannya untuk 
meminjam 15 sukat padi menjelang sawahnya panen. Melihat dandanan 
dan cara bicara anak gadis itu, Anduang Gadih Ajo merasa yakin 
meminjamkan padi sebanyak 15 sukat. Bahkan Anduang Gadih Ajo 
menghadiahi mereka seeokor ayam hitam sebagai ungkapan persaudaraan.

Padi 15 sukat itu ditakar dan diserahkan. Andeh langsung memikulnya. 
Sedang sang anak menggendong ayam hitam dan sebatang tibarau sengaja 
dipotong untuk dijadikan tongkat di perjalanan pulang. Di depan 
Anduang Gadih Ajo, ia perintahkan andeh-nya berjalan duluan dan ia 
mengiringi dengan gontai di belakang.

Dalam perjalanan mereka saling diam. Andeh merasa dikhianati anak 
sendiri. Anak merasa bangga dan puas dengan posisinya sebagai 
seorang yang berkuasa. Sampai ketika terdengar pekikan minta tolong.

"Andeh, tasibuluih den, Nde!" sang anak terinjak jejak kerbau dan 
kakinya diisap bancah, lumpur hidup di tengah sawah. "Andeh, tolong, 
Nde! Aku diisap! Semakin dalam saja, Nde!" Ayam di gendongannya 
terbang. Tibarau yang dijadikan tongkat itu pun terlempar ke samping 
dan tak terjangkau lagi olehnya. Tapi, andeh terus berjalan, tanpa 
menoleh selayang pun. Dengan napas sesak ia merungut-rungut: "Aku 
bukan andeh-mu. Aku hamba sahayamu!"

Seminggu kemudian, di jorong Ujuang Jalan, Nagari Alam Pauah Duo, 
Alam Surambi Sungai Pagu, orang-orang gempar. Di terusan mata air, 
tempat mereka biasa mengambil air minum, ditemukan sesosok mayat 
yang sudah mengelupas kulitnya seperti bangkai babi yang gembung di 
dalam lumpur.

BUNGA BANGKAI  ( Epsode 3 )

Di masa yang lain, dari sebuah pondok kebun lobak, seorang ibu 
bergegas ke jalan raya menyongsong adik suaminya. Sekali sebulan 
adik suaminya yang bekerja di kantor kabupaten itu selalu 
mengunjunginya membawa kabar terbaru tentang anak gadisnya yang kini 
kuliah di Ibu Kota Negara. Anaknya itu dibiayai oleh sebuah yayasan 
atas prestasinya menciptakan zat pewarna pakaian dari cairan buah 
pinang yang difregmentasikan. Prestasi itu sudah dicapainya semasa 
masih duduk di bangku SMKN. Luar biasa.

Pihak yayasan tertarik pada prestasinya dan mengundang anak itu 
mengikuti program teknik industri di sebuah perguruuan tinggi 
kenamaan di ibu kota. Tawaran itu terkait erat dengan kerja sama 
pemerintah dengan negara pengekspor tekstil terbesar di dunia. Cara 
mengolah zat pewarna pakaian yang diciptakan sang anak menjadi 
sebuah prestasi yang harus diperhatikan.

Untuk urusan belanja-membelanjai, pihak yayasan semula berjanji akan 
menanggung semuanya, mulai dari pendaftaran sampai wisuda. Akan 
tetapi, setelah satu semester berjalan, kesepakatan berubah. Bukan 
disengaja sebenarnya. Tersebar kabar, yayasan yang menanggung 
pembiayaan kuliah anak itu tercatat sebagai salah satu yayasan milik 
seorang koruptor yang sedang diadili kasusnya.

Pihak yayasan minta maaf. Sebagai ungkapan bersalah ia memberi dana 
tunjangan sebesar lima juta rupiah. Tetapi, kurs mata uang yang 
terus terseok, angka lima juta tidak mampu berbuat banyak.

Pada semester ketiga sang anak terpaksa mengadu pada ayah ibunya. Ia 
masih ingin terus kuliah. Amat disayangkan jika harus berhenti di 
tengah jalan. Tapi, bagaimana caranya?

Ayahnya mengadu pada adiknya yang kebetulan telah lama bekerja di 
kantor bupati. Maka, didapat kesepakatan: kuliah sang anak harus 
diteruskan dengan cara swadana antarkeluarga.

Sang paman berperan sebagai donatur tetap, pengganti pimpinan 
yayasan yang membelot dari janjinya itu.

Sang anak gembira dan bangga pada sang paman yang begitu perhatian 
kepadanya. Andai saja paman tidak ada, bagaimana nasibnya?

Bahkan, dalam kesempatan tertentu, sang paman berkenan menjenguknya 
ke ibu kota. Jadi, kekecewaaan terhadap yayasan itu tidak begitu 
terasa olehnya.

Bantuan semakin ia rasakan ketika paman naik pangkat. Ia kini 
menjadi kepala di bidang pembangunan kakabupaten. Jam terbang paman 
meninggi. Paman lebih sering keluar kota mengurus pekerjaaan.

Sejak itu pula ia sering dikunjungi paman. Kalau ke ibu kota, paman 
sering mampir. Atas kondisi itulah, paman beriniasiatif mengontrak 
sebuah apartemen untuk kemenakannya yang berprestasi itu. Jika paman 
kemalaman di ibu kota, ia bisa menginap di apartemen tersebut. Tak 
perlu lagi ke hotel. Hotel di ibu kota kan mahal.

Entah kapan mulainya, apartemen itu menjadi awal cerita yang 
mendebarkan bagi sang paman. Malam itu ia ada urusan di ibu kota. 
Paman kemalaman. Saat istirahat tiba, paman bermaksud akan istirahat 
di apartemen kemenakan. Kemenakan pun ditelepon. Sejak kemenakan 
membukakan pintu dan mempersilakan paman masuk, paman merasa ada 
yang ganjil. Ia seolah mencium aroma bunga di ruangan itu. Paman 
disuguhi minum oleh kemenakan yang hanya memakai gaun tidur. Aroma 
bunga itu kian menyeruak.

Paman mengajak bercerita. Bertanya-tanya tentang perkuliahan 
kemenakan. Cepatlah tamat, kemenakan. Selama paman masih bekerja di 
kantor bupati, kemenakan tidak usah pening seperti sarjana-sarjana 
kebanyakan. Untuk kemenakan sudah dipersiapkan jabatan ringan. 
Setidaknya jadi pegawai honorer atau pegawai tidak tetap. Setelah 
kemenakan punya Surat Keterangn Wiyata Bakti, Nomor Induk Pegawai 
mudah didapat. Yakinlah.

Kemenakan tersipu. Ia makin kagum pada pamannya. Dengan apa akan 
dibalas jasa paman yang baik ini? pikirnya.

Di tengah percakapan itu, penciuman paman kembali disergap aroma 
bunga yang ganjil. Ia tatap kemenakannya lekat-lekat. Paman ingin 
bertanya tentang aroma bunga itu. Saling tatap pun terjadi. 
Kemenakan sedikit kikuk. Tatapan paman membuatnya merasa ada yang 
tidak beres di tali gaun tidur yang diikatkan di bawah dadanya.

Dugaannya benar. Ujung talinya disentuh paman dan bertanya: kamu 
beli di mana? Kurang modis. Nanti kalau perlu gaun baru, bilang sama 
paman dong.

Tali gaun tidur yang tidak beres dan kurang modis itu tidak hanya 
sekadar disentuh paman tapi ditariknya. Aroma bunga yang ganjil tadi 
makin menyeruak ke benak paman.

Jangan Paman. Bunga ini belum mekar. Belum saatnya dipetik.

Paman tersenyum, di bola matanya bunga-bunga itu seperti beterbangan.

"Paman..."

Tali gaun tidurnya jatuh.

Paman pun jatuh.

Bunga itu luluh.

Si kemenakan terpuruk. Ia kini sering menyendiri. Murung. 
Kemurungannya mengundang perhatian seorang lelaki muda, teman 
sekelasnya. Ia dapat teman bercerita. Teman sekelas itu orangnya 
baik. Mau menjadi tempat ia berbagi segala keluh-kesah yang akhir-
akhir ini terus menderanya.

Paman yang selama ini ia banggakan telah meluluhkan bunganya. Karena 
biaya kuliahnya paman yang mengurus, ia tidak bisa berbuat banyak. 
Yang lebih membebaninya kini, sang paman diperiksa KPK dengan 
tuduhan menyelewengkan dana APBD. Biaya kuliahnya pun mulai 
tersendat.

Teman sekelasnya bersimpati. Ia bersedia membantu kecil-kecilan. Ia 
kasihan pada bunga yang harus luluh sebelum mekar itu.

Paman selamat dari pemeriksaan KPK dengan mengembalikan dana yang 
nyaris diselewengkan itu. Tapi paman tidak bisa lagi berkunjung 
dengan leluasa ke apartemen kemenakan. Teman sekelas kemenakan 
memaklumi keadaan ini. Ia pun dengan rileks bisa menggilai bunga 
kemenakan di apartemen yang dikontrakkan paman.

Sementara paman hanya bisa bantubantu menstransfer uang belanja 
untuk kemenakan. Dan uang itu bukan lagi jaminan paman sepenuhnya. 
Beberapa sanak famili patungan. Untuk menutupi kekurangan, ayah 
ibunya terpaksa ngutang kiri ngutang kanan.

Seperti petang hari itu, sepulang kerja, paman sengaja singgah ke 
pondok kebun lobak milik ayah ibu kemenakan, menyampaikan isi SMS 
kemenakan.

Kemenakan kini sudah semester delapan. Sudah hampir wisuda. Untuk 
mengakhiri kuliah, kemenakan perlu dana yang lumayan besar. Setelah 
dihitung-hitung, kemenakan butuh dana sekitar 16 jutaan. Semua 
mencakup sewa apartemen, jajan sebulan, uang semester, dan dana 
membuat skripsi. Biaya wisuda dihitung kemudian. Menurut kemenakan, 
dana itu kalau dapat besok sudah dikirim.

Ayah kemenakan terhenyak. Ke mana uang sebanyak itu dicari? Keadaan 
sudah tidak seperti dulu lagi. Kepada istri, ayah kemenakan 
membisikkan sesuatu. Setelah dibisiki suami, ibu kemenakan tampak 
bergegas keluar pondok menuju pondok kebun tetangga. Begitu cekatan. 
Ketika maghrib menghampiri pondok itu, ia baru kembali, dengan wajah 
cemas dan bahagia. Alhamdulillah, ada yang mau meminjamkan perhiasan 
untuk dijual. Berarti besok uang yang diperlukan anaknya bisa 
dikirim.

***

Di depan ATM, seorang gadis menelan tangisnya.

"Aku anak yang pekak, Bu. Terpaksa. Restuilah aku untuk tidak peduli 
pada sakitmu. Sementara saja!" Saat meronggoh kartu ATM dari tasnya, 
astaga, tas itu jatuh. Isinya: handphone, aneka botol dan kotak 
kosmetik, pelentik bulu mata, tisu, dan sisa kondom yang dipakai 
teman sekelasnya semalam berserakan di lantai. Buru-buru ia kemasi. 
Tapi, ia sungguh kaget, setelah mengikuti tombol-tombol transaksi, 
di monitor ATM tertulis: Silakan tunggu. Bangkai bunga Anda sedang 
diproses. ***

Padang, Juni 2006

KETERANGAN

Tak kondai/pasak guyang: mahkota, tusuk konde
Padusi: perempuan
Urang sumando: semenda, suami kerabat perempuan
Rando: putik nangka yang tidak jadi buah
Panduang: payung, tempat berteduh yang terbuat dari daun kayu
Andeh: ibu
Dulang/talam: piring besar
Tibarau: sejenis tebu
Tasibuluih den, Nde: aku terbenam, Ibu
Bancah: lumpur hidup





--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
Berhenti (unsubscribe), kirim email ke: [EMAIL PROTECTED]

Konfigurasi dan Webmail Mailing List: http://groups.google.com/group/RantauNet
Tapi harus mendaftar dulu di: https://www.google.com/accounts/NewAccount dengan 
email yang terdaftar di mailing list ini.
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke