CUEK TERHADAP WAKTU:  'BOM' WAKTU

 

Sylvina Savitri & Eileen Rachman 

EXPERD

Soft Skills Training

 

Ditayangkan di KOMPAS, 10 November 2007

 

 

"The bad news is time flies. The good news is you're the pilot" (Michael
Althsuler)

 

Sudah hampir satu setengah jam berlalu dari waktu yang dijanjikan, namun
klien penting yang saya tunggu (dan saya pikir tengah mengharapkan
kehadiran saya), belum juga ada tanda-tandanya akan datang. Handphone
beliau off. Staffnya tak bisa memastikan apakah pimpinannya masih lama
datang atau sebentar lagi. Memang ini bukan yang pertama kali terjadi,
tapi tetap saja situasi begini bikin saya bengong. Ketika akhirnya
bertemu, beliau muncul dengan sumringah. Tidak tampak, apalagi terucap,
penyesalannya membuat saya menunggu hampir dua jam. Pun tidak tampak
bekas-bekas adanya kondisi urgen yang membuatnya terlambat. Jelas, ini
hal biasa untuknya.

 

Meski sudah millennium baru, di mana begitu banyak teknologi, mulai dari
HP, email, jam dan agenda yang bisa digunakan sebagai 'reminder' dan
alarm, namun budaya jam karet kita terasa betul masih begitu mengakar.
Meeting-meeting yang terlambat, deadline yang dilanggar, janji
dipatahkan, pesawat delay, adalah berita 'biasa'. Gawatnya, daripada
sekuat tenaga mengupayakan 'on time', kita malah kadang sekuat tenaga
memeras otak untuk mencari 'excuse' atas keterlambatan kita, mulai dari
jalanan macet, anggota tim sulit diatur, agenda ketinggalan. Padahal
label kalau bangsa kita ini punya budaya 'jam karet' sudah puluhan tahun
umurnya, namun nyata-nyata belum kadaluarsa juga. Apakah kita sama
sama-tidak merasa bahwa  kerongsokan pemanfaatan waktu ini sudah jadi
bom waktu, tinggal tunggu meledaknya? Bukankah untuk mengupayakan
berbagai keunggulan dan bisa 'menang', di era kompetitif ini kita perlu
terbiasa dengan "deadline", urgensi, efisiensi, bahkan upaya "mencuri
waktu"?

 

 

STOP Buang Kesempatan Emas

Seorang teman, pemilik sebuah kontraktor bangunan besar menceritakan
kiatnya dalam memenangkan kompetisi. "Yang penting bangunan kita bangun
tepat waktu. Bayangkan betapa banyaknya sumberdaya, material dan bunga
bank yang terbuang bila ada delay". Di sini hukum klasik "waktu adalah
uang" benar-benar berlaku. Sebaliknya, teman saya kehilangan kesempatan
kerja yang ia impikan karena terlambat hadir pada saat wawancara. Sepupu
saya sport jantung, hampir tidak jadi menikah, karena penghulunya tidak
bersedia menunggu lebih lama karena harus menikahkan di tempat lain.
Pernahkah kita kehilangan pelanggan karena servis kita lama, tidak
sesuai waktu yang dijanjikan? 

 

Setiap orang yang terlambat, lupa janji, teledor berlama-lama dalam
bekerja, sebenarnya punya rasa bersalah dalam dirinya. Namun, kita
banyak tidak menggarap rasa bersalah itu dengan melakukan tindakan
perbaikan. Sebagai akibat, kebiasaan bekerja dengan deadline,
menghormati waktu orang lain, tidak menjadi obsesi individu bahkan sudah
tidak terasa mengganggu lagi. Padahal, sebaliknya, "waktu" di-"mainkan"
dan dimanfaatkan orang lain untuk berbisnis. Dalam bisnis pelayanan
misalnya, jika kita ingin menyenangkan hati 'customer', maka menjaga
komitmen waktu sebetulnya adalah sarana yang sangat baik, sekaligus
paling sederhana. "Saya memilih perusahaan penerbangan ini, karena
selalu tepat waktu"  demikian komentar pelanggan. Bukankah hal ini
sebuah fitur pemasaran yang ampuh?

 

Mungkin kita tak boleh lagi menunda untuk mem-benchmark perusahaan yang
sudah sedemikian paham dan 'alert' bahwa waktu adalah hidup-matinya, dan
menciptakan berbagai tools yang membantu untuk selalu waspada dan
menjualnya sebagai nilai tambah, misalnya saja, Mc Donald punya jam
pasir, di mana pesanan sudah harus muncul sebelum pasirnya habis, atau
mereka akan kena penalti, harus memberi hadiah ke pelanggan.  

 

Bukan Sekedar Sibuk, tapi 'Sibuk' yang 'Added Value'

Kita tahu bahwa memang ada orang yang lebih pintar, lebih menawan, atau
lebih trampil dari yang lain. Dan, kita juga tahu bahwa setiap kita
punya 'modal' waktu yang sama, yaitu 24 jam atau 1440 menit atau 86400
detik sehari. Dengan modal waktu yang sama, kita perlu menguasai
trik-trik untuk bisa unggul. Seperti kalimat bijak Henry David Thoreau,
"It's not enough to be busy, so are the ants. The question is, what are
we busy about?

 

Teman saya, seorang eksekutif yang super sibuk, memimpin beberapa
perusahaan sekaligus, selalu kelihatan "punya banyak waktu" untuk
pelanggan maupun anggota timnya. Dengan santainya ia memilih pertemuan,
tugas, proyek yang penting saja untuk digarap. Sisanya, ia delegasikan.
Ia cermat mengkalkulasi waktu perjalanan di Jakarta, menghafal spot-spot
kemacetan lalu lintas, sehingga sangat jarang ia terlambat menghadiri
pertemuan. Ia pun tidak lupa "mengulik" waktu untuk beristirahat,
berelaksasi, merawat kecantikan, berkomunikasi telpon atau bahkan
berkontemplasi. Ia  yang senang bila disebut sebagai orang yang
"santai", seolah tidak pernah dikejar waktu. Inilah sebenarnya individu
yang "advanced" atau canggih dalam pemanfaatan waktu. 

 

Ambil Langkah Nyata, Sekarang!

Seorang kolega di sebuah perusahaan terkemuka, setiap kami bertemu
mengeluhkan budaya ngaret di kantornya yang begitu parah. Orang-orang
biasa datang ke kantor terlambat lebih dari satu jam, istirahatnya
diperpanjang semau gue dan pulang lebih cepat tanpa terlalu merasa
bersalah. Suatu hari, saya menemukan banner besar dipasang di tiap
lantai di kantornya yang berbunyi,"Ayo dooong, kerja tepat waktu..."
Ketika pertama melihat, saya tersenyum sendiri karena membaca nuansa
'desperado' dan 'capek deh...' di balik pesan sederhana itu. 

 

Namun, kemudian teman saya yang bekerja di kantor tersebut menceritakan
betapa mereka kini mulai meng-enjoy suasana efisiensi waktu, saling
hukum, saling monitor, saling memberi hadiah dan bahkan merayakan
efisiensi dan efektivitas waktu.  Satu hal yang tidak bisa kita lupakan,
suka tidak suka, campaign efisiensi waktu yang paling ampuh dan
sederhana adalah bila para manager, termasuk "top management",  mau
berkorban pasang badan sebagai role model yang 'walk the talk'.
Bayangkan betapa "happy"-nya kita bila sikap efisien waktu  ini kemudian
tertular ke bawahan, pelanggan bahkan ke lingkungan yang lebih luas
lagi. Reputasi perusahaan bisa menjadi "daya jual" tersendiri.

 


--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
===============================================================
Website: http://www.rantaunet.org
===============================================================
UNTUK SELALU DIPERHATIKAN:
- Hapus footer dan bagian yang tidak perlu, jika melakukan reply.
- Posting email besar dari >200KB akan di banned, sampai yang bersangkutan 
menyampaikan komitmen akan mematuhi Tata Tertib yang berlaku.
- Email attachment, DILARANG! Tawarkan kepada yang berminat dan kirim melalui 
jalur pribadi.
===============================================================
Berhenti, kirim email kosong ke:
[EMAIL PROTECTED]

Webmail Mailing List dan Konfigurasi teima email, lihat di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
Dengan terlebih dahulu mendaftarkan email anda pada Google Account di
https://www.google.com/accounts/NewAccount
===============================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke