PERSPEKTIF SYAFI'I MA'ARIF [ GATRA Printed Edition ] Citra
Citra atau image dalam bahasa Inggris tidak lain dari gambaran, lukisan, atau bahkan bayangan yang terbentuk dalam pikiran kita. Demikianlah, misalnya, citra Indonesia di mata sebagian orang di negeri jiran Malaysia. Mereka terpaku pada TKW/TKI yang terus saja datang berjibun mengadu nasib ke sana, karena di dalam negeri mereka kesulitan untuk melangsungkan hidup. Kita tidak tahu berapa bilangan mereka yang berjaya di negeri jiran itu dan berapa pula yang terjun ke laut karena diburu aparat Malaysia. Tapi, mohon dipahami, tanpa pekerja Indonesia, akan sulit dibayangkan keberhasilan pembangunan fisik di sana. Informasi tentang vitalnya pekerja Indonesia sudah lama saya dengar dari banyak sumber. Ada dua faktor penting mengapa demikian. Pertama, dari segi kultur dan bahasa, antara Malaysia dan Indonesia seperti adik dan kakak. Hanya saja, sekarang ini sang kakak seperti belum siuman juga dalam menghadapi tantangan global yang semakin dahsyat. Malaysia, berkat Mahathir, punya rasa percaya diri yang tinggi berhadapan dengan tantangan itu, dan fundamental ekonomi dibangunnya secara matang. Indonesia sebaliknya, dengan penduduk 10 kali lipat negeri jiran itu, sepert gajah lumpuh karena ketiadaan kepemimpinan kuat dan efektif. Sebagian mereka bahkan telah lama mengidap penyakit slavish mentality (mentalitas budak) sebagai residu dari sistem kolonial tempo doeloe. Penyakit ini sangat kronis bagi kepentingan masa depan sebuah bangsa. Karena itu, mari kita punya kesimpulan yang sama bahwa masalah utama Indonesia di era sekarang adalah masalah kepemimpinan. Titik! Selama masalah kepemimpinan ini tidak bisa dipecahkan oleh berbagai sistem politik kita, selama itu pulalah sebagian rakyat kita yang tidak beruntung akan terus mengerang. TKW/TKI akan tetap menyerbu ujung-ujung bumi untuk menyambung hidup dengan segala risiko yang harus dihadang: mati dianiaya, diperkosa, dibuang ke laut, terjun dari apartemen, dideportasi dengan cara yang tidak beradab. Cerita tentang semuanya ini telah kita ikuti selama tahunan. Namun perubahan yang mendasar belum kunjung juga datang. Faktor kedua mengapa orang Indonesia lebih disukai di Malaysia adalah kenyataan bahwa pada umumnya mereka adalah pekerja yang tekun, ulet, dan sabar, tidak banyak ulah dan cincong. Adapun ada satu-dua orang yang menyimpang dari perilaku wajar ini, tidaklah merusak citra mereka sebagai manusia pekerja keras. Cerita faktual di bawah ini akan lebih menjelaskan mengapa orang Indonesia sangat disukai di Malaysia, kali ini menyangkut tenaga ahli. Ini citra lain yang sangat positif. Sabtu malam 27 Oktober 2007, di Kuala Lumpur saya diundang oleh IATMI (Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia) yang bekerja di berbagai sektor perminyakan di negeri itu. Mereka adalah orang-orang terhormat dan menduduki posisi terhormat pula. Berapa jumlah mereka? Ratusan, jika bukan ribuan, tidak saja alumni ITB, juga berasal dari berbagai perguruan tinggi Indonesia. Seorang pengurus IATMI mengundang saya ke tempat tinggalnya yang cukup bagus di sebuah apartemen, tidak jauh dari Menara Kembar Petronas, kantornya tempat bekerja saban hari. Sewanya M$ 4.700 (sekitar Rp 13 juta) per bulan, ditanggung sepenuhnya oleh Petronas. Keadaan tenaga ahli yang lain tidak akan banyak berbeda dengan teman yang saya kunjungi ini, bahkan ada yang lebih nyaman dari itu. Apakah nasionalisme mereka semakin menipis karena kecewa pada Indonesia? Dari dialog saya dengan mereka malam itu dan pagi hari berikutnya, jawabannya adalah: cinta mereka pada Indonesia malah semakin dalam. Cinta bersatu dengan keprihatinan yang perih tentang nasib bangsa kita. Rezeki yang mereka dapat di sana tidak untuk dinikmati sendiri. Korban tsunami Aceh masih mereka bantu sampai hari ini, terutama di bidang pendidikan anak-anak yang menjadi korban. Kampung mereka masing-masing juga mereka pikirkan. Entah berapa milyar rupiah yang masuk ke Indonesia dari para perantau ini, saya tidak tahu pasti. Merekalah yang turut menghidupi negeri kita yang masih sarat dengan beban kemiskinan ini. Kita harus angkat topi kepada mereka, baik tenaga ahli maupun mereka yang sering diburu aparat Malaysia. Dalam dialog malam itu, pesan yang saya sampaikan kepada mereka adalah: bantulah republik, maksudnya Republik Indonesia. Dan mereka memang telah melakukan itu melalui caranya masing-masing. Di mata saya, mereka adalah nasionalis sejati dalam makna yang sebenarnya. Di tangan mereka, citra Indonesia telah terangkat tinggi, tapi sayang tidak banyak diketahui publik di Tanah Air. Kita ucapkan selamat kepada para patriot dan nasionalis itu yang sedang bekerja di rantau. Mereka adalah anak bangsa yang ulet yang telah turut menaikkan citra Indonesia di mata orang lain. Ahmad Syafii Maarif Guru besar sejarah, pendiri Maarif Institute [Perspektif, Gatra Edisi Nomor 1 Beredar Kamis, 15 November 2007] URL: http://www.gatra.com/versi_cetak.php?id=110003 --~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~ =============================================================== Website: http://www.rantaunet.org =============================================================== UNTUK SELALU DIPERHATIKAN: - Hapus footer dan bagian yang tidak perlu, jika melakukan reply. - Posting email besar dari >200KB akan di banned, sampai yang bersangkutan menyampaikan komitmen akan mematuhi Tata Tertib yang berlaku. - Email attachment, DILARANG! Tawarkan kepada yang berminat dan kirim melalui jalur pribadi. =============================================================== Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED] Webmail Mailing List dan Konfigurasi teima email, lihat di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe Dengan terlebih dahulu mendaftarkan email anda pada Google Account di https://www.google.com/accounts/NewAccount =============================================================== -~----------~----~----~----~------~----~------~--~---