*Yang Kreatif dan Berkilau
*Majalah Tempo Edisi 23-29 Juli 2007

PARA pegawai negeri telah meninggalkan baju safari cokelat. Di lobi kantor
pelayanan umum Jembrana, Bali, penampilan seorang petugas front office
mendekati teller sebuah bank. Berseragam rok span dan kacu biru, mereka
sigap memeriksa bermacam dokumen. Di bawah pendingin ruangan, orang-orang
antre, sesuai dengan nomor urut. Sebuah monitor besar menunjukkan nomor
orang yang mendapat giliran.

Di kantor itu--sebutan resminya Dinas Inyahud: Informasi, Pelayanan Umum,
Perhubungan, dan Data--segala jenis izin dan dokumen penting diterbitkan
secara terbuka. Semuanya jelas: ongkos, waktu, dan syarat-syarat, tak ada
perbedaan antara aturan dan prakteknya. Situs jembarana.go.id memuat detail
informasi seputar kabupaten di ujung barat Pulau Bali itu. Izin usaha,
misalnya, keluar dalam sepuluh hari--sepersepuluh rata-rata izin di
Indonesia.

"Kalau cuma KTP, tiga hari beres, gratis pula," kata Dewa Putu Tilem, Kepala
Dinas Inyahud, tiga pekan lalu.

Adalah Prof Dr drg I Gede Winasa, 50 tahun, yang berhasil "menyulap"
Jembrana menjadi kabupaten one stop service. "Sebelum sampai sana, prioritas
saya menumpas korupsi," kata Winasa, Bupati Jembrana yang kini memasuki
jabatan periode kedua. Setelah dilantik pada periode pertama tahun 2000,
Winasa mengumpulkan ahli dari Universitas Udayana, tokoh masyarakat, dan LSM
untuk minta masukan.

Kesimpulannya: perlu tunjangan bagi semua pegawai, dari eselon II-A, yang
dijabat sekretaris daerah, hingga pekerja honorer. "Dulu penghasilan
diperoleh sembunyi-sembunyi, sekarang legal," kata Winasa. Begitu muncul
tunjangan, perlahan-lahan pungutan liar sirna. Butuh dua tahun menumpas
penghasilan ilegal itu.

Semuanya diawali dengan kondisi serba sempit--serba salah. Winasa mewarisi
wilayah berpendapatan cuma Rp 12 miliar dan anggaran (APBD) Rp 269 miliar.
Ia berusaha memperbaiki pelayanan publik, tapi dana sebesar itu biasanya
habis hanya untuk menutupi kebutuhan rutin. Ia tak berhenti di situ. Langkah
pertamanya: menciutkan 13 dinas menjadi tujuh. Dinas yang punya fungsi mirip
digabungkan. Inyahud merupakan gabungan tiga instansi. Di luar itu ada juga
Dinas Perkutut, yang meliputi pertanian, kehutanan, dan kelautan.

Dari hasil penciutan itu, APBD menghemat Rp 3 miliar setahun. Anggaran
proyek disesuaikan dengan harga riil, sehingga separuh dana proyek yang
diminta tiap dinas bisa dipangkas. Dana hasil penghematan itu lantas
dibelikan premi lewat Jaminan Kesehatan Jembrana. Warga hanya wajib membayar
Rp 10 ribu setahun, sedangkan sisanya ditanggung pemerintah--dana awalnya Rp
3,3 miliar yang terus naik mencapai Rp 20 miliar.

Beres dengan kesehatan, ia melangkah ke ranah pendidikan. Kali ini dengan
subsidi Rp 90 miliar untuk menggratiskan sekolah, dari SD hingga SMU negeri.
Belakangan, pajak sawah juga gratis.

Dan Winasa bergerak terus. Untuk mengatasi 2.500 orang angkatan kerja baru
yang lahir setiap tahun, ia menggandeng pengusaha hotel dan peternak sapi
dari Jepang. Kebetulan ia pernah tinggal di sana pada 1989-1994, sewaktu
mengambil pendidikan keahlian di Hiroshima University. Kini sudah 200
lulusan SMU dikirim setelah diberi pelatihan yang ongkosnya dibayar dengan
potongan gaji. Mereka rata-rata mengirim Rp 3 juta sebulan kepada keluarga.
Meski begitu, masih ada 6.000 orang--dari 135 ribu orang angkatan
kerja--menganggur.

Jembrana melesat cepat. Sebelumnya, ekonomi Jembrana hanya tumbuh 3-4
persen; sekarang telah bergerak dengan kecepatan 7 persen per
tahun--mengalahkan daerah lain yang punya anggaran melimpah. Tak aneh, banyak
bupati berkunjung ke Jembrana untuk memetik pelajaran. Kini Winasa sedang
menularkan kiat-kiatnya kepada istrinya, Ratna Ani Lestari, yang menjadi
Bupati Banyuwangi, Jawa Timur.

Jurus jitu yang mirip Jembrana ditempuh Purbalingga. Dengan anggaran hanya
Rp 490 miliar, Bupati Triyono Budi Sasongko, 51 tahun, menjadikan kabupaten
di barat Jawa Tengah itu loh jinawi. Padahal tak ada retribusi atau kekayaan
alam. Purbalingga tak berada di jalur pantai utara Jawa yang ramai. Tapi, di
sini tak ada gratisan.

"Tak bagus buat mental masyarakat," kata Triyo. Bagi-bagi beras untuk
keluarga miskin disiasati dengan program padat karya. Setiap empat jam
bekerja membuat infrastruktur umum--seperti irigasi atau jembatan--upahnya 2,5
kilogram beras.

Awalnya Rp 2 miliar harus keluar dari APBD untuk membeli beras--di samping Rp
491 juta dari sumbangan warga. Belakangan, duit APBD kian susut dan swadaya
justru naik. Cara ini ampuh ketika tahun lalu Indonesia dicengkam paceklik.
Beras Purbalingga yang tertahan karena kalah oleh beras impor tetap
terserap. Petani tak kehilangan pendapatan, orang miskin tetap bisa makan,
infrastruktur juga tergarap. "Purbalingga memang kreatif," ini pujian Faisal
Basri, ekonom Universitas Indonesia.

Di bidang kesehatan, Triyono juga menerapkan premi. Warga kaya diwajibkan
membayar Rp 100 ribu setahun, menengah Rp 50 ribu, dan gratis bagi keluarga
miskin. Dari 200 ribu keluarga, 70 persen sudah ikut program ini. Triyono
tak membuat rumah sakit mewah dengan fasilitas lengkap. "Masalah di
kabupaten saya soal akses," katanya. "Saya pilih mendekatkan pusat kesehatan
ke rumah warga." Kini di tiap desa berdiri satu poliklinik dengan satu
dokter dan satu bidan.

Sebelum Jembrana terkenal dengan perizinan satu atap, Purbalingga lebih dulu
menerapkannya. Sudah 18 pengusaha Korea dan Cina membuka pabrik rambut dan
alis palsu di sana. Industri ini menyerap 26 ribu pekerja.

Wig van Purbalingga itu diekspor ke Amerika Serikat, Jepang, Prancis, Korea
Selatan, dan Timur Tengah senilai Rp 270 miliar per tahun. Meski sumbangan
industri rambut terhadap pendapatan asli daerah (PAD) tak terlalu besar,
Triyono tak mempersoalkannya. Ia lebih mencatat manfaatnya. "Satu bulan gaji
pekerja itu Rp 13,5 miliar, tak sanggup kalau ditanggung pemda," katanya.
Ekonomi daerah penghasil knalpot itu pun tumbuh 7 persen per tahun, dengan
PAD naik dari Rp 8 miliar pada 2000 menjadi Rp 47 miliar tahun lalu.

Menurut Robert Simanjuntak, ekonom UI yang banyak meneliti daerah, dari 460
wilayah tingkat dua, kabupaten yang punya program bagus tak sampai 10
persen. Padahal daerah itu rata-rata punya kas cekak. Kreativitas para
bupatilah, kata Robert, yang membuat daerahnya berkilau di era otonomi
selepas krisis ini.

Zaman telah berubah. Kesenjangan antara daerah kaya dan daerah miskin kian
lebar. Sebelum otonomi (1 Januari 2001), rasio anggaran daerah terkaya hanya
tujuh kali daerah termiskin. Kini 15 kali: APBD kabupaten terkaya di negeri
ini mencapai Rp 3,7 triliun, sedangkan termiskin Rp 200 miliar.

Sayangnya, dalam pelbagai penelitiannya, Robert menemukan bahwa daerah kaya
cenderung menghamburkan duit bukan untuk sektor layanan publik atau subsidi.
"Tujuh puluh persen anggaran habis untuk biaya rutin, seperti gaji dan
membangun gedung megah," katanya. Ya, modal tanpa kreativitas adalah
kesia-siaan

--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
===============================================================
Website: http://www.rantaunet.org
===============================================================
UNTUK SELALU DIPERHATIKAN:
- Hapus footer dan bagian yang tidak perlu, jika melakukan reply.
- Posting email besar dari >200KB akan di banned, sampai yang bersangkutan 
menyampaikan komitmen akan mematuhi Tata Tertib yang berlaku.
- Email attachment, DILARANG! Tawarkan kepada yang berminat dan kirim melalui 
jalur pribadi.
===============================================================
Berhenti (unsubscribe), kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED]

Webmail Mailing List dan Konfigurasi keanggotaan lihat di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
Dengan terlebih dahulu mendaftarkan email anda pada Google Account di:
https://www.google.com/accounts/NewAccount
===============================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke