Humaniora 


 Kompas, Rabu, 12 Desember 2007 



Malaysia Terus Incar Naskah-naskah Melayu 
Praktik "Pencurian" Produk Ekspresi Budaya Harus Dibendung

Jakarta, Kompas - Tindakan Malaysia mengklaim "kepemilikan" ekspresi produk 
budaya tradisional Indonesia tak cuma terjadi pada bidang kesenian. Melalui 
kalangan akademis, mereka juga terus mengincar naskah-naskah Melayu klasik 
Nusantara hingga ke pelosok desa di belahan timur Indonesia. 
Dalam rapat kerja Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) di Jakarta, 10-11 Desember 2007, 
terungkap bahwa perilaku di luar etika akademis tersebut sudah berlangsung 
sejak beberapa tahun terakhir. Bahkan, ratusan hasil penelitian budayawan Tenas 
Effendi atas tradisi lisan dan naskah- naskah Melayu klasik yang dihimpunnya 
selama bertahun-tahun sebagian besar kini sudah "diangkut" ke universitas 
terkemuka di Kuala Lumpur. 
"Oleh mereka lalu dibuatkan situs tersendiri. Ketika kita mau menggunakannya 
harus bayar," tutur Al azhar dari ATL Riau. 
Menurut Al azhar, semangat kapitalisme yang melilit pemikiran orang-orang kaya 
baru di Malaysia ikut memicu "perburuan" naskah dan atau manuskrip serta 
perekaman tradisi lisan Melayu oleh orang-orang Malaysia. Apalagi, sejak 
beberapa dekade terakhir Malaysia terobsesi untuk menjadi pusat tolehan dalam 
budaya Melayu sedunia. 
Riau daratan dan Riau Kepulauan adalah wilayah subur tempat "perburuan" mereka. 
Dengan berbagai dalih mereka bisa masuk hingga ke pedalaman, lalu diam- diam 
merekam tradisi-tradisi tutur anak bangsa. Biasanya, kata Ketua Yayasan Bandar 
Seni Ali Haji, mereka pun menelisik naskah-naskah yang ada di masyarakat dan 
menawar tinggi untuk membelinya. 
Kenyataan ini juga terjadi di Sumatera Barat. "Bagaimana masyarakat penyimpan 
naskah tak tergiur, mereka dengan ringan bahkan mau membayar Rp 50 juta hingga 
Rp 60 juta. Padahal, bagi kita uang Rp 5 juta saja sudah luar biasa," tambah 
Adreyati dari ATL Sumatera Barat. 
Fenomena yang sama muncul di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. La Niampe, 
peneliti dan penggiat ATL di Buton, Sulawesi Tenggara, mengaku pernah 
"menangkap basah" seorang profesor dari Malaysia beserta tujuh rekannya yang 
melakukan pemotretan secara diam-diam atas naskah-naskah Buton. "Profesor itu 
akhirnya kami usir, tetapi beberapa puluh naskah sudah sempat mereka ambil," 
kata La Niampe. 
"Menghadapi kenyataan ini, Sulawesi Selatan membentuk Dewan Ketahanan Budaya. 
Perannya antara lain untuk membendung praktik ’pencurian budaya’ yang juga 
terjadi pada naskah- naskah di sini," kata Halilintar Latief dari ATL Makassar. 
(ken) 





----- Pesan Asli ----
Dari: Arnoldison <[EMAIL PROTECTED]>
Kepada: RantauNet@googlegroups.com
Terkirim: Kamis, 27 Desember, 2007 1:19:13
Topik: [EMAIL PROTECTED] Menghidupkan manuskrip Melayu-Indonesia Islam


MENGHIDUPKAN MANUSKRIP MELAYU-INDONESIA ISLAM

Manuskrip  Islam adalah khazanah penting tentang suatu karya berkaitan
dengan  buah  pemikiran  para  cendekiawan  Islam masa lalu yang masih
berupa  tulisan tangan (handwriting). Manuskrip inilah yang sebenarnya
menjadi  penyambung  lidah  diantara  mereka  dengan generasi-generasi
setelahnya.  Ribuan  bahkan  jutaan  manuskrip telah mereka tinggalkan
sebagai bukti kecemerlangan keilmuan masa mereka. Berbagai musibah pun
telah  terjadi  pada mauskrip itu, mulai dari pembakaran besar-besaran
oleh  pasukan  Mongol  di  Bagdad  pada  tahun 1258 hingga  pencurian 
manuskrip di negeri-negeri Islam oleh banyak kalangan, termasuk Barat.

Namun  begitu,  manuskrip-manuskrip  yang  tersisa,  yang  terdapat di
berbagai  negara  Islam,  di perpustakaan-perpustakaan terkenal dunia,
seperti di Istambul, Kairo, Damaskus dan India, serta di Barat seperti
di  Sepanyol,  Perancis,  Jerman,  Inggris,  dan  di Rusia, belum lagi
manuskrip-manuskrip  Nusantara  yang  tercecer  di mana-mana dan belum
terkatalogkan,  menunggu pengkaji-pengkaji yang memang berhasrat untuk
menyajikannya  menjadi  bahan  santapan ilmiah untuk generasi-generasi
saat ini dan mendatang.

Dr.  Wan  Suhaimi Wan Abdullah, pakar di bidang kajian manuskrip Islam
dari Universiti Malaya, dalam diskusi rutin INSISTS Malaysia, pada tgl
16  Desember  2007, di Segambut, Kuala Lumpur, menyatakan bahwa memang
terlalu  banyak  lagi  tugas  seorang  yang ingin betul-betul mengkaji
manuskrip-manuskrip  Islam,  khususnya  manuskrip-manuskrip Nusantara,
Melayu-Indonesia,  untuk  mengumpul,  mengkatalog,  mengedit,  apalagi
memberikan ulasan-ulasan lebih lanjut. Upaya-upaya itu masih jauh dari
cukup  berbanding dari kemajuan pada manuskrip-manuskrip Arab, baik di
dunia Arab sendiri ataupun di Barat.

Di    Kuala    Lumpur,  menurutnya,  ada  katalog-katalog  tentang
koleksi-koleksi  manuskrip  Melayu-Indonesia yang terdapat di berbagai
perpustakaan  di  beberapa  negara  Barat.  Itu  maknanya  Barat lebih
berambisi  mengumpulkannya  dari  pada orang Melayu-Indonesia sendiri.
Ketika  pemateri  ini berkunjung ke Jerman, ia mendapati suatu koleksi
manuskrip Melayu-Indonesia secara umum, dan bahkan manuskrip-manuskrip
yang  berbahasa  khusus,  seperti  bahasa  Banjar,  Jawa,  Aceh,  dan
lain-lain,  yang  belum  lagi  dikaji  dan  masih  membisu  dengan
lembaran-lembaran  usangnya.  Yang ini siapa lagi yang mau mengakji? 
tanya salah satu penjaganya.

Kalau di Barat manuskrip dihargai dengan nilai yang tinggi, dan bahkan
menjadi buruan para ilmuan penting. Sebagai contoh, seorang orientalis
Jerman,  Hans  Daiber,  setiap  kali pergi berkeliling dunia ia selalu
mencari pusat manuskrip, dan berupaya mendapatkannya. Dia hanya contoh
kecil  dari  banyak lagi orang-orang di Barat yang sangat minat dengan
manuskrip  Islam.  Sedangkan  di  alam Melayu-Indonesia, selain kurang
dihargai,  susah  juga  menjumpai  orang-orang  yang  memiliki  hasrat
terhadap manuskrip seperti halnya Hans Daiber ini.

Oleh  karena  itu,  pemateri  menyatakan  bahwa  menghidupkan  (ihya )
manuskrip  Melayu-Indonesia  sangatlah  peting.  Bukan  berarti ketika
mengkaji manuskrip dulu, lalu kita dianggap kembali ke masa silam yang
kaku  dan  tak  relevan  lagi dengan dunia sekarang, tapi  suatu upaya
memahami  dan  menilai  tradisi  yang  ada  di masyarakat sebelum kita
dengan tujuan mengenal secara pasti aspek hakekatnya, yang selanjutnya
coba  mengembangkan pembahasan hakekat tersebut dalam kerangka tradisi
yang  terjaga,  dengan  pendekatan  yang  sesuai  dengan  kondisi  dan
tantangan semasa. Bukan seperti yang dikritikkan banyak kalangan bahwa
pengkajian  kitab  klasik ini ibarat  hidup tahun 2007, tapi mentalnya
1500-an,  tapi  kita  memang  hidup  di  masa sekarang bersama mental
sekarang,  namun  ilmu kita memanjang dari zaman dulu hingga sekarang.
Inilah  tantangan  sebenarnya bagi pengkaji kitab klasik (turath) dari
pada  sekedar  membaca  dan  menghafal  teksnya  serta  mengulang
penjelasannya tanpa melakukan upaya kreatif mengembang dan menjelaskan
kepada masyarakat semasa.

Bagi Wan Suhaimi, ada tiga hal yang perlu dibuat oleh pengkaji warisan
ilmu  ini.  Pertama,  penguasaan  ilmu  warisan  ( ilm al-turath) yang
berkaitan,  yang  memang  tidak cukup hanya menguasai bahasa manuskrip
itu  secara  umum, bahkan jauh dari itu semua ilmu yang tercatat dalam
manuskrip  itu  sejak kemunculannya hingga saat ini. Seperti manuskrip
Melayu-Indonesia, seorang pengkaji tidak cukup menguasai bahasa Melayu
atau  Indonesia  saja,  karena  manuskrip-manuskrip  itu  tidak  bisa
dilepaskan  dari  tradisi keilmuan Arab Islam, sehingga pengkaji mesti
paham  bahasa  Arab  dan  tradisi  Islam. Tradisi ilmu yang berlaku di
dunia  Melayu-Indonesia  itu  adalah  kelanjutan  dari  tradisi  Islam
sebelumnya di dunia-dunia Arab sana.

Kedua,  penguasaan ilmu semasa, khususnya yang berkaitan dengan bidang
yang  dikaji  dan  ini  termasuk penguasaan bahasa modern, baik bahasa
setempat  maupun  bahasa  asing  yang  menjadi  medium penyampaian dan
penulisan  ilmu-ilmu  semasa  tersebut.  Ini  penting  dilakukan  agar
penyampaian  hakekat  yang  ditemukan  dalam  manuskrip bisa hidup dan
mampu  mencerahkan  pembacanya.  Karena  yang  akan  membaca  adalah
masyarakat sekarang, bukun kurun ke-17 dulu. Sehingga menarik tidaknya
suatu  hasil kajian manuskrip sangat bergantung juga dengan penguasaan
terhadap isu-isu modern ini.

Ketiga,  mempunyai  kreativitas  intelektual  yang memadai, yang mampu
mengenali isu-isu mendasar dan sebenar dalam masyarakat, yang kemudian
ia  bijak  mengetengah  dan  mempergunakan hakekat yang dijumpai dalam
karya manuskrip itu untuk ikut menyumbangkan penyelesaian permasalahan
umat.  Tanpa  kreativitas  intelektual  yang memadai, seorang tak akan
secara  sempurna  memberikan  konstribusi  yang  positif  kepada
masyarakatnya.  Oleh  karena  itu,  poin  ini  juga  yang mengantarkan
kesuksesan dalam menghidupkan warisan manuskrip para ilmuan silam.

Jadi,  memang  kajian  manuskrip  tidak  hanya  sekedar  seni mengemas
bahan-bahan  kuno,  sebagaimana barang-barang antik dimusiumkan. Namun
lebih  dari pada itu, kajian manuskrip merupakan tanggung jawab ilmiah
yang  tidak  bisa  dianggap  spele  dan  tidak  penting atau remeh. Ia
merupakan perjuangan mempertahankan warisan tradisi dan agama. Ia juga
merupakan  usaha  penyampaian  pesan-pesan  ilmuan-ilmuan sebelum kita
kepada  kita  dan orang-orang setelah kita, sebagai penyambung tongkat
estafet mereka. Dari sanalah keseriusan kita sebagai pengkaji dituntut
secara serius, bukan sekedar seni apalagi sekedar mencari makan.

Oleh  karena  itu,  usaha-usaha  mengumpul,  mengkatalog,  mengedit,
mengkaji,  dan  memberikan  ulasan-ulasan yang tepat dan mendalam amat
pantas  didukung  dan  didorong oleh pihak institusi keilmuan, negara,
dan yang bertanggung jawab memelihara warisan bangsa dan agama. Sebab,
hal  itulah yang bisa memberikan harapan selanjutnya bagi berwibawanya
keilmuan  umat ini. Umat ini tidak bisa secara terus menerus menganga,
melotot  dan  tak berbuat apa-apa ketika para orientalis dan institusi
mereka  menguasai  dan  menerbitkan bahan kajian manuskrip Islam, yang
mereka  rampok  dari  negara Islam, dan kemudian mereka jual kembali
kepada umat ini dengan harga yang mahal. Cukuplah itu sebagai stimulus
dan  penyemangat  untuk  mendukung  sepenuhnya  atas  pemeliharaan,
pengkajian dan pemanfaatan manuskrip warisan hebat para ilmuan dahulu.

Disarikan dari diskusi INSISTS, 16 Desember 2007, oleh Ahmad Dimyati. 

  

-- 
Best regards,
Arnoldison                          mailto:[EMAIL PROTECTED]






      ________________________________________________________ 
Bergabunglah dengan orang-orang yang berwawasan, di di bidang Anda! Kunjungi 
Yahoo! Answers saat ini juga di http://id.answers.yahoo.com/
--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
===============================================================
Website: http://www.rantaunet.org
===============================================================
UNTUK SELALU DIPERHATIKAN:
- Selalu mematuhi Peraturan Palanta RantauNet lihat di 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-palanta-rantaunet
- Hapus footer dan bagian yang tidak perlu, jika melakukan reply.
- Posting email besar dari >200KB akan di banned, sampai yang bersangkutan 
menyampaikan komitmen akan mematuhi Tata Tertib yang berlaku.
- Email attachment, DILARANG! Tawarkan kepada yang berminat dan kirim melalui 
jalur pribadi.
===============================================================
Berhenti, kirim email kosong ke:
[EMAIL PROTECTED]

Webmail Mailing List dan Konfigurasi teima email, lihat di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
Dengan terlebih dahulu mendaftarkan email anda pada Google Account di
https://www.google.com/accounts/NewAccount

-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke