Minkin iko nan kanda suryadi makasuik di SMS tadi malam?? iko ambo kirim
artikel di *Padang Ekspres ONLINE* Minggu, 21-Oktober-2007 beberapo pakan
nan lapeh, sepertinyo alun tabaco di Palanta RN lai.

Wassalam,
========


*Giliran Sejarah Perang Paderi yang Hendak Direvisi?*



Laporan itu dipicu oleh direpublikasikannya buku Mangaraja Onggang
Parlindungan, Pongkinangolngolan Sinamabela gelar Tuanku Rao: Teror Agama
Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak, 1816-1833 (Yogyakarta: LKiS, 2006)
(pertama kali diterbitkan oleh Penerbit Tandjung Pengharapan, Djakarta,
[1964]) dan satu buku lain karangan Basyral Hamidy Harahap, Greget Tuanku
Rao (Jakarta: Komunitas Bambu, 2007). Dalam buku itu, dan merujuk laporan
Tempo di atas, diceritakan kembali kekejaman dan kebrutalan yang telah
dilakukan Kaum Paderi waktu mereka melakukan ivansi ke Tanah Batak. Kedua
penulis, yang kebetulan berasal dari Tanah Batak, menceritakan penderitaan
nenek moyang mereka selama serangan pasukan Paderi antara 1816-1833 di Tanah
Batak yang dipimpin oleh komandan-komandan Paderi seperti Tuanku Rao, Tuanku
Lelo, Tuanku Asahan, dll.

Dalam kedua buku itu dikatakan pula bahwa Kaum Paderi mengembangkan gerakan
Wahabi di Sumatera setelah tiga pendirinya, Haji Miskin, Haji Sumaniak, dan
Haji Piobang terpengaruh oleh gerakan itu sewaktu mereka berada di Tanah
Arab dan kembali ke Minangkabau tahun 1803. Tetapi yang lebih menarik dalam
laporan Tempo itu adalah munculnya petisi agar gelar pahlawan nasional yang
diberikan kepada pemimpin Paderi, Tuanku Imam Bonjol, dicabut. Petisi itu
digerakkan oleh seorang pemuda asal Samosir, Mudi Situmorang. Menurutnya,
Tuanku Imam Bonjol tidak pantas diberi gelar pahlawan pejuang kemerdekaan,
karena Gerakan Paderi yang dipimpin ulama itu, yang dianggapnya sama dengan
Al-Qaeda sekarang, telah menewaskan jutaan orang di Tanah Batak. Mudi sedang
mengumpulkan tanda tangan, jika sudah sampai 500 akan diserahkan kepada
pemerintah.

Data sejarah memang menunjukkan bahwa beberapa panglima Paderi bermental
beringas dan sangat ditakuti. Data pribumi sendiri, yaitu Surat Keterangan
Syekh Jalaluddin (SKSJ) karangan Fakih Saghir, salah seorang ulama Paderi
dari golongan moderat, menceritakan dengan cukup detil keberingasan Tuanku
Nan Renceh, Pemimpin Paderi yang paling radikal dan ditakuti (Lihat
transliterasi SKSJ oleh E. Ulrich Kratz dan Adriyetti Amir: Surat Keterangan
Syeikh Jalaluddin Karangan Fakih Saghir. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka, 2002, yang disunting berdasarkan dua salinan naskahnya yang tersisa
di dunia dan kini tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, yaitu
L.Or.1743 dan L.Or.6138). Sejarah mencatat bahwa jalan radikal yang diambil
Tuanku Nan Renceh dan pengikutnya telah menimbulkan friksi di tubuh Gerakan
Paderi.

Golongan moderat yang dipimpin oleh Tuanku Nan Tuo dan Fakih Saghir akhirnya
memisahkan diri dari kelompok Tuanku Nan Renceh. Tapi, lepas dari
kontroversi di atas, gerakan hendak mencabut gelar pahlwan nasional terhadap
Tuanku Imam Bonjol adalah isu yang menarik. Ini dapat menimbulkan
siginifikasi teoretis terhadap konsep historiografi Indonesia yang telah
diketahui umum dan diakui selama ini oleh dunia akademik. Memang belum lama
ini ada kritik dari sejara[h]wan Bambang Purwanto agar meninjau kembali
historiografi Indonesia (lihat bukunya: Gagalnya Historiografi
Indonesiasentris? Jogjakarta: Ombak, 2006). Bisa-bisa kritik Madi terhadap
Tuanku Imam Bonjol ini akan menjadi preseden untuk mengkritisi gelar
pahlawan nasional yang sudah dianugerahkan kepada para pemimpin lokal
lainnya dari berbagai daerah yang di masa lalu sempat berkonfrontasi dengan
Belanda, seperti Sultan Hasanuddin, Pangeran Diponegoro, Pattimura, dll.

Persoalannya adalah bahwa pada masa mereka hidup konsep keindonesiaan itu
memang belum ada. Mereka memimpin peperangan dalam rangka ekspansi
teritorial kerajaan tradisional mereka, dan tak jarang tujuan itu diwujudkan
dengan menyerang dan menghabisi penduduk kerajaan-kerajaan tetangganya
(misalnya apa yang sering dilakukan Gowa dan Ternate terhadap Buton dan
kerajaan-kerajaan kecil lainnya di wilayah Indonesia Timur pada abad ke-17
dan 18). Bahwa kemudian mereka berhadapan dengan Belanda itu adalah karena
sebagai penguasa lokal mereka merasa terancam dari segi politik, ekonomi,
maupun hegemoni, oleh kedatangan orang-orang putih tinggi yang panjang akal
dari Eropa itu, selain bahwa memang penguasa-penguasa kerajaan kecil yang
ditindas oleh tangganya yang lebih kuat itu minta pertolongan kepada
Belanda. Rivalitas yang semula tertuju kepada kerajaan-kerajaan tetangga
kemudian diarahkan kepada Belanda, musuh dari luar.

Demikianalah umpamanya, bagaimana kita dapat mengatakan bahwa Gerakan Paderi
adalah perjuangan untuk keindonesiaan jika dalam pasukan kavaleri Belanda
yang pengepung Bonjol sejak tahun 1836 terdapat ratusan orang Ambon dan Jawa
dan malah beberapa orang di antaranya menduduki jabatan yang cukup tinggi
(komandan pasukan, misalnya), seperti dapat dibaca dalam laporan rinci empat
sumber pertama (bronnen) yang merekam pergerakan pasukan Belanda mengepung
Kaum Paderi di Bonjol selama bulan-bulan terakhir sebelum benteng terakhir
Kaum Paderi itu jatuh ke tangan Belanda pada pertengahan Agustus 1837 dalam
buku G. Teitler: Het Einde van de Padrie-oorlog Het beleg en de
vermeestering van Bonjol, 1834-1837; Een Bronnenpublicatie [Akhir Perang
Paderi. Pengepungan dan Perampasan Bonjol 1834-1837; sebuah publikasi
sumber] (Amsterdam: De Bataafsche Leeuw, 2004). Oleh karena itulah di
kalangan sejara[h]wan muncul perbedaan pendapat apakah Indonesia itu memang
dijajah Belanda selama 350 tahun atau hanya 150 tahun?
Setiap peristiwa sejarah bangsa ini di masa lalu terus menerus akan dikaji
ulang.

Tetapi istilah "pelurusan sejarah" yang sering dipakai sekarang ini seolah
mengandaikan bahwa sejarah yang akan (atau telah) ditulis ulang itu telah
benar-benar mempresentasikan (bukan merepresentasikan) kejadian yang
sebenarnya telah terjadi di masa lalu itu. Kenapa kita menggunakan istilah
yang terkesan sombong begitu? Pakai saja istilah kajian baru mengenai
sejarah Perang Paderi, misalnya. Dalam soal buku Parlindungan dan Basyral
adalah sulitnya bagi pembaca kritis untuk membuang persepsi bahwa perasaan
etnisitas – dengan demikian subyekif sifatnya – telah ikut mempengaruhi
tampilan narasi kedua buku itu, walaupun mungkin penulisnya sudah berusaha
menulis seobjektif mungkin (ini mungkin terkait juga dengan sifat Bahasa
Indonesia yang jelas tidak mungkin didiskusikan lebih dalam di sini).

Kecurigaan ini sebenarnya telah dikemukakan oleh Hamka dalam kritiknya
terhadap buku Parlindungan (Hamka, Antara Fakta dan Khayal "Tuanku Rao" […].
Jakarta: Bulan Bintang, 1974). Ini biasa terjadi dalam penulisan
historiografi lokal di Indonesia dimana kebanyakan penulisnya berasal dari
daerahnya masing-masing. Perasaan mengagungkan daerah sendiri sering muncul
agak transparan dalam kajian-kajian 'ilmiah' sejarah kita. Bukan sumber
kepustakaannya yang diragukan, tetapi kemungkinan munculnya bias
regionalisme dan subjektifisme etnisitas dalam membaca dan
menginterpretasikan sumber-sumber kepustakaan itu. (***)



*Oleh : *SURYADI, DOSEN LEIDEN UNIVERSITY
Majalah Tempo edisi 34/XXXVI/15-21 Oktober 2007 menurunkan laporan khusus
mengenai kontroversi kebrutalan Kaum Paderi yang terjadi di dataran tinggi
Minangkabau (1803-1837).



http://www.kotasolok.org/mod.php?mod=publisher&op=printarticle&artid=5537




2007/11/13, Lies Suryadi <[EMAIL PROTECTED]>:
>
>  Sanak Ephi Lintau,
> (dan sanak2 di lapau kasadonyo)
>
> Paratamo: ambo batanyo apokoh Ephi memang dari Lintau?
> Kalau memang iyo, ambo mohon info ciek: apokoh di Lintau ado sungai kecil
> nan batamo Batang Tampo?
> Ambo sadang menelusuri GENEALOGI PIAGAM BUKIK MARAPALAM. Seorang botanikus
> Belanda bernama Lodewijk Horner pernah mengunjungi bekas benteng Kaum Paderi
> itu Januari 1838 (jadi sekitar 5 bulan sasudah Benteng Bonjol jatuah ka
> tangan Ulando). Inyo manyabuik bahaso Benteng Marapalam tu di puncak bukik
> dimana di bawahnyo mangalia Batang Tampo. Kalau kito maengong ka utara
> tampak Gunuang Sago, keceknyo.
>  -~----------~----~----~----~------~----~------~--~---
>
>
>

--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
===============================================================
Website: http://www.rantaunet.org
===============================================================
UNTUK SELALU DIPERHATIKAN:
- Hapus footer dan bagian yang tidak perlu, jika melakukan reply.
- Posting email besar dari >200KB akan di banned, sampai yang bersangkutan 
menyampaikan komitmen akan mematuhi Tata Tertib yang berlaku.
- Email attachment, DILARANG! Tawarkan kepada yang berminat dan kirim melalui 
jalur pribadi.
===============================================================
Jika anda, kirim email kosong ke >>:
berhenti >> [EMAIL PROTECTED]
Cuti: >> [EMAIL PROTECTED]
digest: >> [EMAIL PROTECTED]
terima email individu lagi: >> [EMAIL PROTECTED]

Webmail Mailing List dan Konfigurasi keanggotaan lihat di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
Dengan terlebih dahulu mendaftarkan email anda pada Google Account di
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke