Assalamualaikum w.w Ananda Dt Endang, 1. Kalau kita baca baik-baik dua dokumen pokok yang melahirkan konsep hak asasi manusia kontemporer -- baik Piagam PBB maupun Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia/DUHAM -- jelas sekali tercantum bahwa latar belakang lahirnya kedua dokumen tersebut adalah tekad untuk membangun suatu masa depan yang lebih baik bagi seluruh umat manusia dan untuk mencegah berulangnya kembali kekejaman dua kali perang dunia. Rasanya dua tujuan ini bisa diterima semua umat manusia, apapun ras dan etnik, agama, aliran filfasat, atau pandangan politiknya. Dan di situlah terletak kekuatan seluruh wacana tentang hak asasi manusia ini.
2. Seluruh instrumen hukum internasional hak asasi manusia itu dibangun bersama oleh seluruh negara-negara di dunia, sehingga bisa dikatakan bahwa tidak ada suatu isme tertentu yang melatar belakanginya, juga tidak oleh apa yang berulang-ulang Ananda sebut "imprealisme" [ ini lazimnya ditulis 'imperialisme', kalau saya tidak salah]. 3. Tidak ada paksaan untuk meratifikasi dan atau untuk mengaksesi instrumen-instrumen hukum internasional hak asasi manusia itu. Negara-negara yang akan mengaksesi atau meratifikasi instrumen-instrumen tersebut berhak mengadakan pengecualian [='reservations'] terhadap pasal-pasal yang dirasanya tidak cocok dengan pendiriannya. Republik Indonesia misalnya mengadakan 'reservation' terhadap Pasal 1 IC CPR dan IC ESCR. 4. Karena instrumen-instrumen tersebut merupakan 'common standards of achievements' maka realisasinya tak begitu saja terwujud dalam kenyataan. Masih memerlukan pergulatan panjang, Ananda. [ Sekadar untuk memperbandingkan, dan sama sekali bukan untuk menyamakan, bahkan Wahyu Ilahi yang tercantum dalam Kitab Suci Alquranulkarim juga memerlukan perjuangan panjang Muhammad s.a.w untuk melaksanakannya. Kalau kita lihat dan kita baca keadaan di Saudi Arabia sekarang, yang setelah 15 abad juga belum seluruhnya sesuai dengan Wahyu Ilahi, tentu keadaan itu tidak bisa kita persalahkan pada`Wahyu Ilahi itu sendiri atau pada 'asbabun nuzul' turunnya ayat-ayat itu. ] 5. Saya setuju penuh dengan keinginan Ananda agar kita juga merumuskan konsep-konsep hak asasi manusia kita sendiri. Itulah yang saya dorong dengan tidak mengenal lelah selama ini, termasuk dengan menganjurkan agar Ananda bersedia meluangkan waktu di tengah-tengah kesibukan Ananda untuk ikut membantu merumuskan Kompilasi Hukum ABS SBK yang lebih lugas. Hukum ABS SBK bisa dikembangkan sebagai konsep hak asasi manusia dan identitas kultural suku bangsa Minangkabau yang dilindungi oleh instrumen hukum internasional dan hukum nasional hak asasi manusia. Dalam hubungan ini tentu sampai batas`tertentu perlu diperhatikan keselarasannya dengan konsep-konsep dasar yang dianut manusia secara umum. 6. Mohon klarifikasi apa yang Ananda maksud dengan 'bangsa Minangkabau' ? Sejak kapan kita menjadi 'bangsa' ? 7. Fenomena 'Malin Kundang' yang Ananda sebut rasanya bisa mempunyai dua arti. Arti pertama seperti yang Ananda kutip, arti kedua justru menunjukkan betapa konservatifnya para dunsanak kita orang Minang di Ranah. Mungkin itu yang menyebabkan sejarawan kondang kita, Prof Dr Taufik Abdullah, menyimpulkan bahwa seluruh pembaruan di Minangkabau selalu berasal dari Rantau. Jika dipikir-pikir, barisan 'Malin Kundang' ini mungkin diawali oleh tiga haji yang mengawali Gerakan Paderi, 1803-1837, disusul oleh Syekh Akhmad `Khatib al Minangkabauwi, dilanjutkan oleh generasi Mahmud Yunus, Buya Hamka, dan Mohammad Natsir. [Mereka ini malah sekarang disebut sebagai pembaharu Islam di Minangkabau]. Ada suatu hal yang menarik perhatian saya tentang wawasan 'Malin Kundang' yang secara tersirat berisi hujatan terhadap para perantau. Dari segi psikologi dan sosiologi akan sungguh aneh jika ada orang Minang dirantau yang sama sekali tidak terpengaruh oleh lingkungan Rantau. Itu bisa berarti bahwa dalam hidupnya di Rantau yang bersangkutan menutup diri sama sekali di 'ghetto-ghetto Minang', dan menjadi seorang yang a-sosial, dan tidak melaksanakan ajaran budaya Minang tentang 'alam takambang jadi guru', dima bumi dipijak disinan langik dijunjung'. Saya kok tidak pernah melihat gejala itu. Jika ada 'Kampung Ambon' atau 'Kampung Jawa' saya belum pernah mendengar ada 'Kampung Minang'. Mungkin ada sanak sapalanta yang mengetahuinya? 8. Sejak tahun 1966 memang upaya untuk " menggali akar budaya kita sendiri bila itu untuk memantapkan jatidiri kita sebagai orang Minang " itulah yang menjadi obsesi saya Ananda. Rasanya itu pulalah yang kita maksud dengan ABS SBK, yang anehnya entah karena apa sungguh sulit bukan hanya untuk menindaklanjutinya, tetapi juga bahkan sekedar untuk merumuskannya secara lebih jernih. Dari fihak mana terdapat resistensi yang paling kuat terhadap upaya untuk menggali dan merumuskan ABS~SBK sebagai 'akar budaya kita sendiri' itu sudah sama-sama kita ketahui, dan bisa ditelusuri dari berbagai macam sumber, baik yang tertulis maupun yang tidak tidak tertulis. Wassalam, Saafroedin Bahar --- Datuk Endang <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > Yth Pak Saaf, > > Saya bisa memahami "niat baik" yang ditawari > deklarasi global tersebut, walau masih > mempertanyakan asal-usul perumusan nilai, seperti > misalnya apakah sekedar sikap antiklimaks dari > kebuasan imprealisme, penonjolan politik etis untuk > kamuflase sikap terhadap new emerging countries-kah, > suatu bentuk baru dari imprealisme-kah, dan lain > sebagainya; sehingga sampai pada pertanyaan : > berasal dari akar falsafah kemasyarakatan apa > nilai-nilai itu dirumuskan. Kemudian kenyataan yang > telah berlangsung hingga hampir 60 tahun, apakah > telah terbangun persamaan hak, ataukah malah > menimbulkan tiran baru yang berdiri atas nama > moralitas dan hak asasi manusia. Apakah memang tidak > ada setiap sudut perkampungan di dunia ini kelompok > masyarakatnya tidak bisa dan tidak berkemampuan > merumuskan falsafahnya sendiri mengenai hak-hak > dasar manusia itu, sehingga harus meresepsi dan > meratifikasi sistem nilai global tersebut yang > seakan-akan benar secara universal. Belum lagi bila > sistem ini harus diperbandingkan dengan nilai-nilai kemanusiaan dalam kitab suci. > > Bila khazanah kebudayaan kita sendiri memiliki > potensi untuk diungkapkan nilai kemanusiaan dan > nilai kemasyarakatannya, kenapa hal ini tidak kita > lakukan secara mandiri? Pada kenyataannya > orang-orang Barat sendiri melakukan hal itu, di > Eropah Barat dan Amerika Serikat mereka menonjolkan > sistem HAM yang mereka bangun dari kultur mereka > sendiri. Umpatan fascist akan sering bapak dengar di > perkampungan non-pri atau migrant; sehingga > kenyataannya HAM universal itu secara de facto tidak > berlaku di negara-negara tersebut. Namun anehnya > mereka memaksakan sistem nilai itu ke negara-negara > berkembang atau negara-negara pesaing mereka dengan > berbagai cara. > > Beruntung India memiliki Gandhi yang memiliki > karakter yang sangat kuat, menanamkan ahimsa dsb > sebagai karakter bangsa, sehingga tidak terlalu > terpengaruh dengan HAM universal tersebut. Di > Indonesia, bangsa Minangkabau dan Aceh menurut > pendapat Belanda sendiri adalah bangsa-bangsa yang > memiliki karakter kemanusiaan dan kemasyarakatan > yang sangat kuat. Kalau boleh saya berpendapat, > bangsa Minangkabau justru memiliki karakter yang > paling kuat dari seluruh suku bangsa di Indonesia > ini. Begitu kuatnya sehingga mereka berani > menampilkan identitas diri di sekitar istana negara, > Papua, wilayah perbatasan, hingga sampai ke Belanda > sendiri. Saya sudah pernah bercerita tentang hal > itu. > > Kalau boleh saya meneruskan cerita, tentang guru > saya bernama Kisdaryono almarhum. Beliau bergelar Ir > in electrical engineering, MSc in electrical > engineering, MEd in education, MScSoc in social > science, PhD in sociology, sekedar menunjukkan > kredibilitas akademis beliau, dan beliau termasuk > pengagum "Sociology Reinterpreted"-nya Peter L > Berger. Dalam salah satu kuliah beliau menjelaskan > tentang "fenomena Malin Kundang", yaitu fenomena > seseorang yang pergi lama merantau. Di rantau pola > pikirnya berubah karena tata nilai yang berbeda. > Ketika kembali ke kampung, dia mendapatkan kondisi > yang tidak sesuai dengan harapannya, sehingga mulai > mengingkari berbagai hal. > > Fenomena seperti ini adalah khas untuk > Minangkabau, saya tidak menemukan di daerah lain. > Paling hanya bertemu dengan Sampuraga di Tapanuli > Selatan. Kalau di Sunda kita mengenal kisah incest > Sangkuriang, di Melayu kisah pungguk merindukan > bulan, di Jawa kisah selendang bidadari Jaka Tarub, > dsb. Ternyata bukan hanya legenda orang Pantai Aia > Manih Padang saja, juga dapat ditemukan hampir di > seluruh nagari di Minangkabau. Di Sulit Air saja > sudah ada 2 prasasti tentang hal itu, satu Batu > Tagantuang di Taram dan dua Batu Taonggok di lereng > Gunung Merah Putih. > > Karena itu saya menghargai upaya bapak untuk > menggali akar budaya kita sendiri bila itu untuk > memantapkan jatidiri kita sebagai orang Minang. > Wassalam. > > > "Dr.Saafroedin BAHAR" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > Assalamualaikum w.w. Ananda Dt Endang, > > Karena kita sudah beralih topik, maka judul > 'Perempuan > Minang' tersebut di atas sebaiknya kita ganti jadi > 'Hak Asasi Manusia'. > > Saya bergembira Ananda berminat terhadap hak asasi > manusia ini dan merasa mendapat kehormatan dengan > permintaan Ananda untuk menerangkannya. Kebetulan > saya > menggeluti bidang ini selama 12 tahun di Komnas HAM, > dan akan lengser akhir Agustus 2007 mendatang. > > Pada tahun 2002 dahulu terdorong oleh kebutuhan > untuk > mempunyai gambaran yang agak komprehensif tentang > hak > asasi manusia dan yang sesuai dengan kebutuhan > Indonesia, saya menulis dan -- dengan bantuan rekan > saya Drs Bambang W Soeharto -- menerbitkan sebuah > buku > lengkap mengenai tema ini, dengan judul: "Konteks > Kenegaraan Hak Asasi Manusia", 781 halaman pokok, > dan > xli halaman tambahan. Kata Pengantar oleh Prof > Miriam > Budiardjo. Penerbit Sinar Harapan, Jakarta. > Sekiranya > Ananda benar-benar berminat, dengan senang hati akan > saya kirimkan satu copy. Tolong dikirim alamat > Ananda. > > Saya merasa berbahagia mendapat kesempatan menangani > hak asasi manusia ini, yang sejak tahun 2004 saya > fokuskan pada perlindungan hak masyarakat hukum > adat. > Dengan menangani hak asasi manusia dalam lembaga > negara yang khusus dibentuk untuk itu, bukan saja > saya > mendapat kesempatan manangani kasus-kasus khusus hak > asasi manusia, tetapi juga untuk memprakarsai > kebijakan negara yang terkait dengan itu. Dengan > cara > itu, secara tidak langsung dan secara kecil-kecilan > sesuai dengan posisi saya, saya merasa ikut > mempersiapkan suatu Indonesia yang tidak lebih buruk > dari keadaan sekarang, kalaulah tidak akan lebih > baik, > bagi anak cucu saya. > > Dalam hubungan ini rasanya perlu kita persamakan > dahulu pemahaman kita tentang hak asasi manusia. > Secara yuridis formal, hak asasi manusia itu diakui > sebagai hak yang melekat dengan diri setiap orang, > yang perlindungan dan pemenuhannya > dipertanggungjawabkan kepada negara cq pemerintah. > > Dengan kata lain, perwujudan hak asasi manusia itu > tidaklah secara serta merta, tetapi masih memerlukan > usaha dan tindak lanjut, sehingga Deklarasi > Universal > Hak Asasi Manusia 1948 tersebut mensifatkan hak > asasi > manusia sebagai 'common standards of achievements > for > all peoples and all nations". > > Sebagai konsekuensinya, sudah barang tentu wujud hak > asasi manusia akan berbeda antara suatu negara > dengan > negara lainnya, antara negara yang sudah maju dengan > negara yang belum maju, antara negara yang > menghornati > hak asasi manusia dengan yang tidak menghomati hak > asasi manusia, antara negara imperialis dengan > negara > terjajah. > > Oleh karena itu memang akan sangat menarik untuk > mengetahui bagaimana proses kelahiran instrumen- > instrumen hukum internasional hak asasi manusia ini, > baik pada taraan internasional maupun pada tataran > nasional. Hanya dibutuhkan tiga tahun [1945-1948] > untuk lahirnya Deklarasi Universsal tersebut, tetapi > dibutuhkan waktu 18 tahun sesudahnya (1948-1966) > untuk > disahkannya Kovenan Internasional Hak Ekonomi, > Sosial > dan Budaya, serta Kovenan Internasional Hak Sipil > dan > Politik. Dibutuhkan waktu 40 tahun pula sesudahnya > oleh Republik Indonesia untuk meratifikasi kedua > kovenan ini menjadi Undang-undang Nomor 11 dan 12 > Tahun 2005. > > Sudah barang tentu tidak dapat dipungkiri bahwa > negara-negara besar mempunyai pengaruh besar dalam > penyusunan instrumen hukum internasional hak asasi > manusia, tetapi tidak berarti bahwa negara-negara > kecil tidak dapat menyuarakan dan membela > pendiriannya. Kecuali di Dewan Keamanan yang > mengenal > adanya hak veto, umumnya pengambilan keputusan > dilakukan dengan voting, sehingga jumlah yang besar > dari negara-negara kecil akan dapat mengalahkan > segelintir negara-negara besar. Jadi tak usah > terlalu > berkecil hati, Ananda. > === message truncated === ____________________________________________________________________________________ Shape Yahoo! in your own image. Join our Network Research Panel today! http://surveylink.yahoo.com/gmrs/yahoo_panel_invite.asp?a=7 --~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~ Berhenti (unsubscribe), kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] Webmail Mailing List dan Konfigurasi keanggotaan lihat di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe Dengan terlebih dahulu mendaftarkan email anda pada Google Account di: https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id&cd=US&service=groups2. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~---