Rekan Mudy Situmorang ysh,
   
  Saya baru membaca 1/4 buku Tuanku Rao karya MOP, dan menyadari bila banyak 
argumentasi anda berasal dari buku tersebut. Saya juga lagi mencari buku 
jawabannya Buya Hamka, namun belum ketemu. Sedikit saya komentari dari 
apresiasi awal saya sbb:
  1. Buku Tuanku Rao adalah karya seorang Ahmadiyah yang bercerita tentang 
pergulatan mazhab keagamaan di Nusantara khususnya di Minangkabau. Sudut 
pandangnya tentunya sepihak dan melihat berbagai perbedaan dengan sangat 
ekstrim, dan terkadang tidak sepatutnya. Di dalam kaidah kemasyarakatan yang 
tidak ditimbang oleh MOP, tidak diperhitungkan "neraca rasa dan keadilan" yang 
selalu bergerak dan menciptakan dinamika dan keseimbangan, dan berlaku pada 
sembarang waktu dan tempat.
  Untuk Indonesia yang menganut Bhinneka Tunggal Ika dan toleransi beragama, 
menurut hemat saya, buku ini tergolong "berbahaya".
  2. Buku Tuanku Rao juga adalah karya seorang putera Batak yang bercerita 
tentang budaya daerah lain dalam baik dan "buruk"-nya; dan secara kultur 
kembali melihat perbedaan itu secara hitam dan putih. Dalam beberapa hal 
terdapat simplifikasi dan penarikan kesimpulan secara cepat.
   
  Sehingga kombinasinya tentu sangat mudah diduga, hingga sampai kepada 
pemahaman yang anda terima sekarang ini.
   
  Terlebih saya juga meragukan beberapa data yang disampaikan. Namun beberapa 
hal saya mengakui ketajaman analisis dan penguasaan rentang sejarah yang 
dimiliki MOP.
   
  Saya coba jawab beberapa hal dulu sbb :
  
Mudy Situmorang <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
          [Datuk Endang wrote:]
  To: RantauNet@googlegroups.com
Sent: Sunday, October 28, 2007 11:27:06 PM
Subject: Re: Alasan pemberian nama pada Bandara Minangkabau

    Sanak Pandu yang ambo hormati,
  Saya menjelaskan sedikit saja bila saya belum menemukan satu pun catatan atau 
riwayat bila masyarakat dan pemangku adat Minangkabau mengabaikan kepahlawanan 
Tuanku Imam Bonjol dan pelurusan sejarah Islam di Minangkabau. Dari catatan 
sejarah yang pernah saya tuliskan terdahulu, hendaknya dapat dibaca adanya 3 
priode perjuangan Paderi di Sumatera Barat, yaitu:
  1.       1803-1820, peperangan Paderi vs masyarakat adat, dengan tokoh 
Harimau nan Salapan
  2.       1821-1832, peperangan Paderi vs Belanda yang dibantu masyarakat 
adat, penokohan Tuanku Imam Bonjol telah muncul
  3.       1833-1837, peperangan Belanda vs masyarakat Minangkabau (Paderi + 
Adat) di bawah kepemimpinan Tuanku Imam Bonjol. Kesatuan Paderi + Adat ini 
dikukuhkan di Bukit Tandikat pada akhir tahun 1832, dan serangan pertama 
bersama dilakukan pada tanggal 11 Januari 1833.
  Sehingga rintisan perjuangan rakyat semesta untuk mengusir penjajahan itu 
harus dihitung sejak tahun 1833 di bawah kepemimpinan Tuanku Imam Bonjol. 
Walaupun Tuanku Imam Bonjol tertangkap 1837, namun perjuangan masih berlangsung 
terus hingga 1840an.
  Mudah-mudahan ini bisa menjelaskan kesalahan Mudy Situmorang dalam menilai 
penokohan sejarah, khususnya kepada pahlawan nasional. Wassalam.
  -datuk endang

Pandu Pranawijaya <[EMAIL PROTECTED]> wrote:   
Sanak palanta,
seharusnyo nan elok namo tu Bandara Tuangku Imam Bonjol, tapi dek
karano
kaum adat agak sensitif terhadap sejarah pelurusan islam
diminangkabau,
maka dipakailah minangkabau saja. Tidak seperti dipalembang Bandara
Sultan
Mahmud Badarudin

Palembang, Pandu pranawijaya
   
  [Mudy]
Saya kembali lagi mohon maaf pada Datuk Endang. Sama sekali bukan menyalahkan 
Datuk Endang. Periodesasi Perang Paderi yang disampaikan Datuk Endang sudah 
lazim benar. Namun setelah saya dalami, ternyata periodesasi tersebut salah. 
Berikut penjelasan saya:
   
  "1.       1803-1820, peperangan Paderi vs masyarakat adat, dengan tokoh 
Harimau nan Salapan"
   
  Peperangan Pemberontak Paderi melawan Kerajaan Islam Minangkabau Pagaruyung 
berakhir tahun 1815 dengan terbantainya seluruh keluarga dan penghulu Kerajaan. 
Jadi antara 1815 - 1820 sudah tidak ada pertempuran berarti antara Pemberontak 
Paderi dengan Pasukan Minangkabau. 
   
  Istilah "masyarakat adat" atau "kaum adat" adalah istilah buatan Belanda yang 
tujuannya memecah belah masyarakat Minangkabau (dengan tujuan sama di Aceh dan 
Batak). Tidak pernah ada kaum adat di Minangkabau. Yang berperang dalam Perang 
Paderi 1803 - 1833 adalah kelompok masyarakat yang setia pada Kerajaan Islam 
Minangkabau Pagaruyung melawan pemberontak Paderi.
   
  DEP:
  Perlu dipahami dulu bila Kerajaan Pagaruyung tidak menguasai dan tidak 
berdaulat pada seluruh ranah Minangkabau. Saya juga meragukan bila pada saat 
itu Raja Pagaruyung memiliki "pasukan". Sebagai catatan: untuk mengutip upeti, 
raja berjalan sendiri dari suatu negeri ke negeri lain. Untuk menerima upeti 
pun, rakyat memberikan langsung ke tangan raja atau diletakkan begitu saja. 
Terbukti dalam pertemuan di Kototangah, raja datang dengan segenap keluarganya.
   
  Di dalam tambo disebutkan bila "pengaruh" Raja Pagaruyung hanya sebatas pada 
beberapa wilayah di Luhak Tanah Datar. Di daerah lain malah sama sekali tidak 
mengaku beraja ke Pagaruyung.
   
  Saya kira hal ini sama seperti kondisi di tanah Batak, bila banyak yang 
mengatakan Sisingamangaraja itu merupakan Raja Batak; padahal kekuasaan 
efektifnya hanya pada beberapa kampung dan horja.
   
    Bila anda menyebutkan 1815-1820 tidak ada peperangan berarti, tentunya itu 
masa yang tepat untuk membangun suatu pemerintahan atau dinasti. Pertanyaannya: 
apa nama pemerintahannya, dimana kedudukan kekuasaannya, siapa nama pemimpin 
pemerintahannya, apa sistem penyelenggaraan pemerintahannya, dst?
  Bila hal ini bisa anda dan MOP jawab, maka mudah-mudahan di kemudian hari 
tidak ada lagi istilah "pemberontakan" dalam Perang Paderi.

   
  Dalam polemik mengenai "masyarakat dan kaum" adat, anda sudah memasuki 
wilayah wacana yang debatable secara ilmiah. Sehingga bila anda menyadari hal 
itu, tidak patut anda membuat kesimpulan cepat, apalagi sampai membuat petisi.
   
  "2.       1821-1832, peperangan Paderi vs Belanda yang dibantu masyarakat 
adat, penokohan Tuanku Imam Bonjol telah muncul"
   
  Kembali lagi, tidak ada masyarakat adat. Yang ada adalah masyarakat 
Minangkabau = masyarakat yang menganut adat Minangkabau = masyarakat yang setia 
pada Kerajaan Islam Minangkabau.
   
  Periode ini lebih tepat disebut sebagai penumpasan Gerakan Paderi, karena 
dalam masa ini pasukan gabungan Minangkabau-Hindia Belanda berhasil mengalahkan 
Gerakan Paderi dan merebut kembali seluruh wilayah darek. Gerombolan Paderi 
hanya bertahan di Benteng Bonjol, sebuah wilayah kecil yang terpencil (pada 
masa itu).

  Masa ini tepatnya diakhiri oleh pengkhianatan Belanda dan aneksasi 
Minangkabau kedalam Hindia Belanda (1833). Pada akhir masa ini Gerakan Paderi 
yang terdesak menyatakan taubat, kembali bergabung dengan masyarakat 
Minangkabau, sebaliknya, masyarakat Minangkabau disadarkan bahwa Belanda 
memiliki agenda lain yang sudah direncanakan sejak awal. Hal ini dicatat oleh 
Tuanku Imam Bonjol sendiri, yaitu dengan penyesalan beliau, serta pengakuan 
kembali pada falsafah Minangkabau: ABS-SBK yang sudah ada sejak Sultan Alif, 
Raja pertama Kerajaan Islam Minangkabau.
   
  DEP:
  Kembali anda membuat kesimpulan cepat, tanpa meneliti jembatan kausalitas.
  Sebelumnya saya bertanya, apakah tujuan untuk membuat benteng? Tentunya tak 
lebih untuk membuat "pertahanan". Kenapa bertahan? Karena ada yang menyerang. 
Mari kita buka catatan sejarah, sebaiknya sejarah Aceh, Batak, Melayu, dan 
Minang. Pertanyaan berikutnya: siapa yang suka menyerang?
   
  Ketika Pasukan Paderi masuk ke Tanah Batak dan memenangkan pertempuran, 
apakah mereka bertahan di wilayah itu sebagai jajahan dan menciptakan 
"sub-budaya baru" sebagaimana lazimnya? Saya rasa tidak, karena mereka balik 
lagi ke benteng. Sehingga tolong diperhatikan penggunaan istilah "invasi" dan 
"punishment".
   
  Mula ABS-SBK tidak seperti yang anda dan masyarakat umum selama ini 
bayangkan. Kapan waktu akan coba saya sampaikan.
   
  "3.       1833-1837, peperangan Belanda vs masyarakat Minangkabau (Paderi + 
Adat) di bawah kepemimpinan Tuanku Imam Bonjol. Kesatuan Paderi + Adat ini 
dikukuhkan di Bukit Tandikat pada akhir tahun 1832, dan serangan pertama 
bersama dilakukan pada tanggal 11 Januari 1833."
   
  Masa ini lebih tepat disebut sebagai Penumpasan Gerombolan Paderi yang 
bertahan di Benteng Bonjol dan Benteng Dalu-dalu yang terpencil. Masyarakat 
Minangkabau yang setia pada Sultan Bagagarsyah juga melakukan perlawanan pada 
masa ini. Peristiwa 11 Januari dijadikan Belanda alasan untuk menangkap dan 
membuang Sultan Bagagarsyah.
   
  Akhir masa Perang Paderi bukan ditandai oleh menyerahnya Tuanku Imam Bonjol 
1837, melainkan ditandai oleh hancurnya benteng terakhir Paderi di Dalu-dalu 
dibawah pimpinan Tuanku Bosi. Untuk diketahui, Tuanku Tambusai menyerahkan 
kekuasaan pada Tuanku Bosi yang lolos dari Benteng Bonjol membawa pedang 
Al-malik milik Tuanku Rao. Tuanku Bosi tewas 1838 hancur bersama Benteng 
Dalu-dalu oleh serbuan Pasukan Koalisi Belanda-Mandailing.
   
  Jadi menurut hemat saya,
   
  Masa Perang Paderi dapat dikelompokkan menjadi:
A. 1803 - 1833: Masa Pemberontakan Wahabi Paderi
B. 1833 - 1838: Masa Pemberantasan sisa-sisa Paderi

Penjelasan
A. 1803 - 1833: Masa Pemberontakan Wahabi Paderi

Pemberontakan dimulai 1803 oleh serangan gerombolan Paderi yang
digerakkan oleh Harimau Salapan, dipimpin Tuanku Nan Renceh.
Pemberontakan diakhiri dengan pembuangan Sultan Baggagarsyah, Raja
terakhir Kesultanan Minangkabau Pagarruyung, oleh Kerajaan Belanda, dan
Kerajaan Pagarruyung dianeksasi dalam NEI (Netherland East Indies).

Masa ini dapat dikelompokkan lagi menjadi:
1. 1803 - 1815: Masa penghancuran Kerajaan Islam Minangkabau
Pagarruyung.

Pada masa ini gerombolan Wahabi Paderi menaklukkan satu-persatu wilayah
Pagarruyung. Puncaknya adalah pembantaian Penghulu dan Keluarga
Kerajaan dalam perundingan damai di Koto Tangah. Tuanku Raja Alam
Muningsyah III, Raja Alam ke-31 gugur, digantikan sementara waktu oleh
Pemangku Raja Alam, Raja Garang Tuanku Sembahyang III (Sumpur Kudus).
Dengan selesainya penaklukan wilayah Pagarruyung, gerombolan Wahabi
Paderi memulai invasi ke Utara.

2. 1815 - 1821: Masa invasi ke Tanah Batak (Tingki ni Pidari I).

Pada masa ini gerombolan Wahabi Paderi meng-invasi Batak Selatan,
mendirikan benteng pendudukan di Rao dan Dalu-dalu sebagai basis
serangan. Segera setelah pendudukan Batak Selatan, dilakukan serangan
ke Batak Utara.
Masa invasi ke Tanah Batak berakhir dengan ditandai wabah kolera dan
dimulainya kampanye militer koalisi Hindia Belanda-Pagarruyung untuk
merebut wilayah Minangkabau.

3. 1821 - 1833: Masa penumpasan gerombolan Paderi

Pada masa ini koalisi Hindia Belanda-Minangkabau merebut kembali
seluruh wilayah Minangkabau kecuali dua benteng daerah terpencil di
utara (Bonjol & Dalu-dalu).
Masa ini diakhiri oleh aneksasi Kerajaan Belanda atas Kerajaan
Minangkabau dengan cara menangkap dan membuang Tuanku Raja Hitam -
Tuanku Raja Alam Bagagarsyah, Raja Alam ke-33, dengan demikian
mengakhiri sejarah Kerajaan Minangkabau. Ditandai pula dengan jatuhnya
benteng Rao oleh pasukan gabungan Belanda-Mandailing, sehingga benteng
praktis Bonjol terisolasi.
Masa ini diakhiri oleh penandatanganan Plakat Panjang oleh Paderi
sebagai pengakuan kedaulatan Belanda di Minangkabau.


B. 1833 - 1838: Masa Pemberantasan sisa-sisa gerombolan Paderi

Pada masa ini sisa-sisa gerombolan Paderi yang bertahan di Benteng
Bonjol (jatuh Agustus 1837) dan Dalu-dalu (jatuh Desember 1938)
ditumpas oleh Belanda. Tuanku Imam Bonjol menyerah pada Belanda (sesuai
pengakuannya dalam catatan pribadi Tuanku Imam Bonjol), sedang Tuanku
Tambusai tewas (berita bahwa Tuanku Tambusai sempat tinggal di Malaysia
belum dapat dibuktikan). Sisa geromboloan Paderi berusaha membangun
basis baru di Malaysia, namun gagal dan berakhir sebagai tentara
bayaran.
   
  DEP:
  Kita boleh berbeda dalam menilai sejarah dan membuat priodisasi; dan anda 
mengetahui bila hal ini debatable, karena referensi berbeda dan pemahaman 
berbeda. Namun yang terpenting : tidak patut membuat kesimpulan cepat dan 
mempengaruhi orang lain untuk mendukung kesimpulan itu. Mudah-mudahan tidak ada 
kepentingan tertentu di dalamnya.
   
  Saya akan mencoba menguraikan secara lebih mendalam mengenai Perang Paderi 
ini, namun tidak dalam waktu dekat karena kesibukan.
   
  Berbagai referensi mengenai Perang Paderi dipostingkan di:
  http://groups.yahoo.com/group/sejarahkita
  Adapun Datuk tidak perlu mendaftar untuk melihat arsip-arsip didalamnya.
   
  Demikian penjelasan saya, kalau tidak berkenan mohon dimaafkan.
   
  Mudy

  Saya menghargai dialog ini yang pelan-pelan membuka sejarah masa lalu antara 
dua sistem budaya, mudah-mudahan tercapai kesepahaman. Saya juga mohon maaf 
bila ada hal-hal yang kurang berkenan.
   
  Wassalam,
  -datuk endang

       
---------------------------------
Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile.  Try it now.
--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
=============================================================== 
Website: http://www.rantaunet.org 
=============================================================== 
UNTUK SELALU DIPERHATIKAN:
- Selalu mematuhi Peraturan Palanta RantauNet lihat di 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-palanta-rantaunet
- Hapus footer dan bagian yang tidak perlu, jika melakukan reply. 
- Posting email besar dari >200KB akan di banned, sampai yang bersangkutan 
menyampaikan komitmen akan mematuhi Tata Tertib yang berlaku. 
- Email attachment, DILARANG! Tawarkan kepada yang berminat dan kirim melalui 
jalur pribadi.
=============================================================== 
Berhenti, kirim email kosong ke: 
[EMAIL PROTECTED] 

Webmail Mailing List dan Konfigurasi teima email, lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe 
Dengan terlebih dahulu mendaftarkan email anda pada Google Account di
https://www.google.com/accounts/NewAccount

-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Reply via email to