Oleh: Christovita Wiloto CEO & Managing Partner Wiloto Corp. Asia Pacific
Suasana kota Bandung yang dingin di panaskan dengan makin beringasnya geng motor. Setiap anggota geng motor disumpah harus berani melawan polisi, berani melawan orangtuanya sendiri dan harus berani melakukan kejahatan. Demikian tiga sumpah anggota geng motor di Bandung dalam buku putihnya yang ditemukan polisi pada tahun 1999. Dokumen setebal 20 halaman ini nampaknya menjadi sumpah atau patokan geng motor selama ini. Ada empat geng terkenal di Kota Bandung, yakni Exalt To Coitus (XTC), Grab On Road (GRB), Berigadir Seven (Briges) dan Mounraker yang pada hakikatnya memiliki ideologi sama, mencetak anggota putra putri dari kalangan siswa SMP dan SMA menjadi remaja yang berperilaku jahat dan tak lepas dari tiga sumpah di atas. Selain geng motor yang brutal, kasus narkoba dan banyaknya jumlah video dan foto mesum amatiran ala anak-anak sekolah yang beredar baik via handphone maupun internet, sungguh sangat menyedihkan. Apakah kondisi siswa-siswi yang menyedihkan ini merupakan akibat dari lemahnya pendidikan kita ? Harus diakui bahwa kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat amat buruk. Dulu, sekitar tahun 1980-an, beberapa dosen kita tak pernah lupa mencantum statusnya sebagai dosen tamu di universitas-universitas terkemuka di Malaysia -- misalnya, Universitas Kebangsaan Malaysia, Universitas Teknologi Malaysia, atau Universitas Malaya -- dalam curriculum vitae (CV)-nya. Mereka juga rajin pergi pulang (PP) Jakarta-Kuala Lumpur untuk menunaikan tugasnya sebagai pengajar jarak jauh di sana. Tak cuma mengirim pengajar ke Malaysia, universitas-universitas kita juga kerap jadi tempat favorit mahasiswa-mahasiswa asal Malaysia. Saya ingat, saat kuliah dulu mahasiswa-mahasiswa asal Malaysia ini tak ada yang terlalu menonjol prestasinya. Walau secara umum, mereka juga tergolong berotak encer. Ini, secara gamblang menggambarkan betapa kualitas pendidikan umum di negara kita saat itu sudah di atas negeri jiran itu. Tapi kini, ironisnya, kita justru kerap bertanya quo vadis pendidikan Indonesia? Tak usah memperdebatkan Ujian Nasional (UN). Program yang sebenarnya dimaksudkan untuk mencetak anak-anak didik berkualitas internasional itu malah jadi polemik, karena menyebabkan banyak murid tak lulus. Celakanya, rendahnya gaji guru di Indonesia masih menjadi masalah genting yang tak pernah terpecahkan. Sampai-sampai, pada Juli 2007 lalu para guru seluruh Indonesia yang tergabung dalam PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) melakukan aksi demonstrasi menuntut dipenuhinya anggaran 20 persen untuk pendidikan. Mereka juga meminta dilakukan perbaikan gedung-gedung sekolah yang seakan tak pernah jadi prioritas pemerintah. Sebenarnya tuntutan itu wajar. Karena gedung-gedung sekolah kita memang menyedihkan. ''Kayak kandang kambing,'' ujar seorang guru mengibaratkan. Berbagai media sering memasang foto-foto yang menggambarkan buruknya kondisi sekolah-sekolah di Indonesia. Dalam foto-foto itu tampak sejumlah siswa yang terpaksa belajar di ruang kelas yang bangunannya hampir ambruk. Tentu saja, gedung sekolah yang hampir ambruk, gaji guru yang amat rendah, dan hal-hal negatif lain yang muncul di daerah itu tak bisa dijadikan 'wajah' umum dunia pendidikan di Indonesia. Pasalnya, di kota-kota besar, kita tak jarang menemukan gambaran sebaliknya. Sekolah sekolah mahal berkelas internasional terus bermunculan. Di sekolah-sekolah itu, hampir semua fasilitas ada. Tak cuma gedung yang bagus, megah dan mentereng, tapi program belajar mengajarnya juga sudah di luar 'kebiasaan' sekolah-sekolah pada umumnya. Di sana ada kelas balet, musik klasik, golf bahkan berkuda. Tentu saja, semuanya dengan harga yang super mahal. Untuk bisa menyekolahkan anak kelas satu Sekolah Dasar di sekolah bermutu di Jakarta, orang tua harus rela mengeluarkan ongkos hingga Rp 30 jutaan sampai dengan Rp 250 jutaan setahun! Sekolah di Jakarta, dan mungkin kota-kota besar lain di Indonesia, sepertinya sudah menjadi bisnis ratusan juta rupiah. Dan bisnis ini menjamur subur, memanfaatkan rendahnya rata-rata kualitas pendidikan di Indonesia, dan makin tingginya kesadaran banyak orang tua akan perlunya pendidikan berkualitas bagi anak-anaknya. Seorang teman pernah mengeluh, ''Mahal sekali, mending sekalian sekolah di luar negeri,'' katanya. Uniknya, di negara-negara maju seperti di Eropa, Kanada, Australia, Jepang banyak sekolah berkualitas bagus -- setidaknya setara dengan standar sekolah mahal di Indonesia -- tapi berbiaya jauh lebih murah. Bahkan gratis, dibiayai oleh penerimaan pajak negara. Di Singapura, misalnya, sekolah yang dikelola pemerintah cuma mengutip biaya tak lebih dari 5 dolar Singapura atau sekitar Rp 30 ribu per bulan. Kualitasnya bahkan jauh lebih bagus dibanding sekolah-sekolah mahal di Indonesia pada umumnya. Singapura kini juga aktif mendatangi sekolah-sekolah berkualitas di pelosok-pelosok Indonesia, seperti Medan, Bandung, Surabaya dan lain-lain untuk memberikan beasiswa kepada murid-murid terbaik kita. Untuk bersekolah bukan hanya gratis di Singapura, namun lengkap dengan segala fasilitas hidup dan uang saku yang menggiurkan. *Tanggung jawab kita bersama* Setidaknya, kalau disimak dari gedung seolah dan ruang kelasnya yang ber-AC. Saya langsung sedih membayangkan betapa sekolah murah -- atau gratis, kalau ada -- di Indonesia selalu identik dengan sekolah berkualitas rendah dan asal-asalan. Sampai di sini kita perlu bertanya, benarkah slogan yang mengatakan ''Pendidikan adalah hak semua warga negara?'' Bagaimana mungkin slogan itu terwujud kalau dalam APBN 2007, anggaran untuk sektor pendidikan hanya sebesar 11,8 persen? Angka ini setara dengan Rp 90,10 triliun dari total nilai anggaran yang mencapai Rp 763,6 triliun. Dan pertanyaan berikutnya apakah dana tersebut sudah digunakan secara optimal? Menkeu Sri Mulyani Indrawati pernah mengatakan, tidak terpenuhinya alokasi anggaran pendidikan minimal 20 persen dalam APBN 2007 semata-mata karena terbatasnya anggaran pemerintah. Dia menjelaskan, jika nilai anggaran mengalami kenaikan, karena semakin baiknya perekonomian, pemerintah tetap akan memprioritaskan terpenuhinya alokasi anggaran pendidikan sekurang-kurang 20 persen dalam APBN. Semoga tekad Menkeu tadi bukan cuma berolah kata, bukan cuma untuk menyenangkan warga masyakat belaka. Sebab, siswa-siswi Indonesia itu kalau dibina serius, sebenarnya mampu berprestasi luar biasa. Kita, tahu bahwa betapa pelajar-pelajar Indonesia yang tergabung dalam Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI) meraih medali emas dalam ajang interasional. Pada 2007 lalu mereka mempersembahkan dua emas pada Olimpiade Fisika Asia Ke-8 di Shanghai, Cina, pada 22-28 April 2007. Itu belum ditambah tiga medali perak dan dua medali perunggu, serta satu Honorable Mention. Untuk membangkitkan pendidikan berkualitas dan murah di Indonesia, tanggung jawab utama memang ada di pemerintah. Namun, kita sebagai bagian dari masyarakat harus ikut bertanggung jawab terhadap pendidikan anak-anak di lingkungan kita. Tidak sekedar acuh tak acuh dan hanya mengandalkan pemerintah. Ada baiknya jika kita memikirkan dan membuat terobosan dengan terus mengembangkan berbagai metoda pendidikan yang sederhana namun efektif, seperti home schooling, rumah internet, rumah singgah, magang, demi mencerdaskan kehidupan bangsa dengan biaya yang lebih terjangkau. Selain itu, jika setiap kita -- yang beruntung telah menjadi dokter, wartawan, pilot, politikus, bankir, insinyur, pejabat, akuntan, pebisnis, eksekutif, artis, atlet dan lain sebagainya -- mau meluangkan waktu dua jam saja dalam sebulan, untuk turun langsung berbagi dengan sesama, mengajar anak-anak Indonesia. Pasti kita bisa membuahkan inspirasi luar biasa bagi dunia pendidikan. Dan, itu pasti juga akan makin mendekatkan dua pendidikan kita dengan dunia nyata --~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~ =============================================================== Website: http://www.rantaunet.org =============================================================== UNTUK SELALU DIPERHATIKAN: - Hapus footer dan bagian yang tidak perlu, jika melakukan reply. - Posting email besar dari >200KB akan di banned, sampai yang bersangkutan menyampaikan komitmen akan mematuhi Tata Tertib yang berlaku. - Email attachment, DILARANG! Tawarkan kepada yang berminat dan kirim melalui jalur pribadi. =============================================================== Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED] Webmail Mailing List dan Konfigurasi teima email, lihat di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe Dengan terlebih dahulu mendaftarkan email anda pada Google Account di https://www.google.com/accounts/NewAccount =============================================================== -~----------~----~----~----~------~----~------~--~---