Sanak di rantau net sadonyo Ambo juo punyo pangalaman waktu maurus mutasi motor dari Kab. Tanggerang ke Kota Tanggerang Waktu di kabupaten Tanggerang (Samsat BSD) biaya yang harus keluar 1. Check fisik Rp. 30.000 (tanpa kwitansi) 2. Pendaftaran Rp. 75.000 (tanpa kwitansi..untuk beda POLDA bisai Rp 300.000) 3. Fiskal Rp. 50.000 4. Denda Pajak 20 hari = Rp.55.000 (tanpa kwitansi.. di fiskal kolom denda jg ndak ditulis) 5. Foto Copy 6 lembar = Rp.3000 biaya fotocopy di samsat BSD Rp 500/lbr ... tmp foto copy hanya 1 Waktu Proses 7 hari ( tertulis maks 4 hari) Total Cost Rp. 213.000 yang pake kwitansi cuma Rp.50.000 sisa Rp 163.000 ????? Kemudian Pindah ke Samsat Cikokol Untuk bikin STNK baru 1. Legalisir cek fisik Rp. 25.000 (tanpa kwitansi) 2. Daftar Rp. 50.000 (tanpa kwitansi) 3. Map Rp.3000 4. Biaya STNK baru Rp. 662.000 (pake kwitansi dan tertulis di STNK) Total Cost Rp. 740.000 (Rp. 662.000 resmi) Rp. 78.000 ???? Proses oke 5 jam selesai Antah kama ka dibao republik ko sabana nan kalamak dek inyo ajo...Hampia di sado tampek pelayanan publik sarupo sajo... Cubolah caliak di nagari ko bara banyak pagawai atu upeh nam baoto rancak jo barumah gadang.. padahal kalau di etong2 dari gajinyo dikumpuaan bana sampai 20 taun alun katabali lai... sadangkan inyo baru 2 atau 3 taun di tampek itu Makanlah pitih H***** tuh agiahlah ka anak bini/suami jo apak mandeh kalau masih ado buliah ndak samo2 dapek PMDK ka narako. Iko sadonyo bukan masalah gaji nan indak cukuik tapi masalah gaya iduik nan mancaliak ka ateh sajo. Maaf kalo ado nan tasingguang.... tapi ambo iyo bana lah maloyo mancaliak sadonyo ko Yanto Piboda Bambang Hermanto <[EMAIL PROTECTED]> wrote: sekedar tips kalau berurusan jo birokrasi, kapatang ambo ka imigrasi jakarta pusat mangawanan kawan mampapanjang paihpor ano... disinan memang banyak calo berkeliaran nan mauruihan punyo urang.. katiko bapoto.. adolah apak-apak surang nan mambaok anak gadih, nan apak ko kironyo alah dari jam sambilan pagi, alun juo dipanggia ananknyo untuak bapoto..
Kebetulan ditampek bapoto sedang rami.. dan masuak lah anaknyo.. ruponyo mangadu anak ko ka apaknyo.. kalau formnyo dilatak an paliang bawah dan tiok ado calo nan mamasuak an di salipnyo dek karano ado pitih 20rb tasalek disinan...... tantu sajolah ndak tapanggia..panggia... mandanga tu emosi lah apak ko... protesnyo dan sempat ribuik... mako dek karano ribuik kolah mako katasalasaian masalah nan ko.... akhirnyo sasudahtu malu surang se petugas tu... karano suaro apak tu cukuik kareh.. tadanga sampai lua dan ambo pun ikuik menyarankan.. suapo apak tu malapor sajo ka atasan "pak har" nan didalam... sadiah juo kalau budaya kito bantuak iko... sasudah tu alhamdulillah mudah"an lai lancar se lai... ruponyo iyo paralu juo ribuik-ribuik saketek dikantua pemerintah ko ruponyo... wassalam, ----- Original Message ----- From: "Arnoldison" To: Sent: Friday, June 22, 2007 11:48 PM Subject: [EMAIL PROTECTED] Patologi yang Salah Obat > > *Humaniora* > > *Patologi yang Salah Obat * > > Seorang pegawai meratap begini. "Di zaman semakin sulit, apa masih mungkin > hidup tanpa suap. Hampir semua petugas perizinan, petugas imigrasi, dan > layanan publik doyan makan suap. Suap membantu hidup kalau gaji saja tak > cukup." > > Suap yang berarti menerima sesuatu untuk melakukan, atau tidak melakukan > sesuatu semakin kita lazimkan saja. Struktur gaji katanya berkorelasi dengan > tinggi rendahnya angka suap (Weder, 1997). Apa betul cuma gaji penyebab suap > menjadi seperti wabah pes di negara kita? > > Kini masyarakat menganggap suap kelakuan yang jamak. Hukum dan etika sudah > melotot, tapi tak berdaya. Sebagian orang melakukannya nyaris tanpa > ganjalan. Suap-menyuap subur sebab peluang dan niatnya ada. Itu yang membuat > bangunan sosial rusak sebab suap dianggap galib. Mesin birokrasi malah > lancar kalau suap ada. Urus KTP sekali jadi atau harus menunggu berbeda > ongkosnya. > > Bisa jadi lantaran rasa kepantasan (sense of decency) orang sekarang sudah > bergeser. Tahu disuap itu salah, tapi apa boleh buat. Daripada mencari uang > halal buat yang tidak halal, lebih baik mencari secara tak halal asal buat > yang halal. > > Kalau halal dari gaji tak cukup, merasa pantas mencari secara tak halal buat > makan anak-istri. Yang kecil-kecil minta suap buat makan, dan merasa menjadi > gede hati melihat yang di atas rela disuap buat beli rumah atau mobil baru. > > Tak ada batas tertinggi buat kecukupan. Kebiasaan disuap demi kebutuhan > hidup, berbiak menjadi demi kebutuhan mengejar rasa enak. Tumbuh kultur > hedonis di sana. > > Boleh jadi mirip sosok Wirehead Hedonism, kaum pengejar kesenangan hidup di > kalangan rezim Pasca-Darwinian. Mereka pencari surga di otak, menguber > kebahagiaan rekayasa, dalam kasta "Dunia yang lebih nekat" (New Brave > World). Lebih dari sekadar buat makan, bagi mereka, mengejar suapan supaya > bisa beli Jaguar, mansion, atau istri baru. > > Pemilik kasta "Dunia yang lebih nekat" membangun rasa sejahtera lewat surga > dunia yang direkayasa (Paradise-engineering). Dan itu yang kini dituduh > bikin macet rasa moral masyarakat, sekaligus membuat hidup mereka menjadi > hampa. > > Mereka menjadi manusia-manusia kabel yang ketagihan memencet sendiri tombol > rasa enak di otaknya. Bahkan untuk sekadar kelemahan orgasme sekalipun > mereka lawan dengan memasang elektrode pada otaknya (Orgasmatrons). Kelompok > ini konon yang kelak membangun masyarakat kabel (Wired Society), robot-robot > hedonistis. > > *Kecanduan suap* > > Dunia kini semakin disibukkan oleh meruyaknya temuan otak. Ada temuan pusat > enak, pusat takut, pusat gampang percaya (non-scepticism), pusat orgasmus, > dan banyak lagi. Lalu obat-obat baru diciptakan untuk mendikte otak memberi > sebanyak mungkin kepuasan artifisial. Orang memanfaatkan kabel-kabel kimiawi > otaknya untuk bisa memberi rasa bahagia sejahtera secara instan. > > Kebiasaan diberi suap berarti memanjakan pusat enak di otak. Seperti halnya > saat menang judi, pusat enak di otak pun menyala, seperti setiap kali di > saat menerima suap. Pusat enak serupa juga bisa dibangkitkan oleh candu, dan > zat-zat adiktif lain. > > Maka tak ubahnya orang rakus, tidak lapar pun kepingin makan juga. Begitu > kira-kira perangai orang kecanduan suap. Pemuasan diri merupakan motivasi > utama kecanduan suap. > > Penyakit kecanduan suap punya gejala etis sama dengan, misalnya, kehilangan > rasa malu atau berperangai seperti orang pencari celah ("rent-seeking > behaviour"). Maka upaya mempermalukan pelaku suap di muka umum (Ada usulan > pihak Muhammadiyah minta pelaku korupsi diumumkan, Kompas 3/1/06) rasanya > bukan shock therapy yang bisa diandalkan. > > Oleh karena disuap itu candu, maka menurut takaran etika mestinya tak boleh > ada pembenaran utilitarian terhadap sikap "lebih baik mencari uang secara > tak halal asal untuk yang halal". Jika nilai kepantasan begini ramai-ramai > dianggap galib, percuma saja menaikkan penghasilan orang-orang yang berdalih > gaji kurang, sebab bukan itu obat jitu kecanduan suap. > > Zaman Orba dulu, pegawai Bea Cukai diberi gaji puluhan kali lipat lebih > tinggi dari struktur gaji PNS agar tidak mau disuap (lagi). Namun setelah > diberlakukan, tetap saja mereka rajin menerima suap. Dari dulu memang > obatnya salah. > > Di banyak negara ada semacam fit & proper test dalam perekrutan setiap > pegawai (Healthquest), terutama yang berisiko disuap, menguji apakah calon > pegawai tergolong kebal korupsi. Terus terang kita sendiri menyangsikan > kesehatan jiwa, raga, dan sosial penyelenggara negara saat ini apa bugar > semua (Dr Suharko Kasran, Komisi Nasional Budi Pekerti Kesehatan). > > Itu sebab pemeriksaan jiwa yang jujur dianggap perlu buat menyortir > kebugaran (total fitness) semua penyelenggara negara. Selain itu sistem > kenegaraan perlu ditata ulang. Hukum tak boleh main mata dan cuma jadi macan > kertas, dan forum antikorupsi perlu semakin diberi gigi (Global Forum > Fighting Corruption, 1999). > > Lebih dari itu, hukum yang diberdayakan supaya berani membongkar > persekongkolan jika bukti dan pengakuan sebagaimana sekarang lazim > dilakukan, masih tetap gagu. Maka rasionalitas membabat korupsi, seperti > upaya pembuktian terbalik, merupakan pilihan hukum yang sebetulnya lebih > nalar (ujar Kwik Kian Gie). Gaji menteri tapi rumahnya tiga, mobilnya lima, > itu mesti diperiksa dengan metode pembuktian ini. > > Bagi yang sudah kecanduan suap, dan pemilik kasta yang minta suap untuk > berhedonistik, menambah gaji, sekali lagi, bukanlah obat mujarab. Kelompok > ini membutuhkan jenis obat "power distance", yakni sebuah bentuk pencerahan > religius. > > Beberapa studi melihat ada korelasi antara korupsi dengan unsur religius. > Salah satunya laporan La Parto di tak kurang 114 negara (La Parto Report, > 1999). Bahwa rasa keberagamaan bangsa perlu diperkental. Sayang keberagamaan > kita lebih bersifat teoretis ketimbang praktek. > > Pendekatan "power distance" memberi efek positif terhadap penurunan angka > korupsi negara, termasuk terhadap kecanduan suap. Misal, upaya perenungan > ulang, bahwa hidup begini pendek dan kematian betapa panjang. Perlu > ditumbuhkan ulang rasa eling, bahwa akan sia-sia saja membela mati-matian > urusan yang begini pendek dan fana kalau mengorbankan kehidupan abadi > nantinya. > > Perlu dikaji pula kalau unsur kolonialisme, demokrasi, dan kultur bangsa > menyimpan dampak kuat terhadap tumbuhnya motivasi korupsi. Juga sikap hidup > ingin enak tanpa mau memeras keringat (high profit low risk) konon dianggap > menjadi bibit penyakit korupsi para penyelenggara negara. > > Selama peluang dan niat ingin disuap masih ada, dan pemberi suap tidak > diseret ikut duduk di depan hukum, suap terus menjadi penyakit endemis. > > *Masih salah obat* > > Vaksinasi antikorupsi perlu diberikan sejak di sekolah mula. Dibangun sikap > bahwa mencuri serupiah sama berdosanya dengan mencuri sejuta. > > Rasa kepantasan perlu ditata untuk menjaga jarak dengan pilihan sikap > melumrahkan utilitarianisme. Bahwa bahasa hidup bukan bahasa uang semata. > Tak semua semerbak kehidupan bisa ditebus dengan uang. > > Sikap etis dan rasa religiusitas dalam tindakan nyata anak perlu terus > ditumbuhkan sejak kecil. Ajarkan kepada anak agar mudah mensyukuri. > > Jauhkan anak dari kemungkinan memilih hidup hedonistik menganut New Brave > World, yang dapat menjadikan mereka tak mampu bersyukur hanya karena cuma > menjadi orang biasa. Membiarkan hedonisme menjadi pilihan membuat anak gagal > menjadi generasi kebal suap. > > HANDRAWAN NADESUL > *dokter, pengasuh rubrik di sejumlah media massa* > http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0602/10/humaniora/2424649.htm > > > > > > --------------------------------- Be a better Heartthrob. Get better relationship answers from someone who knows. Yahoo! Answers - Check it out. --~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~ Berhenti (unsubscribe), kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] Webmail Mailing List dan Konfigurasi keanggotaan lihat di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe Dengan terlebih dahulu mendaftarkan email anda pada Google Account di: https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id&cd=US&service=groups2. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~---