Ikut Urun Rembuk.
Saya fikir Pak Hasanuddin WS terlena pada dirinya, kalau menyatakan ANAK
MUDA TIDAK BISA DIHARAPKAN lagi. Saya yakin, dan sangat percaya,
iblis-malaikat, surga-neraka, baik buruk akan senantiasa ada. Dan mungkin
Pak Hasanuddin saja yang kurang jernih melihatnya. Seolah hanya hedonisme
dan turunannya saja yang berhak jadi PANGKAT ANAK MUDA.

Ada kok pak anak muda yang terus akan menyelamtakan zaman. Sepertinya BUNG
MENDRA HARUS KIRIMKAN RAHASIA MEEDE pada Pak Hasanuddin yang kita
hormati,supaya ga terjebak dalam karya lama. hehehe.

Bung mendra juga harus sering sering memperkenalkan Pak Hasanuddin dengan
dunia baru, dunia yang segalanya masih tampak mungkin, yaitu anak muda yang
bekerja keras, dan keluar dari rutinitas zaman, memegang nilai, dan
memperjuangkan kebenaran>


Dunia tidak seluas daun kelor pak.

Bagaimana bung mendra?


Salam

On 12/12/2007, Nofend St. Mudo <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
>
> Padang Ekspres ONLINE, Minggu, 28-Oktober-2007
>
> Dalam gempita kebebasan berekspresi dan ketidakpercayaan atas sesuatu
> otoritas, Hasanudin WS, Guru Besar Ilmu Sastra dan Humaniora,
> Universitas Negeri Padang, "menudingkan tunjuk" kepada generasi
> muda—khususnya remaja—dalam tulisannya yang berjudul Remaja,
> Hedonisme, dan Paternalisme di koran ini, 7 Oktober 2007 lalu, sebagai
> generasi yang tidak dapat diharapkan, tidak kreatif, tidak produktif
> dan tidak dinamis dalam berbuat di tengah kepungan budaya global dan
> kecenderungan paternalisme serta hedonisme yang begitu menghantui para
> "orang tua".
>
> Untuk itu, Guru Besar ini berharap kepada kaum tua (mapan) agar
> menyelenggarakan pemeliharaan dan pembinaan sebagai suatu strategi
> pembangunan kebudayaan, supaya generasi muda dapat lebih diandalkan
> sebagai investasi bangsa di masa depannya. Begitulah. Dengan membuat
> jarak antara audiens (pembaca) yang lebih muda dengan "mereka" (kaum
> tua), Guru Besar ini berpendapat tentang perubahan dunia yang begitu
> pesat. Dunia yang bagi "mereka" teramat-amat sangat absurd. Dunia yang
> begitu menakutkan. Dunia dengan keberagaman budaya yang "mereka" sebut
> sebagai sebuah kebablasan anak muda yang tiada terbendung. Dan,
> dikhawatirkan merusak sendi-sendi kebudayaan yang "mereka" anggap
> telah mapan ini.
>
> Dari sana—dari sudut pandang paling ekstrim dalam frame orang-orang
> tua, Guru Besar ini sepertinya tetap beranggapan bahwa kebudayaan dan
> identitas adalah sesuatu yang bersifat tetap atau stabil. Ia terlalu
> menekankan aspek homogen, dan meyakini ketidakberdayaan manusia dalam
> mengatasi perbedaan kultur, dan ketidakberdayaan generasi muda dalam
> menghadapi terjangan-terjangan budaya global. Beliau juga terlalu
> memuja empirisme—seperti kebanyakan para orang tua; bahwa dalam proses
> pembentukan identitas ini, acap terjadi disjungsi atau ketidak-klopan
> antara konsepsi dan prilaku. Beliau lebih cenderung melihat proses
> singkat yang terjadi dari pada proses pembentukannya atau proses
> selanjutnya, atau hasil jadi-nya. Inilah sikap a priori dari mereka
> yang hidup dalam zaman sebelum hari ini. Mereka yang hidup dalam
> semangat modernisme. Semangat yang berpusat pada logosentrisme sebagai
> ambisi dan imaji kolektif.
>
> Zaman dimana makna sebuah kebenaran diklaim hanya milik golongan
> tertentu saja; golongan tuwir (tua), golongan yang telah mapan,
> golongan yang mampu mengajukan sejumlah argumen ilmiah; objektif, dan
> rasional, untuk kemudian merasa berhak mengklaim golongan
> lain—termasuk subkultur anak muda—sebagai yang tidak benar, sebagai
> yang lain, sebagai the other (liyan). Maka itu, menurut Guru Besar
> ini, anak-anak muda tersebut perlu dipelihara dan dibina, karena jika
> belum tua, mereka jelas belum boleh bicara. Kalau pun tetap bersuara,
> yang terdengar di telinga mereka, seperti entah apa-apa. Sistem
> pembusukan identitas serupa ini telah berlangsung lama, sepanjang Abad
> Pencerahan oleh para pemikir-pemikir modern—termasuk para filsuf
> sebelumnya, mulai dari Aristoteles, Descartes, Bacon, Freud sampai ke
> Ferdinand de Saussure, dengan tagline modernisme-nya yang kaku
> tersebut.
>
> Padahal hari ini perubahan telah terjadi. Perubahan yang memaksa kita
> untuk tidak lagi memikirkan kebudayaan dan identitas sebagai entitas
> yang bersifat tetap atau stabil. Melainkan sebuah entitas yang terus
> berubah, kian bergerak, berjalin-kelindan. Dan, suai-menyuaikan.
> Kemudian, dari dan oleh jejaring teks tersebut, terbentuklah sebuah
> budaya baru yang disebut-sebut sebagai budaya yang hibrida. Inilah
> "identitas anak muda". Inilah posmodernisme. Inilah dunia tanpa pusat,
> tanpa logos. Zaman dimana tiap-tiap kelompok atau individu memerlukan
> apa yang mereka sebut sebagai identitas. Identitas yang membedakan
> mereka. Identitas yang berguna untuk memberinya sense of belonging dan
> eksistensi sosial sebagai anggota masyarakat.
>
> Namun begitu, ini pun bukanlah sesuatu yang tetap dan stabil, sebab
> identitas seperti yang dikata Stuart Hall, bukan suatu entitas yang
> final, statis dan succeed, melainkan sesuatu yang terus tumbuh,
> dinamis, tidak pernah sempurna (mapan), selalu dalam proses dan selalu
> dibangun dari dalam. Perkataan Hall ini senada pula dengan Jean
> Baudrillard, yang bahkan menyangsikan adanya identitas pasti yang
> orisinil. Bahkan menurutnya lagi, dalam kondisi tertentu, suatu subjek
> akan kehilangan identitasnya, karena terus bergerak menyesuaikan
> dirinya dengan lingkungan pendidikan, pergaulan, pun pertumbuhan usia
> subjek tersebut.
>
> Apa mau dikata, realitas kebudayaan hari ini oleh sebab interaksinya
> yang teramat mudah bersentuhan dengan berbagai unsur kebudayaan lain
> di luarnya, telah menciptakan identitas yang khusus dan berbeda-beda
> pula. Perubahan identitas ini bergerak begitu cepatnya. Membentuk
> identitas baru yang terkelupas dari dominasi tradisi maupun budaya
> asing (modern). Untuk itu, persentuhan-persentuhan anak bangsa dengan
> budaya asing dalam dusun global (global village) ini—oleh Derida
> disebut sebagai jejaring teks yang tak utuh
> (intertekstualitas)—seperti apa yang dituliskan oleh Guru Besar Ilmu
> Sastra dan Humaniora itu sebagai; "paternalistik anak muda dalam
> menyerap budaya-budaya asing" tersebut, bukanlah klaim yang mutlak dan
> absolut.
>
> Karena, persentuhan-persentuhan tersebut—mau tidak mau, sadar tidak
> sadar—telah menyediakan ruang yang lapang bagi identitas yang terlepas
> dari dominasi atau represi keduanya (budaya tradisi dan modern).
> Demikianlah, dalam cultural studies, ada konsep yang disebut kemudian
> sebagai kreolasi atau mimikri. Proses penyerapan elemen-elemen
> kebudayaan dengan tidak mempertimbangkan makna aslinya. Artinya,
> sejumput kebudayan (tradisi dan modern) diserap sebagai sebuah gaya
> belaka, namun kemudian diberikan makna atau fungsi baru atas budaya
> serapan tersebut. Bukankah ini yang namanya kreatifitas di
> tengah-tengah banalnya industrialisasi produk-produk atau
> budaya-budaya asing (modern) dan klaim "para orang tua" tentang
> kesahihan sebuah budaya tradisi?
>
> Bagi Bhabha (Homi K), mimikri atau kreolasi bukan merupakan bentuk
> ketergantungan sang terjajah kepada yang menjajah, bukan pula
> ketergantungan kulit berwarna kepada kulit putih, atau dalam konteks
> ini ketergantungan konsumen (anak muda) kepada produsen (industri),
> melainkan sebuah sikap subversif dalam kepungan budaya global dan
> proses peniruan tersebut. Karena pada dasarnya, anak muda (konsumen)
> bukanlah pengguna yang pasif. Mereka cenderung hanya bermain-main
> dengan ambivalensi dalam proses imitasi (penyerapan/peniruan)
> tersebut, sambil berlari-lari kecil, cekikikan, sampai
> terpingkal-pingkal, bahkan. Secara tak langsung telah muncul pemahaman
> dalam mereka; jika tak terelakkan, mengapa tak menyiasatinya? Dengan
> berjalan beriringan, misalnya.
>
> Atau, menciptakan budaya oposisi yang relevan dan kontekstual dengan
> zamannya, kenapa tidak? Dari pada menghujat-hujat budaya asing atau
> lari bersembunyi, namun diam-diam menikmatinya, dan dengan diam-diam
> pula melegitimasinya. Wuuahhhhh !!! Kemudian orisinalitas budaya dan
> tradisi. Apa itu orisinalitas? Karena sudah tentu pada hari ini, atau
> bahkan jauh sebelum hari ini, tak ada yang benar-benar orisinal dalam
> kebudayaan. Perdebatan akan orisinalitas kebudayaan justru akan
> menumbuhkan sikap-sikap primordial dan narsisme berlebihan yang
> sia-sia, dan kian menjerumuskan manusia ke dalam persoalan-persoalan
> rasial dan pertentangan, dan perpecahan.
>
> Dalam pada itu pula, proses kreolisasi atau mimikri bukanlah semacam
> bentuk keberhasilan industrialisasi/imperialisme dalam menanamkan
> dominasi dengan menciptakan "kesadaran palsu" lewat budaya massa,
> lewat industri, lewat benda-benda konsumsi lainnya kepada para anak
> muda. Dari sudut ini, mimikri bisa dipandang sebagai strategi
> menghadapi dominasi. Seperti penyamaran, ia bersifat ambivalen,
> melanggengkan tetapi sekaligus menegasikan dominasinya, demikian ujar
> Antariksa. Batas-batas kebudayaan yang mapan dengan demikian
> dikaburkan dan dibuat tidak stabil oleh hibridasi. Inilah dasar sebuah
> identitas hibrida. Dengan begitu, hegemonisme Gramscian, dalam
> tingkatan ini mendapat kritikan keras, karena sepanjang peradaban
> manusia, terbukti tidak ada hegemoni tanpa resistensi ataupun
> subversi.
>
> "Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya."
> Kata-kata terakhir Ontosoroh kepada Minke dalam Bumi Manusia,
> tiba-tiba menggema di telinga saya, karena korelasinya yang erat
> dengan persoalan mimikri dan hibriditas ini. Begitupun dengan apa yang
> dikata Esha Tegar Putra dalam puisinya: "....aku terlalu sering tidak
> menyetujui ucapmu. dalam diriku hanya ada waktu.....ada baiknya kau
> menyetujui, kita berjalan berlain arah. mungkin kau menuju selatan
> yang basah seperti harapmu. dan aku menelikungi simpang ke arah
> barat,...." (Jalan Air, Kompas, 15 Juli 2007).
>
> Akhirnya, anakmu bukanlah anakmu, anakmu adalah anak-anak panah yang
> lepas melesat ke udara—mengutip Gibran. Untuk itu (hari gini),
> berhentilah "menakut-nakuti" mereka dengan menyebar mitos tentang
> globalisasi, penyeragaman budaya, konstruksi industri, budaya massa,
> mode, trend fashion, film atau semacamnya, karena seperti juga
> orang-orang tua yang terlalu mencemaskan prilaku anak-anak muda-nya,
> ternyata mereka—para anak muda—juga mempunyai "kegemasan" tersendiri
> terhadap dasar pikir "orang-orang tua"-nya : ) Nurul Fahmy, Komunitas
> Daun, Padang.
>
> Padang Ekspres ONLINE ::.. : http://www.padangekspres.co.id/
>
> >
>

--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
===============================================================
Website: http://www.rantaunet.org
===============================================================
UNTUK SELALU DIPERHATIKAN:
- Hapus footer dan bagian yang tidak perlu, jika melakukan reply.
- Posting email besar dari >200KB akan di banned, sampai yang bersangkutan 
menyampaikan komitmen akan mematuhi Tata Tertib yang berlaku.
- Email attachment, DILARANG! Tawarkan kepada yang berminat dan kirim melalui 
jalur pribadi.
===============================================================
Berhenti, kirim email kosong ke:
[EMAIL PROTECTED]

Webmail Mailing List dan Konfigurasi teima email, lihat di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
Dengan terlebih dahulu mendaftarkan email anda pada Google Account di
https://www.google.com/accounts/NewAccount
===============================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke