Masihkah Kita Lupa Berdoa? 
Kadang kita tidak menyadari, betapa malasnya diri kita untuk selalu meminta 
pada-Nya. Atau mungkin ada saat-saat tertentu di mana kita tidak merasakan 
perlunya pertolongan dan perlindungan dari-Nya.

Ada saat-saat tertentu di mana kita merasa 'aman-aman' saja dengan sejumlah 
kenikmatan duniawi yang telah kita rengkuh. Pada saat itu, kita tak lagi peduli 
akan orang lain, keluarga, dan orang-orang terdekat kita. Memang sudah tabiat 
manusia yang hanya akan ingat pada Rabb-nya ketika ia merasakan susah saja. 
Memang sudah tabiat manusia yang cepat lupa akan perintah-Nya untuk selalu 
bersyukur dan memanjatkan doa.

Dan ketika musibah atau hal yang tak diinginkan itu datang, barulah kemudian 
sesal berkepanjangan. Bahkan mungkin mengutuk diri yang lalai akan kewajiban 
mengingat-Nya, dan mendoakan keselamatan diri serta orang-orang yang dicintai.

Ada seseorang yang Allah memberikan sebuah kelebihan padanya, yaitu setiap kali 
ia memanjatkan doa, apa yang ia pinta dalam waktu tak lama terkabul. Ia memang 
selalu mensyukuri kemudahan yang telah Ia berikan tersebut, dan memang ia 
adalah seseorang yang bisa dikatakan bukan seseorang yang awam dalam hal 
pengetahuan agama. Tapi sekali lagi, bicara tentang keimanan tak cukup hanya 
sampai di situ.

Keimanan mendalam adalah sebuah konsistensi ibadah, yang dihayati sepenuh jiwa, 
berlandaskan sebuah kepahaman yang utuh. Dan melalui ujian-ujian lah seseorang 
bisa mendapatkan predikat 'mukmin'. Juga seperti yang Rasulullah sabdakan, 
bahwa keimanan yang bercokol di tiap hati seorang muslim pasti ada kalanya naik 
dan turun. Itulah yang akan menguji konsistensi seseorang dan mujahadah-nya 
dalam menjaga stabilitas iman.

Seseorang ini pun hanyalah seorang hamba yang sama lemahnya dengan 
manusia-manusia lainnya. Kala ia merasa berada di titik 'aman' tersebut, maka 
ia kerap kali lupa untuk menjaga konsistensinya dalam memanjatkan doa. Padahal, 
kepada siapa lagi kita bisa meminta? Dan bukankah Allah menyukai 
hamba-hamba-Nya yang selalu mendekatkan diri pada-Nya?


Akhirnya, ujian-ujian kecil pun Allah turunkan, seseorang ini mendapatkan 
sebuah permasalahan yang cukup mengguncangkan hatinya. Dan ketika itulah ia 
menyadari kekhilafannya untuk mendekatkan diri dan berdoa pada Sang Pemilik 
Jiwa. Karena sesungguhnya segala nikmat adalah datang dari-Nya, demikian pula 
hal-hal yang bisa jadi tidak kita sukai yang menimpa diri kita. Karena 
sesungguhnya keduanya harus selalu kita syukuri, sebab itulah yang akan menjadi 
alat ujian, apakah kita lolos dan berhasil mendapatkan predikat 'mukmin' atau 
tidak.

Dan seseorang ini pun, seperti yang sudah-sudah, akhirnya kembali merapatkan 
hatinya untuk bersimpuh pada Allah. Melantunkan kembali doa-doa panjangnya, 
berharap sesuatu yang sedang menimpanya akan diganti dengan sesuatu yang lebih 
baik. Kembali berharap bahwa Allah akan mengabulkan pintanya kali ini, dengan 
keyakinan bahwa Allah akan selalu mengabulkan doa hamba-Nya yang meminta. Namun 
akankah keadaan ini berulang sepanjang hidupnya? Bahwa ketika ia kembali dalam 
posisi 'aman' lantas ia melalaikan diri dari Rabb-nya?

Seseorang yang saya contohkan tersebut bisa jadi adalah gambaran diri kita 
sehari-hari. Mungkin bisa saja kita berkilah bahwa lalai dan lupa adalah memang 
tabiat manusia, dan kemudian kita memaafkan diri kita yang tak sanggup 
mengerahkan segenap kekuatan hati kita untuk berteguh dalam beribadah pada-Nya. 
Atau memang sudah menjadi tabiat diri kita yang menyepelekan sebuah untaian 
doa, menganggap bahwa ia tak sebanding dengan ibadah lainnya yang (sepertinya) 
sudah kita lakukan.

Suatu ketika Aisyah ra. mendapati Rasulullah SAW yang mendirikan qiyamullail 
hingga bengkak-bengkak kedua kakinya. Nurani kita mungkin mengatakan bahwa 
perbuatan tersebut melampaui kemampuan fisik seorang manusia. Namun seorang 
Muhammad yang sudah dijanjikan surga serta dihapus segala dosanya saja bisa 
mengatakan, "Apakah aku tak boleh mewujudkan rasa syukurku pada-Nya?"

Lantas, bagaimanakah dengan diri kita yang tak pernah lepas dari dosa serta 
masih harus berharap cemas akan tempat kita di surga?
Saya rasa, seseorang yang saya ceritakan di atas patut mensyukuri bahwa Allah 
masih berkenan untuk 'mengingatkannya' dengan memberikan ujian-ujian kecil 
ketika ia lupa untuk mendekatkan diri pada-Nya.

Bagaimana pula bila Allah tak lagi peduli dan membiarkannya tenggelam dalam 
kenikmatan dunia, sedangkan tak ada sedikit pun keridhaan Allah padanya? 
Sungguh, dunia dan segala isinya tak ada artinya dibandingkan menjadi bagian 
dari orang-orang yang diridhai dan dicintai Allahu Rabb al-'Alamin

--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
Berhenti (unsubscribe), kirim email ke: [EMAIL PROTECTED]

Webmail Mailing List dan Konfigurasi keanggotaan lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
Dengan terlebih dahulu mendaftarkan email anda pada Google Account di:
https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id&cd=US&service=groups2.
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke