[ ribut2 soal Indonesia-Malaysia, di bawah ini ada pendapat menarik dari
wartawan Kompas, B. Shambazy ]

Es krim itu asli produk Amerika Serikat hasil penemuan Frederic Tudor
dari Boston. Tetapi, mereka tak pernah mengklaim es krim sebagai milik
nenek moyang mereka walaupun pabrik-pabrik es krim mereka banyak yang
kalah bersaing melawan merek-merek luar negeri seperti Haagen Dazs atau
Movenpick.

Saya setuju teori bahwa kita masih terbawa kultur Konfrontasi terhadap
Malaysia. Setiap bangsa yang memiliki "visi dunia" (negara adi daya)
atau "visi regional" (negara "middle power") cenderung memperlakukan
satu atau lebih negara tetangganya yang lebih kecil sebagai
bulan-bulanan atau pelampiasan semata. Ibarat petinju yang rajin
latihan, ia memerlukan "punching bags". Itulah yang ditunjukkan sebagian
bangsa Amerika yang gemar merendahkan bangsa Kanada, bangsa Jerman
terhadap Polandia, bangsa Jepang terhadap Korea, dan seterusnya.

Kekesalan terhadap Malaysia belakangan ini sebenarnya makin menguak
sendiri wajah topeng bangsa kita. Dan ternyata topeng yang kita pakai
berlapis-lapis sehingga sukar mengetahui persis yang mana wajah kita
yang sesungguhnya. Kita merasa identitas kita (wayang, batik, Rasa
Sayange) dicuri Malaysia, namun tak pernah sadar setiap hari kehilangan
muka, rasa percaya diri, martabat, kekayaan alam, uang negara, dan
lain-lain.

Kita merasa Malaysia pencoleng jahat, padahal kerjaan kita setiap hari
mencuri. Kita merasa Malaysia tak jujur, kita tiap menit berbuat curang
di jalan raya. Kita menuduh Malaysia tukang jiplak, tetapi kita
mencontek film horor, lagu, hak cipta, dan lain-lain. Di sebuah milis
ada
ledekan baru: Malaysia memang "Malingsia", tetapi kita "Munafiksia" .

Menurut saya yang lebih berbahaya adalah kebiasaan menyalahkan Malaysia
ini sejak peristiwa Ambalat telah dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu
yang berkuasa untuk mengalihkan perhatian dari sederet masalah di dalam
negeri.
Ambalat jelas dimanfaatkan untuk mengalihkan perhatian dari
dampak-dampak negatif akibat kenaikan harga BBM saat itu.

Ketika Kompas meliput HUT Malaysia ke-50 ke Kuala Lumpur salah seorang
reporter mencari tahu mengapa si pelatih karate dianiaya polisi.
Ternyata suatu Subuh ia mendatangi sebuah lokasi pemukiman TKI yang
sedang panas.
Polisi sedang mengawasi lokasi itu karena jadi sarang perdagangan gelap
narkoba dan sudah banyak TKI yang ditangkap. TKI melakukan perlawanan,
termasuk membakari mobil polisi dan menancapkan bendera merah-putih di
rongsokan mobil yang dibakar itu.

Nah si pelatih karate yang datang ke sana ditanyai polisi, namun ia
malah memukul seorang polisi dan lalu kabur. Maka ia dikejar dan
dianiaya.
Andaikan insiden itu terjadi di Amerika Serikat, si pelatih karate
mungkin sudah didor. Republik geger gara-gara "penganiayaan" itu, namun
semua pihak yang berkepentingan (KONI, Forki, Mennegpora, Kepolisian
RI, dan instansi-instansi lainnya) enggan membuka akses kepada wartawan
yang ingin bertanya kepada si pelatih karate: eh, lu ngapain sih
Subuh-subuh ke sono? Itulah sebabnya kami sebagian wartawan menyimpulkan
pemanfaatan isu penganiayaan untuk mengobarkan nasionalisme sempit
sekaligus mengalihkan perhatian dari masalah-masalah dalam negeri.

Soal kedua yang cukup penting adalah jumlah TKI di Malaysia (legal atau
ilegal) mencapai 3 juta orang atau sekitar 10 persen dari total populasi
Malaysia. Jadi bayangkan jika di Indonesia, yang berpenduduk sekitar
210 juta, terdapat sekitar 21 juta (atau sekitar 10 persen) orang
Malaysia.

Mereka merebut pekerjaan di segala sektor, suka main kucing-kucingan
dengan penguasa (polisi, RELA, imigrasi, dan sebagainya), gemar
melakukan kejahatan, dan seterusnya. Ini masalah sosial, bukan politik,
yang perlu dipecahkan.

Saya tahun lalu dua bulan berada di Jerman meliput Piala Dunia 2006 dan
tampak jelas bagaimana warga Turki mulai diperlakukan secara
rasialistis/ diskriminatif oleh orang-orang Jerman. Warga Latin di
California juga
mengalami hal yang sama, begitu juga orang-orang Afrika (Tunisia,
Maroko, dan Aljazair) di Perancis.

Kita tentu layak marah TKI diperlakukan diskriminatif selama mereka
memasuki wilayah Malaysia secara resmi, bukan "illegal alien". Di lain
pihak KBRI di Kuala Lumpur justru memperlakukan TKI secara tidak
manusiawi, termasuk memeras penghasilan mereka. Sekarang ini mantan
duta besar RI di Malaysia sedang diadili karena skandal pemerasan TKI
dan beberapa petugas Kantor Imigrasi bahkan sudah dijatuhi vonis oleh
pengadilan.

Celakanya tingkat emosi sebagian masyarakat sudah terlalu tinggi
sehingga sukar saling tukar pendapat dengan mereka. Saya sudah lama
menarik kesimpulan rakyat kita memang pintar, makanya Ibu Negara Ny Ani
Yudhoyono membuat proyek pembuatan "rumah pintar", "mobil pintar",
bahkan "motor pintar" untuk "rakyat pintar."

Salam,
Budiarto Shambazy


--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
=============================================================== 
Website: http://www.rantaunet.org 
=============================================================== 
UNTUK SELALU DIPERHATIKAN:
- Selalu mematuhi Peraturan Palanta RantauNet lihat di 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-palanta-rantaunet
- Hapus footer dan bagian yang tidak perlu, jika melakukan reply. 
- Posting email besar dari >200KB akan di banned, sampai yang bersangkutan 
menyampaikan komitmen akan mematuhi Tata Tertib yang berlaku. 
- Email attachment, DILARANG! Tawarkan kepada yang berminat dan kirim melalui 
jalur pribadi.
=============================================================== 
Berhenti, kirim email kosong ke: 
[EMAIL PROTECTED] 

Webmail Mailing List dan Konfigurasi teima email, lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe 
Dengan terlebih dahulu mendaftarkan email anda pada Google Account di
https://www.google.com/accounts/NewAccount

-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke