Nurani Pemimpin            Sabtu, 23-Juni-2007, 10:38:41
Telah dibaca sebanyak 6 kali

                Oleh : Benni Inayatullah, Peneliti The Indonesian Institute 
Jakarta
Kesejahteraan masyarakat adalah hukum yang tertinggi (Sales Patriae Suprame 
Lex). Sebagai bagian dari masyarakat maka kata kata dari Cicero ini terasa 
sangat menyejukkan dan menimbulkan optimisme bagi kita semua.Betapa tidak 
sebagai rakyat kecil kita sangat mendambakan pemimpin-pemimpin yang menempatkan 
kepentingan masyarakat diatas segala galanya.        Delapan tahun berjalannya 
reformasi kita disuguhkan perubahan demi perubahan, yang paling kita rasakan 
adalah kebebasan berpendapat, berpolitik serta kebebasan pers. Meskipun banyak 
perubahan yang kita rasakan namun tujuan mulia reformasi untuk memberantas KKN 
dan memperbaiki kesejahteraan ekonomi masyarakat belumlah tercapai.Zaman 
pemerintahan orde baru dulu kita terperangkap dalam Korupsi, Kolusi dan 
Nepotisme yang saking berkarat-karatnya sudah jadi budaya dalam birokrasi 
bahkan dalam masyarakat. 

Dalam arus perjalanannya orde reformasi ternyata tidak mampu mengobati penyakit 
yang bagaikan kanker kronis tersebut.Masyarakat kita mengiba dalam derita dan 
nestapa yang tak kunjung usai. Negara yang seharusnya melindungi hak-hak rakyat 
dan memperjuangkan kesejahteraan hidupnya telah menjadi lembaga "mati" dan 
nyaris tidak memiliki hati. Reformasi telah terlantar atau diterlantarkan. 
Reformasi hanyalah menjadi simbol legalitas untuk memuluskan ambisi para elit 
politik dalam memperebutkan kekuasaan dan mengumpulkan kekayaan. 

Lihat saja berbagai kasus korupsi yang mencuat di gawangi oleh pemimpin kita 
yang selama ini kita hormati. Kasus DKP yang saat ini sedang jadi perbincangan 
memperlihatkan betapa bobroknya moral pemimpin bangsa ini. Kasus Lapindo yang 
berlarut larut dimana rakyat tetap jadi korban kepentingan pemimpin dengan 
koloni dan koleganya. Belum lagi korupsi terhadap jatah rakyat di daerah daerah 
korban bencana.Benarlah kiranya pernyataan Buya Syafie Maarif yang mengatakan 
kita hidup dalam budaya kumuh.Desentralisasi kewenangan pusat kedaerah 
sesungguhnya adalah angin segar bagi masyarakat kecil. Dengan otonomi setingkat 
kabupaten masyarakat berharap lebih diperhatikan oleh pemimpin. Namun 
rupa-rupanya budaya pemimpin yang korup tadi belumlah tersentuh oleh semangat 
reformasi. 

Meskipun pemerintah daerah telah menerapkan anggaran berbasis kinerja 
(performance budgeting) tetap saja para pemimpin mengakumulasikan anggaran 
daerah maupun pusat ke pos-pos yang "jauh panggang dari api" untuk memakmurkan 
masyarakat .Sumatra Baratpun kurang lebih sama. Sebuah harian nasional (Rakyat 
Merdeka, 14 Mei 2007) memberitakan bahwa Gubernur Sumatra Barat menganggarkan 
pembangunan replika istana pagaruyung 69 M, dari dana tersebut sebanyak 59 M 
dibiayai dari APBD. Hanya sedikit lebih kecil dari anggaran untuk pendidikan 
termasuk pembangunan ratusan sekolah yang rusak dengan anggaran 70 M. 

Padahal Permendagri 13/2006 mengamanatkan bahwa pendidikan termasuk kedalam 25 
urusan wajib sedangkan pariwisata adalah urusan pilihan yang tentu tidak lebih 
penting dari pada urusan wajib. Bukannya tidak menghargai sejarah namun sebagai 
masyarakat awam tentu kita lebih memprioritaskan pembangunan sekolah sekolah 
yang rusak serta rumah-rumah masyarakat yang hancur akibat gempa karena 
bagaimanapun pendidikan adalah aspek terpenting untuk membentuk generasi muda 
yang cerdas sebagai tumpuan masa depan. 

Sebagai rakyat kecil kita tentu merasa miris dengan keadaan ini. Kalau di 
hitung-hitung pengeluaran pejabat, pegawai dan wakil rakyat menghabiskan 
sekitar 70% dari APBD, sisanya yang 30 % itulah yang digunakan untuk pelayan 
publik. Sisa sisa itulah yang digunakan untuk kita masyarakat, apakah itu 
pembangunan jalan atau sekolah dan rumah sakit. Itupun kalau anggaran itu tidak 
dikorupsi. Tidak lah heran perubahan dan kesejahteraan yang kita damba dambakan 
tidak kunjung datang. 

Sesungguhnya masalah demi masalah yang dihadapi masyarakat bermula dari 
hilangnya kejernihan hati nurani pemimpin. Hilangnya hati nurani telah 
menyuburkan perilaku ketidakjujuran yang menyentuh setiap dimensi kehidupan. 
Pada akhirnya ungkapan masyarakat adalah hukum tertinggi masih jauh dari benak 
pemimpin kita, lalu kita mau apa ? ***


--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
Berhenti (unsubscribe), kirim email ke: [EMAIL PROTECTED]

Webmail Mailing List dan Konfigurasi keanggotaan lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
Dengan terlebih dahulu mendaftarkan email anda pada Google Account di:
https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id&cd=US&service=groups2.
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke