Assalamualaikum WrWb. Dek (mungkin) sebagian dunsanak kita yang dari kecil hidup di rantau, dan tidak mengalami masa-masa bujang dikampuang, mungkin kadang agak heran dengan hobi masyarakat minang khususnya, dan sumatra umumnya, pengenai Tradisi Berburu Babi.
Melihat masalah yangdisampaikan oleh Uni Wita beberapa hari yang lalu, sepertinya sangat jelas terlihat kesalah pahaman, walau kita sama-sama tahu, memang seperti juga sebahagian kurenah nan bujang-bujang dikampuang awak, arogan, sok dan lain sebagainya. Tetapi dapat saya sampaikan bahwa, pekarang dibelakang rumah dunsanak kita tersebut yang dijadikan sebagai ajang lokasi buru babi, hanyalah kebetulan dan karena tidak senenang dengan tingkah laku dari para pemburu aja. Lokasi berburu gadang (istilah untuk acara babi yang besar), sepengetahuan saya selama ini tidak pernah dilakukan kedalam perkarangan rumah orang/penduduk, karena walaupun ada (dulu) babi disana, itu hanya babi kesasar yang seperti biasa hampir tiap pagi saya lihat disawah dekat rumah saya waktu ketek2 dulu. Kami (dulu) kalau melaksanakan alek baburu gadang, memang biasanya memulai melakukan buburu babi ini dari ateh (hutan belantara) ke bawah, ini dikarenakan, kalau kita mulai dari bawah, maka babi (hama) ini akan dengan gampang sekali masuk ke hutan yang lebih luas, tetapi dengan mengarahkan ke pinggiran pekampungan, maka mempersempit gerak babi2 ini untuk diburu, sehingga akan banyak yang bisa dibunuh oleh anggota. Seperti yang disampaikan juga oleh Mak Mantari Sutan tepo hari, memang sudah harap maklum, seandainya rumah kebun atau rumah tinggal yang berada tepat sekali dipinggir lokasi, dan para pemburu sedang istirahat, maka buah buahan memang seemak perutnya saja mengambil, tetapi masalah ini yang saya lihat, dapat dimaklumi oleh sebagian penduduk dikampung saya. Saran saya, sama hal seperti yang disampaikan sanak yang lain, kalau kejadian tempat saudara uni wita, memang bagusnya kita libatkan ninik mamak untuk menyelesaikan masalah ini, karena sepengetahuan saya, para anggota yang berbuat berani seperti itu juga adalah masyarakat sekitar itu juga, saya tidak yakin para anggota dari kabupaten/wilayah lain berani basilanteh angan, seperti itu. Berikut, beberapa artikel mengenai Berburu Babi di kampung kita yang di ambil dari Mapala Bung Hatta. Wassalam (nan sadang mengenang, pernah pingsan diampok durian mudo sehabis dilempar sepulang baburu babi sewaktu SD bersama kakek/Datuak kami (kakak anduang), Wali Salam Dt. Bando Labiah (Alm) ---------------------------------------------------- Tradisi Buru Babi: Memberantas Hama, Olahraga dan Wisata Kategori Catatan Perjalanan P 171 TL - Minggu, 17 Desember 2006 - 14:48 maprok.org - Salak anjing semakin nyaring terdengar dari dalam hutan. Langkah-langkah kaki pemburu semakin kencang seiring deru nafas semakin tinggi. Seekor babi hutan tergolek lemah dikerubuti puluhan ekor anjing. Sorak sorai semakin ramai oleh ratusan pemburu dari dalam hutan. Inilah tradisi masyarakat Minangkabau tempo doeloe yang terus bertahan dan menjadi alternatif buat membunuh kejenuhan akan rutinitas kerja. Pagi jam 09.12 wib, sekelompok lelaki terlihat sibuk menaikan anjing dan mengikatnya diatas mobil bak terbuka di jalan Hos Cokroaminoto, Pasar Pusat, Pekanbaru. Tiga ekor anjing dikurung dalam kandang kecil yang telah disiapkan. Berbagai perlengkapan seperti pisau, tali anjing, deta (pengikat kepala), perbekalan makanan seperti nasi bungkus daun pisang, air, juga dinaikan keatas mobil. Para lelaki ini adalah para pedagang di pasar pusat kota Pekanbaru. Dipinggangnya terselip sebuah pisau kuku elang khas pesilat minang. Di lehernya di belit oleh deta, kain pengikat kepala yang juga biasa di pakai pesilat. Mereka terlihat gagah dan jantan. Mobil menuju arah timur kota Pekanbaru, propinsi Riau, tepatnya menuju hutan desa Sungai Binguang, kecamatan Palas, hanya sejauh 20 kilometer dari pusat kota Pekanbaru. Hutan ini sekarang telah berubah menjadi kebun sawit dan palawija masyarakat. Selama ini sering dirugikan oleh hama babi. Puluhan juta kerugian petani perbulan akibat ganasnya hama babi ini. Melihat kondisi itu, para penggemar buru babi di kecamatan Palas yang tergabung dalam Persatuan Olahraga Burubabi (PORBI) menggelar acara perburuan dengan mengundang kelompok-kelompok perburuan di kota Pekanbaru. Sampai di sebuah hutan kecil, kami berhenti dan masuk hutan bersama pemburu lain. Melalui pengeras suara, para Muncak (panitia berburu) memberi aba-aba dengan bahasa Minang. Mereka sudah masuk bersama anjingnya sejak pagi untuk memastikan sarang-sarang hama babi berada. Kami mengambil posisi di pinggang sebuah punggungan bukit dan menemukan anak sungai kecil. Uda Ujang, Mus, Uda Ad, dan muncak Bakri serta dua teman asal Sunda, Pak jejen dan A-ak, berhenti sejenak. "Kita mandikan anjing dulu sebelum mulai bakaja (mengejar babi). Kalau tidak, dia kepanasan dan bisa mati," tutur muncak Bakri sambil memasukan "Si Kumbang", anjing kesayangannya ke dalam air. Pak Bakri diikuti oleh yang lain. Proses memandikan anjing berlangsung selama 10 menit. Lama kami menanti di lereng punggungan itu. Suara muncak dari dalam hutan terdengar semakin nyaring. Tiba-tiba anjing gelisah dan matanya tajam menatap ke suatu tempat. Kami tak bisa melihat sang babi karena rapatnya semak belukar. Salakan anjing semakin nyaring dan semakin menggila dalam ikatan pemiliknya. "Lepaskan laah...!!" komando pak Bakri. Sontak para pemburu melepaskan anjing mereka dari ikatan dan langsung berlari masuk hutan. Seekor babi hutan yang masih muda setinggi satu meter, menguik-nguik menghindar dari kepungan anjing. Kemana dia lari disitu pula ada anjing mengepungnya. Lengkingan kesakitan semakin keras jika gigi anjing berhasil menggigit badannya, tapi sang babi berusaha mempertahankan nyawa. Para pemburu semakin semangat mengejar, peluh semakin deras mengucur, mereka menemukan sorganya disini. Teriakan pemburu makin keras seperti dalam film Tarzan. "Pinteeeh di jalaaaan... ooiiiiiii...!" sorak para pemburu. Kelompok lain yang juga sudah siaga segera berlari mengejar arah lari sang babi. Hutan dan ladang yang biasanya sepi, kini gaduh dengan salakan anjing dan teriakan pemburu. Sudah setengah jam proses kejar-mengejar ini berlangsung, tapi sang babi belum bisa dilumpuhkan. Hanya lima puluh meter dari jalan setapak ladang penduduk, sang babi mulai kelelahan. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh puluhan anjing pemburu untuk membungkamnya. Sang babi rebah diantara semak belukar dan terus memekik kesakitan. Semakin keras pekikan babi, semakin banyak anjing pemburu yang mengerubutinya. Darahnya bercecer kemana-mana, pergulatan babi dan anjing ini membuat semak belukar jadi roboh dan datar. Kulit babi yang berwarna coklat berubah merah oleh darahnya. Sang babi pun tewas di tangan para anjing. Di lokasi lain, teriakan girang para pemburu juga terdengar karena berhasil merebahkan beberapa ekor babi. Mulut-mulut anjing terlihat merah oleh darah. Lidahnya keluar dan nafasnya memburu, dengan patuh kembali kepangkuan tuannya. Sang tuan pun tersenyum bangga. Waktu menunjukan pukul 13.00 wib. Perut mulai keroncongan. Suara muncak dengan pengeras suara memerintahkan pemburu untuk keluar hutan dan istirahat. Kami membuka perbekalan nasi yang di bungkus dengan daun pisang. Nasi itu kami makan ala perburuan dibawah pohon rindang. Tangan-tangan kami berebut mengambil sambal. Sungguh nikmat. Istirahat siang ini dimanfaatkan oleh panitia alek buru babi atau muncak untuk mengumpulkan sumbangan. Sumbangan ini tidak dipatok dan hanya sesuai kemampuan pemburu. Hasilnya dipergunakan menutupi biaya operasional panitia untuk menggelar alek buru babi. Istirahat satu jam terasa cukup. Para pemburu pindah lokasi ke ladang lain yang sering diserang hama babi dan sudah di plot oleh panitia. Jejak-jejak babi terlihat dalam ladang mentimun dan terung petani. Banyak tanaman yang rusak akibat ulah sang babi. Kendati jerat sudah di pasang, sang babi seakan mati satu lahir seribu. Kembali para pemburu maminteh lokasi tempat sang babi akan lari jika dikejar oleh anjing. Strategi perburuan memang sudah disiapkan oleh para muncak kecamatan Palas. Mereka akan malu besar jika acara berburu tidak menemukan babi. Makanya para muncak harus berjibaku masuk hutan mengobok-obok sarang-sarang babi yang biasanya hidup berkelompok. Anjing-anjing mereka yang terlatih selalu berhasil mengendus jejak atau sarang babi. Anjing yang dipakai mayoritas berasal dari Jawa Barat yang terdiri dari blasteran asing dengan lokal. Ada juga yang membawa anjing lokal yang bertubuh kecil dan lincah. Satu ekor anjing blasteran dan sudah pandai berburu di hargai 3 juta - 5 juta. Satu pemburu bisa memiliki 5-10 ekor anjing dan selalu dirawat khusus untuk keperluan berburu. Harga anjing akan semakin naik jika berhasil melumpuhkan babi dan dilihat oleh pemburu lain. Keberanian anjing untuk saling berhadapan dengan babi akan menjadi buah bibir di warung-warung atau sesama pemburu. Maka, gengsi pemiliknya juga akan naik di medan perburuan. Hal inilah yang menjadi kebanggaan seorang pemburu. Untuk menjadi muncak, jelas dibutuhkan keahlian bela diri, mental dan fisik yang kuat serta tahu dengan seluk-beluk rimba. Muncak akan turun tangan langsung berhadapan dengan babi hutan yang ganas. Babi hutan yang sudah tua jika terluka sering melakukan perlawanan dan melabrak siapaun di hadapannya. Jika "babi luko" terjadi, barulah sang muncak turun tangan berhadapan dengan babi luko itu. Berbekal pisau berburu atau tombak, muncak akan melumpuhkan babi tersebut. Berhasil melumpuhkan babi luko akan menjadi pembicaraan dan menaikan pamor sang muncak. Perburuan kali ini telah membunuh lebih dari dua puluh ekor hama babi. Tak terasa baju sudah basah oleh keringat dan kaki sudah sakit dilangkahkan. Semakin sore, ternyata semakin seru. Soalnya, babi akan keluar sore hari untuk mencari makan. Momen inilah membuat sang pemburu semakin semangat. (P 171 TL/Maprok.Org) Berburu Babi: Aset Wisata Yang Terabaikan Kategori Catatan Perjalanan P 171 TL - Minggu, 17 Desember 2006 - 14:49 maprok.org - Tradisi buru babi ini ternyata bisa mengumpulkan ratusan orang dari berbagai latar belakang yang berbeda. Bahkan dari berbagai daerah propinsi tetangga ikut hadir. Untuk ikut berburu, jelas mereka mengeluarkan uang yang tak sedikit. Sayangnya, olahraga tradisional ini tidak terpromosi dan terkelola. Dinas pariwisata dan para pelaku jasa wisata, tidak terlihat gencar memasarkan produk wisata ini. Entah apa sebabnya. Atraksi wisata lain sering digelar di hotel-hotel berbintang, dimana hanya segelintir orang yang menontonnya. Biayanya pun tidak sedikit. Dan karena banyak uang, bisa bayar promosi di media massa. Sementara, tradisi buru babi banyak manfaat, baik untuk kesehatan, kerukunan antar etnis, peternakan anjing, pertanian atau pemberantasan hama, konservasi sumber daya alam, dan gotong royong. Back to nature adalah tren wisata dunia saat ini. Ditengah bingungnya warga Riau mencari alternatif buat berwisata yang murah dan dekat dari kota Pekanbaru, tradisi buru babi adalah jawabannya. PORBI sebagai wadah tunggal para pemburu patut di acungi jempol. Kendati dikelola secara tradisional, PORBI terus maju dan berkembang, tanpa pemerintah yang selalu mengatasnamakan kepentingan rakyat dan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sebaiknya memang begitu. Jangan melibatkan pemerintah yang bertangan panas. Orang kalau tangannya panas, apapun yang dikerjakan tak akan jadi. Kalau orang bertangan panas, gelas di pegang, gelas pecah, orang ditampar, orang mati. Jadi, teruslah maju tanpa pemerintah kawan. (P 171 TL/Maprok.Org) Orang Minang Memburu, Non Muslim Memakan Kategori Catatan Perjalanan P 171 TL - Minggu, 17 Desember 2006 - 14:47 maprok.org - Silaban (38 tahun), warga Tangkerang kota Pekanbaru, dengan karung disandang bergegas ketempat babi yang sudah semaput dikerubuti anjing. Di pinggangnya terselip sebuah belati tajam yang siap dihunuskan. Silaban adalah etnis Batak Toba beragama Kristen yang diuntungkan oleh tradisi buru babi ini. Para pemburu ini mayoritas berasal dari etnis Minangkabau yang beragama Islam. Bangkai babi ini haram bagi mereka untuk dimakan. Biasanya, bangkai babi dikubur agar tak menyebarkan bibit penyakit dan menimbulkan bau busuk. Namun, lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Jika di Sumatra Barat bangkai babi dikubur, tapi di Bumi Lancang Kuning ini bangkai babi dimanfaatkan oleh saudara-saudara pemburu yang non muslim dan halal bagi mereka untuk menyantapnya. "Rata-rata setiap kali berburu, saya dapat 4 ekor, satu ekor bisa dijual 100 ribu," tutur Silaban dengan logat Bataknya yang kental. Tangannya terus berusaha melepaskan bangkai babi dari gigitan anjing pemburu. Karung yang sudah disediakannya selalu terpental saat babi dimasukan ke dalamnya. Usaha Silaban ini berhasil setelah pemilik anjing kembali mengikat anjingnya dan membawa keluar hutan. Tanpa sungkan, Silaban menggendong di bahu karung yang berisi bangkai babi tersebut. Di jalan setapak, seorang kawan Silaban sudah stand by dengan motor dan menaikan karung itu. Babi tersebut rencananya akan dikumpulkan bersama temannya yang lain dan sudah ditunggu dengan mobil. Menurut Silaban, dia dan lima temannya yang lain sudah dua tahun mengumpulkan babi dari medan perburuan yang digelar tiap hari Minggu dan Rabu. Berbagai pelosok di Riau sudah dikunjungi. Pokoknya, dimana ada tradisi buru babi, disana dipastikan ada dirinya. Daging babi itu dijual di pasaran seharga 12 ribu per kilogram. Setiap acara berburu, Silaban dan kelompoknya bisa mendapat dua puluh sampai lima puluh ekor babi. Hasil penjualan babi tersebut nanti dibagi bersama. Penggemar daging babi memang lebih suka daging babi hutan dibanding dengan babi ternakan. Menurut mereka, rasanya lebih gurih dibanding daging babi ternakan. Tak jarang Silaban terlibat pertengkaran dengan sesama pemburu daging babi dari kelompok lain. Jika pertengkaran terjadi, mereka tidak diperbolehkan lagi mengambil daging babi dan diusir dari medan perburuan oleh muncak yang berkuasa di medan perburuan. "Itu sudah keputusan Alek (acara buru babi). Mereka tidak boleh bertengkar, kalau bertengkar di usir dari perburuan," tutur Bagindo Ali (50 tahun), yang menjadi Muncak Tuo pada perburuan di Palas. Bagindo Ali sendiri sudah lebih dua puluh tahun mengikuti tradisi buru babi. Saking mahirnya berburu, dirinya diangkat jadi muncak oleh para pemburu. Tugasnya adalah mencari babi dan memberikan komando dari dalam hutan. Kemahiran berburu ini diperoleh Bagindo Ali sejak berada di kampung halamannya di desa Cacang Randah, Pariaman, Sumatra Barat. "Kalau ada dua orang yang mencari daging babi di suatu tempat, maka daging itu harus di bagi dua," tegas Bagindo Ali. Inilah bentuk kerukunan antar etnis di kota Pekanbaru. Etnis Minang dengan tradisi berburu hanya sekedar berolahraga dan memberantas hama babi semata. Sedangkan bagi saudara-saudara yang non muslim, disilahkan untuk menikmati hasil buruan itu, tetapi tentu dengan cara-cara yang damai. (P 171 TL/Maprok.Org) --~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~ =============================================================== Website: http://www.rantaunet.org =============================================================== UNTUK SELALU DIPERHATIKAN: - Hapus footer dan bagian yang tidak perlu, jika melakukan reply. - Posting email besar dari >200KB akan di banned, sampai yang bersangkutan menyampaikan komitmen akan mematuhi Tata Tertib yang berlaku. - Email attachment, DILARANG! Tawarkan kepada yang berminat dan kirim melalui jalur pribadi. =============================================================== Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED] Webmail Mailing List dan Konfigurasi teima email, lihat di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe Dengan terlebih dahulu mendaftarkan email anda pada Google Account di https://www.google.com/accounts/NewAccount =============================================================== -~----------~----~----~----~------~----~------~--~---