DR.  MOHAMMAD  AMIR:  TRAGEDI SEORANG TOKOH PEJUANG GERAKAN KEBANGSAAN
INDONESIA DI SUMATERA TIMUR

Oleh : Harsja W. Bachtiar (Universitas Indonesia)

Riwayat  yang  disampaikan  di bawah ini adalah riwayat seorang pemuda
Minangkabau  yang  bejiwa  kebangsaan Indonesia dan dalam masa gerakan
kebangsaan  menjadi  seorang  cendekiawan  dan tokoh politik di daerah
Sumatera  Timur  bahkan  ikut  mewakili  Sumatra  dalam  mempersiapkan
kemerdekaan   Indonesia   dan   ikut   serta  dalam  kegiatan-kegiatan
meletakkan  dasar-dasar  negara  Republik  Indonesia  di Jakarta. Akan
tetapi  akhirnya,  antara  lain, karena istrinya orang Belanda dan dia
sendiri   kemudian   tidak  dapat  mengendalikan  semangat  perjuangan
menggelora   dari  penduduk  yang  ikut  dibangkitkannya  dalam  usaha
mengadakan  perombakan  tatanan  masyarakat  di daerah Sumatera Timur,
tokoh  ini  terpaksa  meminta perlindungan, pada pihak lawan, penguasa
Inggris   dan   Belanda  di  Medan,  yang  dapat  ditafsirkan  sebagai
pengkhianatan terhadap bangsanya.

Mohamad  Amir  lahir  tanggal  27  Januari  1900  sebagai anak tunggal
sepasang suami-istri yang berdiam di Nagari Talawi, suatu perkampungan
di  pinggir sungai Ombilin dekat kota pertambangan batubara Sawahlunto
di  Sumatera  Barat.  Ayahnya  ialah  M  Joenoes  Soetan  Malako, yang
meninggal  di  Talawi  tahun  1940,  sedangkan, ibunya yang bagi orang
Minangkabau,  sesuai  dengan  adat  yang  menentukan keanggotaan dalam
keluarga atas dasar garis keturunan ibu, adalah lebih penting daripada
ayahnya,  ialah  Siti  Alamah  yang  meninggal  di Jakarta, 1958. Siti
Alamah,  ibunya,  adalah anggota dari Suku Mandaliko di Nagari Talawi,
sehingga Moh. Amir pun adalah juga anggota Suku Mandaliko.

Pada  waktu  masih  berusia  anak  sekolah,  M. Amir dibawa oleh abang
ibunya,   Mohammad   Jaman   gelar  Radjo  Endah,  seorang  guru  yang
dipindahkan  ke Palembang, ke kota di tepi sungai Musi. Selain membawa
istri,  anak-anaknya, dan M. Amir, guru Jaman juga membawa dua kerabat
muda lain yang kurang lebih seusia dengan M. Amir, yaitu Mohamad Jamin
dan Djamaloedin yaitu adik sebapak dari guru Jaman tapi berlainan ibu.
Ayah  guru  Jaman  bernama  Osman  gelar  Baginda Chatib dan mempunyai
beberapa  istri.  Guru  Jaman, yang lahir tahun 1878, adalah anak dari
istri  yang bemama Hadaniah; Moh. Jamin, yang lahir tahun 1903, adalah
anak  ketiga  dari  istri  bernama Saadah; sedangkan Djamaloedin, yang
lahir tahun 1904, adalah anak tunggal dari istri yang bemama Sadariah.

Di  Palembang  M.  Amir  belajar  sebagai  siswa Hollandsch Inlandsche
School   (HIS),  sekolah  dasar  yang  diselenggarakan  terutama  bagi
anak-anak  pribumi,  tetapi  sebelum  tamat  HIS di Palembang, M. Amir
pindah  ke  Batavia  (kini:  Jakarta) di sana ia meneruskan pendidikan
dasarnya  di Europeesche Lagere School (ELS), jenis sekolah dasar yang
diselenggarakan  terutama bagi anak-anak Belanda, sampai tamat sekolah
dasar tahun 1914.

M.  Amir  meneruskan  studinya  di jenjang pendidikan menengah tingkat
pertama  pada Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), di sana ia tamat
belajar  tahun  1918  untuk  kemudian  melanjutkan  pendidikannya pada
School  tot Opleiding van Indische Artsen (Stovia), sekolah pendidikan
calon  dokterr  bagi pemuda-pemuda pribumi, juga di Batavia. Tanggal 8
Desember  1917  di  Batavia  seorang siswa di STOVIA yang berasal dari
Sumatra  Timur,  Tengkoe  Mansoer,  bersama M. Amir dan sejumlah siswa
lain  yang  berasal  dari  pulau  Sumatra mendirikan suatu perhimpunan
pemuda yang berasal dan pulau Sumatra, perhimpunan yang dinamakan Jong
Sumatranen-Bond  (JSB), mengikuti contoh Jong Java, perhimpunan pemuda
yang  berasal  dari  Jawa yang telah didirikan dua tahun lebih dahulu.
Para  pemuda  Sumatra  inipun  bergabung  untuk  bersama-sama berusaha
mempersiapkan diri sebagai penggerak upaya memperbaiki taraf kehidupan
penduduk di daerah asal mereka.

Dalam  waktu  satu  tahun, menurut majalah Pemoeda Soematra yang mulai
diterbikan  oleh Pengurus JSB sejak 1918 dengan pemuda M. Amir sebagai
redaktur,  jumlah  anggota  perhimpunan  ini telah menjadi sekitar 500
orang  yang tergabung dalam afdeeling (cabang) perhimpunan di Jakarta,
Bogor,  Serang,  Sukabumi,  Bandung, Purworejo, Padang dan Bukittinggi
dengan cabang di Jakarta serta Padang yang paling banyak anggotanya.

M.  Amir,  tergerak  oleh  surat-surat kabar dan majalah-majalah dalam
bahasa  Belanda  maupun  bahasa Melayu yang tersedia di STOVIA sebagai
bahan  bacaan  bagi para siswanya, juga menulis karangan-karangan yang
diterbitkan  dalam  Warta Hindia. Pemuda im memperoleh bimbingan dalam
mengembangkan  bakat sebagai pengarang dari seorang penerbit yang juga
berasal dari Sumatra Barat bernama Landjanoen gelar Datoek Temenggung,
penerbit majalah bulanan Soeloeh Paladjar, majalah Tjahaja Hindia, dan
kemudian harian Neratja.

Pada  rapat  tahunan pertama dari JSB, yang diselenggarakan di Batavia
tanggal  26  Januari  1919, pemuda T. Mansoer terpilih sebagai Praeses
(Ketua)  dan pemuda M. Amir sebagai Wakil Praeses. A. Moenier Nasution
teipilih  sebagai  Sekretaris  1;  Bahder Djohan sebagai Sekretaris 2;
Marzoeki   sebagai  Bendaharawan;  sedangkan  Abdullah  Zakir,  Achmad
Djonap, Jasin dan Nazief terpilih sebagai Anggota Pengurus.

Kongres  pertama  JSB diadakan di Padang, untuk menarik perhatian umum
pada  kehadiran  perhimpunan pemuda itu di pulau asal para anggotanya,
pada  tanggal  4,  5  dan 6 Juli 1919. Amir sebagai Wakil Praeses JSB,
bersaina  Anas,  Sekretaris  1; Marzoeki, Bendahara; dan Bahder Djohan
diutus ke Padang untuk memimpin kongres, sedangkan Praeses (Ketua) JSB
sendiri,   Tengkoe  Mansoer,  tidak  dapat  pergi  menghadiri  kongres
tersebut   karena   sedang   menghadapi  ujian  semi-arts  di  STOVIA,
sekolahnya. Dalain kongres M. Amir tainpil sebagal pemimpin utama.


Tidak  semua  golongan  penduduk  menerima  baik kehadiran perhimpunan
pemuda  yang  baru  ini.  Dalam  suatu  editorial surat kabar Oetoesan
Malajoe  tanggal 18 Agustus 1919, misalnya, penulis editorial tersebut
menyatakan   harapannya   agar  Residen  Belanda  yang  baru  diangkat
menghentikan  ulah  ("gedoe")  Kaoem  Moeda dan anak-anak sekolah Jong
Sumatranenbond  yang  berani-beraninya menyelenggarakan suatu kongres;
membicarakan  masalah-masalah  politik  yang  mereka belum fahami; dan
menghasut  orang  agar  benci pada orang-orang Belanda dan orang-orang
lain yang mempertahankan orang Belanda.

Dalam  editorial  suratkabar yang sama tanggal 25 Agustus 1919 pemuda-
pemuda STOVIA yang tergabung dalain JSB dikecam sebagai kaum muda yang
menginginkan  perubahan dalam adat agar mereka dapat bebas bergaul dan
berjalan-jalan dengan para gadis. Supaya bagi pembaca lebih jelas lagi
apa  yang  dimaksud  oleh penulis, ia menampilkan contoh yang dianggap
tidak   dapat   dibenarkan,   yaitu   adanya   seorang  gadis  pribumi
("inlandsche nona") bernama Saadah yang melanggar adat dengan berjalan
malam  bersama  pemuda  Moh.  Tahir.  Saadah  adalah  seorang guru dan
redaktur majalah wanita Soeara Perempoean.

Penulis  editorial di atas juga mengeluh bahwa, meskipun pemuda-pemuda
JSB ini masih siswa sekolah, mereka ingin disebut engku ("angku") yang
menurut  penulis  adalah  sama  dengan  tuan  ("meneer"); bahwa mereka
menghendaki  suatu  revolusi  agar  mereka  menjadi  "meneer" presiden
republik.   Sekarangpun,   kata   penulis   dengan  geram,  sudah  ada
siswa-siswa  yang  menjadi  "angkoe"  seperti  angkoe  Amir dan angkoe
Hasan.

Sebagai  tanda  peringatan  diadakannya Kongres Pertama JSB di Padang,
Kaoem  Moeda  di  kota  ini,  yang  tergabung  dalain  Sarikat Oesaha,
mendirikan suatu tugu peringatan.

Dalam  rapat  umum  para  anggota  (Algemeene  Ledenvergadering)  Jong
Sumatranen-Bond,  atau  perhimpunan Pemoeda Soematra, yang diadakan di
gedung  Loge di Weltevreden, Jakarta, pada tanggal 8 Februari 1920, M.
Amir  terpilih  menjadi  Ketua  menggantikan dr. Tengkoe Mansoer, yang
telah lulus ujian STOVIA. Anggota lain dari pengurus JSB yang diketuai
oleh  Amir  terdri  dari  Abdoel Moenier Nasution, Wakil Ketua; Bahder
Djohan,  Sekretaris 1; Ferdinand Lumban Tobing, Sekretaris 2; Mohammad
Hatta,  Bendahara  I;  Boerhanoeddin,  Bendahara  II;  serta  Jassien,
Nazief, A. Zakir, Achmad Djonap dan M. Anas Sr., Anggota.

Pada waktu itu jumlah anggota JSB adalah sekitar 195-an, yaitu sekitar
150  pemuda  di Jakarta, 13 di Sukabumi, 32 di Bogor, 22 di Serang dan
80  di  Padang. Mereka adalah siswa di Koning Willem III School (KWS),
Rechtsschool  (Sekolah  Hukum),  STOVIA,  Hoogere  Burgerschool (HBS),
Handelsschool  (Sekolah  Dagang)  dan  Meer Uitgebreid Lager Onderwijs
(MULO).

Pemuda M. Amir sendiri menulis berbagai karangan dalam bahasa Belanda,
antara  lain  tentang  karya sastra Belanda rangkaian Mathilde ciptaan
Jacques  Perk  dan  tentang  Multatuli, yang Akhir ditampilkan sebagai
penyiar  pemikiran  etika  dan  pejuang  politik  dengan  pena,  serta
berbagai landasan untuk menggugat penguasaan kolonial.

Sebagai  mahasiswa  yang  berasal  dari  Sumatra Barat tapi tinggal di
suatu  masyarakat perkotaan yang merupakan tempat pertemuan kebudayaan
Asia,  atau  kebudayaan  Timur, dan kebudayaan Eropah, atau kebudayaan
Barat,  M.  Amir  tertarik  pada  pemikiran-pemikiran  kaum  Theosofi.
Orang-orang   yang   tergabung   Theosophical   Society   (Perkumpulan
Theosofi),  yang  dicipta  oleh  Madame H.P. Blavatsky, seorang wanita
bangsawan  Rusia,  dan  Henry  Steel  Olcott,  seorang  ahli hukum dan
penganut kebatinan, di New York tahun 1875, dan yang kemudian dipimpin
oleh   Annie   Besant,   berusaha   mencari   kearifan  Tuhan  melalui
ajaran-ajaran  kebatinan,  seperti  karma  dan reinkarnasi; menyatukan
sekalian  agama;  dan  menyatukan  agama dan ilmu pengetahuan. Bersama
pemuda Mohammad Hatta, Djamaloedin Adinegoro, Mohamad Jamin dan Bahder
Djohan,  M.  Amir  menjadi  anggota  perkumpulan  Dienaren  van  Indie
(hamba-hamba    Hindia),    suatu    perkumpulan    Theosophie    yang
diselenggarakan  oleh  sejumlah  penganut  Belanda  di  Batavia. Untuk
menyatakan  keanggotaan  mereka,  pada  waktu  itu mereka mencantumkan
huruf "ID" di belakang narna mereka masing- masing.

Dalam  tahun  berikutnya,  1921, Moh. Hatta berangkat ke Belanda untuk
meneruskan studinya di Nederlandsche Economische Hoogenschool (Sekolah
Tinggi  Ekonomi  Belanda)  di  Rotterdam,  sehingga  sejak  2  Juli ia
digantikan  sebagai Bendahara I JSB oleh Bahder Djohan. Dalam pengurus
baru  JSB,  yang tetap diketuai oleh M. Amir, terdapat juga F. Tobing,
Wakil  Ketua;  Boerhanoedin,  Sekretaris  I; M. Hoesin, Sekretaris II;
Djalel,  Bendahara  2;  serta  Emma  Jahja, Azir, Anas, Nazief, Dahlan
Alamsjah, dan Adam Bachtiar sebagai angoota.

Tahun  1922 M. Amir diganti sebagai Ketua JSB oleh Bahder Djohan, yang
juga  mengambil  alih  tanggung  jawab  sebagai  ketua  Komisi Redaksi
majalah Jong Sumatra.

Tahun 1923 diadakan Lustrum Pertama, peringatan hari lahir kelima, JSB
di  Jakarta,  di  sana  pemuda  Mohammad  Jamin  menyampaikan prasaran
berjudul  "De Maleische Taal in het verleden, heden en in de toekomst"
(Bahasa  Melayu  di  masa  lampau,  kini  dan  di  masa  depan),  yang
meletakkan  dasar  dijadikannya  bahasa Melayu kemudian menjadi bahasa
persatuan bangsa Indonesia, bahasa Indonesia. Setelah tamat belajar di
STOVIA,  Jakarta,  tahun  1924,  M.  Amir  mendapat  kesempatan  untuk
meneruskan  belajar di negeri Belanda dengan beasiswa dari perkumpulan
Theosophie.

Antara  tahun  1924  dan  1928  M. Amir belajar sebagai mahasiswa yang
memusatkan  perhatian  pada  pengkajian  dalam  bidang psikiatri (ilmu
penyakit   jiwa)  di  Fakultas  Kedokteran,  Universitas  Utrecht,  di
Utrecht, Belanda.

Tahun  1925  M.  Amir terpilih menjadi Komisaris Pengurus Indonesische
Vereeniging   di   Belanda,  yang  sejak  11  Januari  1925  dinamakan
Perhimpunan  Indonesia, di bawah Soekiman Wirjosandjojo sebagai Ketua.
Anggota  Pengurus  yang  lain terdiri dari A.Z. Mononutu, Wakil Ketua;
Soerono,  Sekretaris  I;  Soenarjo,  Sekretaris  II;  Mohammad  Hatta,
Bendahara  I; Mohammad Nazief, Bendahara II; Boediarto, Komisaris; dan
Mohammad Joesoef, Komisaris.

Tahun  1928  M. Amir tamat belajar di Fakultas Kodokteran, Universitas
Utrecht, dan oleh sebab itu berhak menyandang gelar Arts dan huruf Dr.
di  depan  nama.  Ia kembali ke Jakarta dan menikah dengan C.M. (Lien)
Fournier,  kemenakan yang cantik dari Ir. F.L.P.G. Fournier, pensiunan
Insinyur  Kepala  (Hoofdingenieur) Pos, Telegraf dan Telepon dan Ketua
Gerakan Theosophie di Hindia Belanda.

Pada  tahun  yang sama, Moh. Jamin, kerabat M. Amir yang masih belajar
sebagai  mahasiswa  di  Rechtshoogeschool  (Sekolah  Tinggi  Hukum) di
Jakarta, terpilih menjadi Ketua Pengurus Pusat Jong Sumatranenbond.

Selain  bekerja  sebagai psikiater, Dr. M. Amir juga menjadi pengarang
dan  budayawan yang terkemuka. Ia banyak menulis karangan yang, antara
lain,  dimuat  dalam  majalah  budaya  Poedjangga  Baroe,  di  sini ia
menentang  gagasan  Soetan  Takdir  Alisjahbana  yang mempropagandakan
Westernisasi,  meskipun  gaya  hidupnya  sendiri sangat merupakan gaya
hidup orang Eropah.

Tahun  1934  Dr.  M.  Amir  pindah ke Medan sebagai dokter pemerintah.
Djamaloedin Adinegoro, kerabat dari Talawi yang lebih muda empat tahun
dan  atas  saran  penerbit  Landjoemin  gelar  Datoek Toemengoeng juga
menggunakan nama Adinegoro supaya tulisan-tulisannya dibaca oleh lebih
banyak  pembaca,  sudah  berada di Medan sebagai redaktur Pewarta Deli
sejak 1931.

Dr. M. Amir dan Ny. C.M. Amir-Fournier memperoleh seorang putra, Anton
(Tony)  Amir,  dan seorang putri, Anneke Amir. Keduanya kemudian, pada
akhir  tahun  1950-an,  menjadi dokter di Utrecht dan tetap berdiam di
Utrecht.

Tahun  1937  Dr. M. Amir diangkat menjadi dokter pribadi dari Toeankoe
Machmoed  Abdoel  Djalil  Rachmat  Sjah  (1893-1948),  Sultan Langkat,
ketika Sultan ini curiga bahwa ada yang hendak meracuninya. Tahun 1945
Dr.  M.  Amir  sekeluarga  pindah  berdiam  di  Tanjung  Pura, ibukota
Kesultanan Langkat.

Dalam  bulan  Agustus  1938  Djamaloedin  Adinegoro  terpilih  menjadi
anggota  Gemeenteraad (Dewan Kotapraja) Medan dan menjadi satu-satunya
orang pribumi yang menempati jabatan wethouder.

Tahun  1940  kumpulan karangan Dr. M. Amir diterbitkan di Medan dengan
judul Boenga Rampai.

Pada  akhir  tahun  1942  Dr.  M.  Amir diberitakan mengalami serangan
pendarahan otak (Apoplexie).

Ketika  dalam  Perang  Durna  II tentara Jepang mengalahkan Belanda di
kepulauan  Indonesia  dan  juga menduduki Sumatera. Pulau ini, bersama
dengan  semenanjung  Malaya,  ditempatkan  di  bawah kekuasaan Tentara
Ke-25. Kawasan ini dianggap oleh Jepang sebagai kawasan yang mempunyai
nilai  strategis  karena  letaknya  dan  sebagai  sumber bahan mentah,
terutama  minyak,  karet  dan  timah.  Bulan April 1943 daerah Sumatra
dipisahkan  dari  semenanjung Malaya dan sejak itu Tentara Ke-25 hanya
menguasai Sumatra.

Salah  satu  badan  yang  didirikan  tanggal  28  November  1943  oleh
pemerintah  militer  Jepang  untuk  mendukung usaha-usahanya di daerah
Sumatra  Timur adalah Badan Oentoek Membantoe Pertahanan Asia (BOMBA).
Dr. M. Amir menjadi anggota dan kemudian pembicara utama dari BOMBA di
Langkat,   yang   beranggotakan   baik   tokoh-tokoh  kerajaan  maupun
tokoh-tokoh pergerakan kebangsaan Indonesia.

Dalam  masa  pendudukan  Jepang  itu  Dr. M. Amir, yang beristri orang
Belanda, juga mengadakan hubungan erat dengan tokko-ka (polisi politik
Jepang).

Tanggal  14  Agustus  1945 Mr. Teuku Moh. Hassan dan Dr. M. Amir, yang
diundang  untuk menghadiri sidang-sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia  sebagai  wakil dari penduduk di Sumatra atas usul Drs. Moh.
Hatta,  pergi  ke  Jakarta  melalui  Singapura, di sana mereka bertemu
dengan  rombongan  Ir.  Soekarno,  Drs.  Moh.  Hatta  dan Dr. Radjiman
Wediodiningrat  yang baru kembali dari kunjungan menghadap Marsekal H.
Terauchi,  Panglima  Angkatan Bersenjata Jepang di Wilayah Selatan, di
Dalat,  Indo  China. Mereka terbang bersama dengan menggunakan pesawat
pembom  Jepang  ke  Jakarta. di sana Mr. Abdoel Abbas, Ketua Shu Sangi
Kai  Lampung,  bergabung  dengan  Mr. Teukoe M. Hassan dan Dr. M. Amir
mewakili  Sumatra dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI).

Bersama  Mr.  T.M.  Hasan,  Dr.  M.  Amir atas nama Sumatra menghadiri
sidang  persiapan naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia dan kemudian
pukul  10:00  tanggal  17  Agustus  1945  ikut  menyaksikan  pembacaan
Proklamasi  Kemerdekaan Indonesia yang dilakukan oleh Ir. Soekarno dan
Drs. Moh. Hatta atas nama rakyat Indonesia.

Keesokan  harinya,  tanggal  18  Agustus Dr. M. Amir menghadiri sidang
Panitia  Persiapan  Kemerdekaan  Indonesia yang meletakkan dasar-dasar
dari  negara  baru  yang  sehari sebelumnya dinyatakan merdeka, antara
lain,  dengan  mensyahkan  dan  menetapkan  Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia yang kini dikenal sebagai Undang-Undang Dasar 1945;
memilih  Ir.  Soekamo sebagai Presiden dan Drs. Mohammad Hatta sebagai
Wakil  Presiden  Negara  Republik  Indonesia;  serta  memutuskan bahwa
pekerjaan  Presiden  untuk  sementara waktu dibantu oleh sebuah Komite
Nasional Indonesia (KNI).

Tanggal  19 Agustus Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia menetapkan
pembagian  wilayah negara Republik Indonesia dalam 8 propinsi. Sumatra
dijadikan  suatu  propinsi.  Mr.  Teuku  Mohammad Hassan, yang sebelum
Jepang  menduduki  Sumatra  bekerja di Kantor Gubemur Sumatra diangkat
menjadi   Gubernur  Propinsi  Sumatra  dengan  Medan  sebagai  ibukota
propinsi.

Dalam  sidang  PPKI yang ketiga dan terakhir, yang diadakan tanggal 22
Agustus,  Panitia  tersebut mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI)
sebagai  partai  negara; Komite Nasional Indonesia (KNI) sebagai dewan
perwakilan  rakyat  di pusat dan pada jenjang-jenjang kewilayahan yang
lebih  rendah;  dan  Badan Keamanan Rakjat sebagai angkatan bersenjata
negara.

Tanggal  23 Agustus Mr. T. Moh. Hassan dan Dr. M. Amir terbang kembali
ke  Medan  dengan  salah  satu  pesawat Jepang terakhir yang diizinkan
terbang  oleh  Sekutu yang telah berhasil mengalahkan Jepang. Di Medan
kedua    tokoh    ini    tidak   menyebarluaskan   informasi   tentang
peristiwa-peristiwa   yang   terjadi   di   Jakarta  berkenaan  dengan
proklamasi  kemerdekaan  Indonesia  dan  pembentukan  negara  Republik
Indonesia.

Tanggal  5 September ditetapkan pembentukan suatu Kabinet Presidentiil
di bawah pimpinan Ir. Soekarno yang antara lain beranggotakan Dr. Moh.
Amir  sebagai  Menteri  Negara  bersama  dengan Wachid Hasjim, Mr.R.M.
Sartono  dan  R.  Oto Iskandar Dinata yang masing-rnasing juga menjadi
Menteri Negara.

Tanggal  17  September  sekelompok  aktivis politik mengunjungi Dr. M.
Amir  di  rumahnya  di Tanjung Pura untuk mendesak Dr. Amir, mengingat
bahwa  Jepang telah menyerah kepada Sekutu dan untuk menghindari upaya
Belanda   untuk   kembali   berkuasa   di  Sumatra,  agar  mengumumkan
kemerdekaan Indonesia juga di Sumatra.

Hampir  dua minggu sesudah Proklarnasi Kemerdekaan Indonesia diumumkan
di  Jakarta  dan  seminggu  setelah Mr. T. Moh. Hassan dan Dr. M. Amir
kembali  di  Medan  dari  kunjungan  ke Jakarta, dalam suatu pertemuan
dengan  sejumlah  pemuda  di  Jl. Ampelas, di sana terjadi pembicaraan
yang  berapi-api.  Mr.  T.  Moh. Hassan mengungkapkan bahwa sebenarnya
Indonesia sudah dinyatakan merupakan bangsa dan negara yang merdeka.

Pada  tanggal  3  Oktober  Pemerintah  Negara  Republik  Indonesia  di
Sumatra,  di  bawah  pimpinan  Gubemur  Mr. Teukoe Moh. Hassan, dengan
resmi  mulai  menyelenggarakan  pekerjaan  pemerintahan. Dan tanggal 6
Oktober Gubemur Hassan mengumumkan pembentukan Tentara Keamanan Rakyat
(TKR).

Tanggal  17  Oktober  Gubemur  Sumatra,  Mr. T. Moh. Hassan menyatakan
kesediaan  bekerjasama  dengan  tentara Sekutu dalam pelaksanaan tugas
Sekutu,  yaitu melucuti senjata tentara Jepang dan membebaskan tahanan
mereka,   tapi  tidak  membenarkan  Belanda  kembali  ke  Sumatra  dan
mengganggu keamanan dan ketentraman umum.

Dalam  pada  itu  Belanda  berusaha  kembali  berkuasa  di  Medan  dan
mengikuti  tentara  Inggris  mendarat  di  Sumatra  Timur.  Tanggal 19
Oktober  tentara  Inggris  di  bawah  piinpinan  Brig.Jen T.E.D. Kelly
mendarat   di   Belawan   dan   dengan  diikuti  oleh  pejabat-pejabat
Netherlands   Indies   Civil  Administration  (NICA),  pejabat-pejabat
Belanda  yang  hendak  kembali  berkuasa  di  bekas  tanah  jajahannya
bergerak   ke   Medan.   Komandan   tentara   Inggris,  Kelly,  segera
memerintahkan  sekalian  penduduk  yang bersenjata menyerahkan senjata
mereka  masing-masing  kepada  tentara  Sekutu,  tindakan sangat tidak
bijaksana yang mengakibatkan kemarahan para pemuda pejuang kemerdekaan
yang tentu saja tidak menyerahkan senjata mereka.

Tanggal  26  November  Dr. Amir Mendampingi Gubemur Mr. T. Moh. Hassan
bersama  Mr.  Mohammad  Joesoef  dan  Mr.  Luat Siregar, sebagai wakil
Pemerintah  R.I.  di  Sumatra,  mengadakan  pertemuan  di Grand Hotel,
Medan,  dengan  pihak  Sekutu  yang terdiri atas Let. Jen. Sir Philips
Christison,  Panglima Tentara Sekutu di Indonesia; May. Jen. Chambers,
Panglima  Tentara  Sekutu  di  Sumatra  dan Brig. Jen. Kelly, Panglima
Tentara Sekutu di daerah Medan. Gubemur Teuku Hassan menjelaskan bahwa
rakyat  di  Sumatrapun menghendaki kemerdekaan 100% dan bahwa Sumatra,
Jawa  dan  daerah-daerah lain di Indonesia tidak dapat dipisahkan satu
sama lain.

Dalam  bulan  Desember Dr. Amir diangkat menjadi Wakil Gubemur Sumatra
yang  mewakili  Gubemur  bilamana  Mr.  T. Moh. Hassan tidak berada di
Medan.

Tanggal  13  Desember  Dr.  Amir,  yang menerima tawaran Inggris untuk
berkunjung   ke   Jawa   dengan   pesawat   terbang  militer  Inggiis,
bersama-sama  dengan Mr. Luat Siregar, Ketua Komite Nasional Indonesia
(KNI)  Medan;  Djamaludin  Adinegoro, wakil Pemerintah di Bukittinggi;
dan  Dr.  Djamil,  Ketua  KNI Padang, tiba di Jakarta untuk mengadakan
pembicaraan  dengan  tokoh- tokoh Republik seperti Ir. Soekarno, Sutan
Sjahrir  dan  Mr.  Amir  Sjarifoedin.  Mereka menyatakan bahwa Sumatra
sepenuhnya  berada  di  belakang Republik Indonesia yang dipimpin oleh
Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta.

Rombongan  Dr.  Amir juga mengadakan perjalanan keliling di Jawa untuk
melihat  keadaan  umum di bawah Pemerintah Republik Indonesia di pulau
ini.

Sehari sesudah rombongan Dr. M. Amir berangkat ke Jakarta, tanggal 14
Desember,  di  Medan sendiri terjadi berbagai pertempuran lokal antara
unsur-unsur Tentara Inggris dan Belanda di satu pihak dan para pembela
kemerdekaan  Indonesia  di lain pihak sebagai akibat provokasi tentara
Inggris dan Belanda.

Sebelum rombongan kembali ke Medan, pada tanggal 29 Desember, Presiden
Ir.   Soekarno   mengadakan   jamuan  perpisahan  dengan  para  utusan
Pemerintah  di  Sumatra, yaitu: Dr. Amir, Mr. Luat Siregar, Dr. Djamil
dan  Adinegoro.  Jamuan  makan  dihadiri juga oleh wakil Presiden Drs.
Moh.  Hatta; Menteri Kesehatan Dr. Dr. Daarmasetiawan; Jaksa Agung Mr.
Kasman  Singodimedjo;  Sekretaris  Negara  Mr.  A.G. Pringgodigdo; Mr.
Sartono.

Dalam  pidatonya, Dr. Amir menyatakan terimakasih atas kesempatan yang
diberikan  untuk  meninjau  Jawa  Tengah  dan  Jawa  Tiinur. Kunjungan
rombongan  menyakinkan  para anggota rombongan bahwa revolusi didukung
oleh  seluruh  rakyat  di  Jawa, hal mana merupakan kekuatan yang amat
besar.  Kekuasaan  Pemerintah  Republik Indonesia, sebagaimana dilihat
oleh  para  anggoota rombongan nyata sekali terwujud di Jawa, terutama
di  Jawa  Tengah  dan  Jawa  Timur, sehingga menghilangkan kebimbangan
rakyat  di  Sumatra  bahwa  Pemerintah  Republik Indonesia tidak dapat
mengendalikan rakyat di seluruh wilayah Indonesia.

Tanggal  3  Januari  1946  Dr.  Amir kembali ke Medan dari Jakarta dan
mengumumkan  bahwa  Pemerintah  Republik  Indonesia menganggap Sumatra
secara politik dan ekonomi terlepas dari Jawa dan bebas dan mengadakan
tindakan apa saja asal tidak bertentangan dengan kepentingan Republik,
pernyataan  yang  kemudian  harus diralat oleh Gubemur Sumatra, Mr. T.
Hasan,  yang  menyatakan  dengan  tegas bahwa Pemerintah Sumatra tidak
melakukan  kebijaksanaan  yang  berbeda  daripada  yang dilakukan oleh
Pemerintah Pusat di Jawa.

Setelah  kembali  dari  perjalanan ke Jawa, atas usul Dr. Amir, Sultan
Langkat  mengundang  para  Sultan  di  daerah Sumatra Timur pada suatu
konferensi  di  Tanjung Pura untuk membicarakan masalah kerajaan. Pada
konferensi   ini  Dr.  Amir  menjelaskan  bagaimana  baiknya  hubungan
kerjasama  antara  Sultan Yogyakarta dan Pemerintah Republik Indonesia
dengan himbauan agar hubungan ini dijadikan contoh oleh para Sultan di
daerah  Sumatra  Tirnur.  Konferensi  sepakat  untuk mengadakan Komite
Nasional  Indonesia  (KNI)  setempat, sebagai wujud kedaulatan rakvat,
dan   bahwa  para  Sultan  akan  menyelengarakan  pemerintahan  dengan
sebanyak mungkin bekerja sama dengan KNI setempat.

Tanggal  3  Februari  Dr.  Moh.  Amir,  sebagai Wakil Gubemur Sumatra,
menghadiri  pertemuan  Gubernur Sumatra Mr. Teuku Moh. Hassan; Residen
Sumatra  Timur  Tengku  Hafaz,  Walikota  Medan Mr. Muhammad Jusuf dan
pejabat-pejabat  lain  dari  Pemerintah  Republik Indonesia di Sumatra
dengan  para  Sultan,  Raja dan Sibayak di Gedung KNI Sumatra Timur di
Sukamulia.  Di  antara  para Sultan hadir Sultan Langkat, Sultan Siak,
Sultan  Deli.  Sultan  Asahan, Putera Mahkota Serdang, Raja Indrapura.
Raja  Bilah,  Raja  Siantar,  Raja  Suka, Raja Panei, Raja Purba, Yang
Dipertuan   Kualuh  dan  Leidong,  dan  sebagainya.  Sesudah  Gubernur
menyampaikan  pidatonya, berbicara Sultan Langkat atas nama Sultan dan
para  Raja. Kemudian berbicara Dr. Amir yang menjelaskan bahwa masalah
Indonesia  sekarang  bukan  lagi  hanya masalah kita dan Belanda saja,
melainkan  telah  menjadi masalah internasional, Dunia bersimpati pada
perjuangan   Indonesia  dan  Indonesia  tidak  segan-segan  mengajukan
masalah kemerdekaannya kepersidangan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Dr.  Amir  juga  menjelaskan bahwa di Jawa Susuhunan Surakarta, Sultan
Yogyakarta,   Pangeran   Pakualam   dan  Pangeran  Mangkunegoro  telah
menyesuaikan  susunan  pemerintahan  di  daerah  masing-masing  dengan
tuntutan  kedaulatan rakyat. Pada akhir pidatonya, ia mengatakan bahwa
"baik  ditilik dari sudut politik, diplomasi maupun militer, kedudukan
Republik  Indonesia  adalah  sungguh  kuat dan tangguh". Untuk memberi
penjelasan  tentang  perubahan  besar  yang  sedang  terjadi berkenaan
dengan   hubungan   antara  pemerintah  dan  rakyat  di  Indonesia  di
daerah-daerah  lain  di pulau Sumatra, pada tanggal 6 Februari Gubemur
Mr.  T.  Moh.  Hassan, beserta rombongan yang diangkut dengan 7 mobil,
berangkat  dari Medan lewat Brastagi dan Sumatra Tengah menuju Sumatra
Selatan. Dr. Moh. Amir tetap tinggal di Medan sebagai pejabat Gubemur.

Tanggal  27  Februari  sampai  2  Maret Dr. Amir, yang didampingi oleh
Joenoes Nasution, Ketua Partai Komunis Indonesia (PKI) Sumatra Tiinur,
mengadakan  perjalanan keliling naik kereta api istimewa untuk memberi
penjelasan   mengenai   keadaan   umum   kepada   khalayak  ramai  dan
membangkitkan semangat perjuangan di Pematang Siantar, pusat Persatuan
Perjuangan,  dan  Tebing  Tinggi,  Kisaran dan Tanjung Balai, ibu kota
Kesultanan Asahan.

Maka,   tanggal   3  Maret  "Revolusi  Sosial",  yang,  dipimpin  oleh
unsur-unsur  radikal  dari  Persatuan  Perjuangan,  yang  terdiri dari
aktivis-aktivis  Pesindo,  PNI,  dan  PKI.  pecah  di  Sumatra  Timur,
terutama  di  Sunggal (Deli), Kabanjahe (Karo), Tanjung Balai (Asahan)
dan Pematang Siantar.

Banyak  anggota  kaum  bangsawan,  termasuk Raja Pane sekeluarga, Raja
Raya,  Tengku  Musa,  Sultan  Kualah dan Tengku Amir Hamzah, sastrawan
terkemuka, dibunuh oleh kaum pemberontak.

Tanggal  5  Maret  Wakil Gubemur Sumatra, Dr. Moh. Amir, mengangkat M.
Joenoes Nasution menjadi Residen Sumatra Timur.

Dalam  rangka  "Revolusi  Sosial"  tanggal 6 Maret Distrik Serbanyaman
(Kesultanan  Deli)  dan  Kesultanan  Serdang dihapuskan sebagai daerah
istimewa oleh rakyat.

Tanggal  7  Maret  Sultan  Asahan  melarikan diri ke laut tapi akhimya
menyerah di pulau Buaya.

Dalam suatu rapat raksasa di dekat Mesjid Raya di Medan, yang dihadiri
juga  oleh  Residen Sumatra Timur M. Joenoes Nasution, rakyat mendesak
Komite  Nasional  Wilayah  Deli  untuk  menghapuskan  daerah istimewa.
"Hapuskan  daerah  isdmewa! Hapuskan pemerintah kerajaan Deli! Dirikan
pemerintahan  dari  rakyat,  oleh  rakyat  dan untuk rakyat! " Akhimya
diproklamasikan penghapusan daerah istimewa Deli.

Tanggal  8  Maret  daerah  istimewa  Tanah  Karo  atas kehendak rakyat
dinyatakan  hapus  sebagai daerah istimewa. Juga daerah istimewa Bilah
dan Panai dihapus sebagai daerah istimewa.

Mengenai  peristiwa-peristiwa  tersebut  di atas. Moh. Amir memberikan
penjelasan  sebagai  berikut:  "Untuk  mengerti  kejadian  yang  hebat
sekarang (revolusi sosial) di Sumatra Timur, haruslah diketahui, bahwa
di  seluruh  pulau Sumatra semenjak beribu tahun ada susunan demokrasi
di kampung dan hutan dan negari, kecuali di Sumatra Timur, yang sampai
sekarang  masih  menjadi  sarang  dan benteng feodalisme (pemerintahan
keningratan).  Di  luar  Sumatra  Timur,  rakyat jelata selama NRI ini
adalah  rakyat  yang  merdeka,  yang dibela oleh grondwet, pemerintah,
laskar  Republik.  Rakyat  Sumatra  Timur  hidup  dalam "daerah-daerah
istimewa"   (kerajaan,  landscape  di  bawah  pemerintahan  raja-raja,
datuk-datuk,  dan  lain-lain  kaum feodal yang umumnva tidak suka pada
pergerakan  rakyat  (nasional)  dan  tidak  suka pada Republik. Antara
mereka  banyak  pula  yang  dengan  berterang-terang  atau bersembunyi
mengatur  perlawanan  untuk menentang NRI dan berhubungan dengan NICA.
Setelah rakyat dengan barisan-barisannya melihat hal-hal pengkhianatan
itu,  maka  mereka  dengan  segera  bertindak  dengan  tak sabar lagi,
membantu pemerintah, menyapu bersih musuh-musuh negara itu, dan rakyat
menuntut  supaya  daerah-daerah  istimewa,  benteng  feodal yang telah
menyawa  dengan  musuh-musuh  negara dan kapitalisme asing itu, dengan
segera  supaya  NRI di seluruh Sumatra ini ditegakkan atas sendi-sendi
yang  betul, menurut grondwet NRI: kedaulatan rakyat dan kesejahteraan
sosial."   Yang  disebut  grondwet,  istilah  bahasa  Belanda,  adalah
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.

Tanggal  22  Maret  Gubernur  Mr.  Teuku Moh. Hassan kembali berada di
Medan  sesudah menyelesaikan perjalanan yang berhasil baik ke Sumatera
Tengah dan Sumatra Selatan.

Keesokan  harinya,  tanggal  23  Maret,  Komandan Divisi ke-4 TRI Kol.
Achmad  Tahir,  mengumumkan  melalui surat-sumt kabar bahwa Pemerintah
sipil di seluruh keresidenan Sumatra Timur, jadi termasuk Medan, untuk
sementara diganti dengan pemerintah militer di bawah Mahroezar.

Tanggi 20 April 20 intelijen Belanda memperoleh surat putera Dr. Amir,
Tony,  yang  ditujukan  kepada  seorang teman, orang Belanda, di Medan
yang  antara  lain, dinyatakan bahwa "bilamana keadaan tetap memburuk,
dalam 2 hari kami akan berada di kapal yang menuju ke Eropah."

Atas  permintaan  Dr.  Amir yang semakin khawatir mengenai keselamatan
keluarganya,  pada  tanggal  23  April rumah tempat kediamannya dijaga
tentara  India  Inggris  yang  ditugaskan oleh Pimpinan Tentara Sekutu
untuk melindungi Wakil Gubemur.

Akhimya,  tanggal  25 April Dr. Amir sekeluarga melarikan diri ke kamp
Rapwi di Medan dan meminta perlindungan pada A.J. Spits, Gubernur NICA
untuk  Sumatra,  di  Medan,  kecewa  dengan  keadaan  yang tidak dapat
diatasinya,  dan  kekhawatiran akan ancaman terhadap hidupnya. Gubemur
Spits   oleh   Pemerintah  Hindia  Belanda  di  Batavia  diperintahkan
mengusahakan   penyingkiran   Dr.   Amir  sekeluarga  dari  Medan  dan
mengangkut mereka ke Sabang.

Pembelotan  Dr.  M.  Amir,  Wakil  Gubemur  Sumatra dan satu dari tiga
pemimpin  yang  mewakili Sumatra pada Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
di  Jakarta, ke pihak musuh tentu sangat memprihatinkan para pemirnpin
Negara  Republik  Indonesia yang justru sedang berusaha memperlihatkan
kepada  dunia  internasional  bahwa  Pemerintah  Republik Indonesia di
dukung   oleh  seluruh  rakyat  Indonesia  dan  bahwa  Pemerintah  ini
berkemampuan memelihara ketertiban dan keamanan di wilayah negara yang
baru dinyatakan merdeka ini.


Tanggal  30  April Dr. Amir menulis surat piibadi dalam bahasa Belanda
kepada  dr. E.O. Baron van Boetzelaer, wd. le Gouvernements secretaris
(pejabat  Sekretaris  Pertama Pemerintah Hindia NICA), di Batavia yang
dalam  terjemahan  bahasa  Indonesia  berbunyi  sebagai berikut: "Dari
siaran radio anda pasti telah mengetahui tentang pelarian kami ke kamp
Rapwi  di Medan. Kami menumpang untuk sementara waktu pada orang dekat
pasar   pusat  di  Medan  sini.  Di  daerah  tersebut  sering  terjadi
perampokan,  penembakan,  penculikan,  dan sebagainya. Ketika seminggu
yang lalu kami diserang untuk ketiga kalinya, serangan dapat ditangkis
oleh  prajurit  India-Inggris,  yang  saya  peroleh dari pihak Inggris
sebagai  perlindungan. Saya memutuskan bahwa telah tiba waktunya untuk
segera  bertindak  mengakhiri  keadaan  kami  yang semakin tidak dapat
dipertahankan.  Sejak  beberapa  bulan  saya  menjadi Gubemur Propinsi
Sumatra  dan  saya  berusaha  menggerakkan para pemuda untuk melakukan
pekerjaan yang bersifat membangun, tetapi percuma saja. Mereka di sini
hendak  berkelahi  juga  bila perundingan di Batavia sampai pada suatu
kesepakatan.  Berjuang  di  sini  sekarang  ini  tidak ada manfaatnya.
Kelompok-kelompok  ekstrim di sini lebih kuat dari pada polisi, T.R.I.
Wewenang kami didasarkan atas kertas, keadaan ekonomi, keuangan, semua
kacau  balau,  karena kadaan yang ditimbulkan oleh tidak adanya tenaga
ahli.  Ditambah lagi kedudukan miring dari kami sendiri. Sebagai orang
Indonesia  saya harus ikut berjuang di pihak Republik, saya tahu bahwa
hanyalah  dengan  bekerja  sama  dapat  terwujud  sesuatu  yang  baik,
terorisme menutup mulut kami. Lien, karena semua pengalaman yang buruk
ini  menjadi  sakit  jiwa (nerveus), harus selekas mungkin ke Holland.
Kami  berfikir  bahwa  segera  sesudah masalah Indonesia pada dasarnya
dapat  terselesaikan,  kami  akan  pergi  ke Eropah, tapi perkembangan
peristiwa-peristiwa  (keadaan  syaraf  Lien,  pelarian  kami  ke kamp,
pemutusan  hubungan  saya  dari  NRI  dan penggabungan saya pada pihak
Pemerintah  Hindia  Belanda)  mengakibatkan pelarian keluar negeri ini
menjadi keharusan. Disini kami tidak aman lagi .."


Tanggal 10 Mei Dr. Moh. Amir, istri Belanda dan kedua anaknya diangkat
dengan pesawat terbang ke Sabang.

Tanggal  17  Mei  Dr. Moh. Amir menulis surat pribadi lagi ke dr. E.O.
Baron  van Boetzelaer, yang dalam terjemahan bahasa Indonesia berbunyi
sebagai  berikut:  "Jumat  Minggu  lalu kami telah tiba di sini dengan
pesawat  terbang  dari  Medan, dan haruslah saya katakan bahwa di sini
sangat,  sangat tenang, sesudah perampokan dan penembakan di Medan....
Bagaimanakah  jalannya  penindingan?  Front  Rakyat  di Sumatra ingin,
adalah suatu lelucon bila tercapai kesepakatan, meneruskan perlawanan,
hal  ini, mengingat adanya perpecahan dan kurangnya senjata. Justru di
Sumatra,  yang terdapat kekurangan pemimpin dan tenaga ahli, kerjasama
dengan  Belanda  akan  menguntungkan  -  asal  saja  kaum teroris yang
sedikit  jumlahnya  itu  dapat ditundukkan. Pemerintah Indonesia tidak
mampu  melakukannya, karena T.R.1. boleh dikatakan belum terorganisasi
secara baik dan bersenjata lengkap. "

Kemudian  Dr.  M.  Amir sekeluarga diangkut ke Belanda, di sana mereka
berdiam  di kota Utrecht, tempat pemuda Amir belajar sebagai mahasiswa
dalam tahun-tahun 1920-an.

Rupanya   ia   tetap   ingin  membuktikan  dirinya  untuk  kepentingan
bangsanya,  bangsa Indonesia, tapi malu kembali ke Surnatra Timur yang
ia   telah   melakukan   tindakan   yang   dapat  ditafsirkan  sebagai
pengkhianatan  pada  bangsanya. Oleh sebab itu, tahun 1947 Dr. M. Amir
kembali  ke  Indonesia  dan,  dengan  bantuan dr. D.J. Warouw, seorang
sahabat  lama  selagi mereka masih siswa di Stovia yang tahun 1947 itu
menjabat  jabatan  Perdana  Menteri  Negara  Indonesia Timur (NIT). Ia
bekerja  di rumah sakit di Gorontalo, lalu pindah ke Palu dan akhirnya
ke  Makassar,  ibukota NIT, bekerja sebagai dokter, atas permintaannya
sendiri,  di  tempat-tempat yang ia tidak dikenal. Pengalaman pahit di
Sumatra   Timur  mengakibatkan  Dr.M.Amir  kehilangan  semangat  untuk
bergerak dalam lapangan politik, ilmu pengetahuam ataupun kebudayaan.

Tahun  1949  Dr. Amir jatuh sakit parah dan harus menjalani pembedahan
di  otaknya  sehingga  ia  diterbangkan  ke  Belanda tempat ia menjadi
pasien  di  suatu  rumah  sakit di Amsterdam. Dalam keadaan sakit itu,
pada  akhir  hayatnya,  ia masih menyampaikan nasehat kepada kemenakan
dan  kawan-kawan sesama orang pribumi di Indonesia yang masih bujangan
agar tidak mengawini orang asing sebagaimana telah dia lakukan sendiri
sehingga  terpaksa menderita akibatnya. Ia kemudian meninggal di rumah
sakit  tersebut  tanpa  diketahui  orang banyak, jauh dari bangsa yang
dicintainya. Sesuai dengan permintaannya, jenazahnya dibakar di tempat
pembakaran mayat (crematorium).

Daftar Pustaka
Amir, Moh., Boenga Rampai ______________, Melawat ke Djawa
Anonim.  (1980).  Bahder  Djohan:  Pengabdi kemanusiaan. Jakarta: P.T.
Gunung Agung,
Bachtiar,  Harsja W., "Me development of common national consciousness
among    students    from    the   Indonesian   archipelago   in   the
Netherlands."Majalah  ilmu-ilmu  Sastra Indonesia, Jld. VI, No. 2, Mei
1976,  hlm.  3  1  - 44. ______________, (1981). "Muhammad Yamin: dari
desa  ke Indonesia Raya." Dalam: Imej dan Cita-cita: Kertas kerja Hari
Sastera  1980  Kuala  Lumpur:  Balai Bahasa dan Pustaka, hlm. 191-211.
______________, (1984).

"Kaum  cendekiawan di Indonesia: suatu sketsa sosiologi." Dalam; Aswab
Mahasis  dan Ismed Natsir, cd., Cendekiawan dan Politik. Cetakan ke-2.
Jakarta: LP3ES, 1984. hlm. 73-91.
Brugmans,  I.J.;  H.J.  de Graaf., A.H. Joustra; dan A.G. Vromans, ed.
(1980).   Nederlandsch-Indie  onder  Japanse  Bezetting:  Gegevens  en
documenten over de jaren 1942-1945. Francker: Wever.

Hamka, Merantau Ke Deli ______________, Kenang-kenangan Hidup
Hatta, Mohammad, (1982). Memoir, Jakarta, Tintamas.
"Mededeelingen van het Hoofdbestuur," Jong Sumatra, Thn. III, No. 2-3,
Februari-Maret  1920.  "Notulen van de Algemeene Ledenvergadering op 8
Februari  1920,  in  het  Logegebouw te Weltevreden te 9 u.v.m.," Jong
Sumatra, Tahun III, No. 1, Januari 1920, hlm. 3.
Oetoesan Melajoe, No. 152, 18 Agustus 1919; No. 157, 25 Agustus 1919.
PRIMA, (1976). Biro Sejarah, Medan Area Mengisi Proklamasi, Perjuangan
Kemerdekaan  dalam  Wilayah  Sumatera  Utara.  Jilid  I.  Medan: Badan
Musyawarah PRIMA.

Reid, A (1971). "The Birth of the Republic in Sumatra." Indonesia, No. 12, hlm. 
21-46.
______________, (1975).
"The Japanese occupation and rival Indonesian elites: Northern Sumatra
in  1942. " Journal of Asian Studies, Jld. XXXV, No. 1, November 1975,
hlm. 49-61. ______________, (1979).

The  Blood  of the People: Revolution and the end of traditional rule.
Kuala Lumpur, Oxford, New York dan Melbourne: Oxford University Press.

Raliby,  O.  (1953).  Documeta  Historica:  Sedjarah  dokumenter  dari
pertumbuhan  dan perdjuangan negara Republik Indonesia. Jakarta: Bulan
Bintang.
Said, Mohammad, (1946). Empat Belas Boelan Pendoedoekan Inggris di Indonesia. 
Medan: Antara. ______________, (1973).
"What was the social Revolution of 1946 in East Sumatra?" Indonesia. No. 15, 
hlm. 45-86.
Soebagijo I.N. (1987). Adinegoro: Pelopor jurnalistik Indonesia. Jakarta: CV 
Haji Masagung.
"Verslag Eerste Jaarvergadering," Jong Sumatra, Thn. II. No.2, Februari 1919, 
hlm. 40-41.
Wal,   S.L.   van  der.  ed.,  Officiele  Bescheiden  Bertreffende  de
Nederiands-Indonesische  Betrekkingen  1945-1950. Empat jidil pertama.
s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1971-74.




--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
=============================================================== 
Website: http://www.rantaunet.org 
=============================================================== 
UNTUK SELALU DIPERHATIKAN: 
- Hapus footer dan bagian yang tidak perlu, jika melakukan reply. 
- Posting email besar dari >200KB akan di banned, sampai yang bersangkutan 
menyampaikan komitmen akan mematuhi Tata Tertib yang berlaku. 
- Email attachment, DILARANG! Tawarkan kepada yang berminat dan kirim melalui 
jalur pribadi.
=============================================================== 
Jika anda, kirim email kosong ke >>: 
berhenti >> [EMAIL PROTECTED] 
Cuti: >> [EMAIL PROTECTED] 
digest: >> [EMAIL PROTECTED] 
terima email individu lagi: >> [EMAIL PROTECTED] 

Webmail Mailing List dan Konfigurasi keanggotaan lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe 
Dengan terlebih dahulu mendaftarkan email anda pada Google Account di
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke