Kecek Uwan Dino dari Washinton, iyo banyak diaspora Indonesia ko. Baa pulo diaspora Minang (Parantau istilah awak e). Lah mambao kepeng ka kampuang? Kalau indak takirim kepeng ka kampuang baa pulo nasib e?
salam, Suryadi ================= Salam Diaspora, Berikut naskah asli artikel saya yang dimuat di Kompas hari ini. Saya sudah berada di Los Angeles untuk persiapan Kongress. Bagi rekan-rekan yang berada di East Coast dan menghadapi musibah heatwave, thunderstorms dan power outage, saya doakan semoga semua berada dalam keadaan baik dan selamat. Kalau ada yang menjadi korban langsung musibah ini, harap segera lapor ke KBRI Washington DC atau ke KJRI New York. Salam, dino djalal DIASPORA INDONESIA SEBAGAI KEKUATAN BARU Oleh : Dr. Dino Patti Djalal Dalam berbagai proyeksi masa depan Indonesia di abad ke-21, ada satu faktor yang sering luput dalam kalkulasi bangsa : diaspora Indonesia. "Diaspora" disini merujuk pada semua orang di luar negeri yang berdarah, berjiwa dan berbudaya Indonesia - baik yang masih WNI maupun yang sudah menjadi WNA. Selama ini, belum ada pendekatan dan atensi sistematis dari Indonesia terhadap kelompok diaspora ini. Berapa jumlah diaspora Indonesia ? Tidak ada yang tahu persis. Yang pasti, jumlah diaspora Indonesia jauh lebih banyak dari yang diperkirakan, dan jauh lebih besar dari jumlah WNI di luar negeri yang tahun 2010 tercatat sekitar 3 juta orang. Di Madagascar, misalnya, tercatat hanya 57 pemegang paspor Indonesia; namun 60 % penduduknya keturunan Indonesia. Di Afrika Selatan, tercatat 334 WNI, namun diketahui ada 1,2 juta keturunan Indonesia - bahkan ada kota bernama Makassar. Di Kaledonia Baru ada tercatat 334 WNI, namun keturunan Indonesia berjumlah sekitar 7,000. Di Belanda, walaupun WNI hanya 15,000, konon ada 1 juta yang berdarah Indonesia. Apalagi di Malaysia, dimana tercatat ada sekitar 1,5 juta WNI. Yang menarik, diaspora Indonesia - apakah WNI maupun WNA - mempunyai brain power yang luar biasa. Selama di AS, saya tak kunjung habis bertemu inovator, entrepreneur, pelopor, edukator dari diaspora Indonesia. Karena itu, "diaspora Indonesia" lebih dari sekedar perantau, namun suatu komunitas besar yang padat ilmu, ide, modal dan jaringan. Saya percaya, secara hitungan kasar, jumlah diaspora Indonesia paling tidak 2 kali jumlah penduduk Singapura, dengan pendapatan per kapita 5 kali lipat per kapita di Indonesia. Diaspora juga mempunyai idealisme yang tinggi - mungkin lebih tinggi di Indonesia yang sedang dilanda budaya sinisme (culture of cynicism). Dimana-mana, saya bertemu diaspora WNI ingin kembali berkarya di tanah air, dan diaspora WNA yang ingin berbuat sesuatu bagi Indonesia. Sehat Sutarja, industrialis IT di Silicon Valley asal Indonesia, misalnya, menyatakan: "I have now reached a point in my life where I have begun to think more about my past and my heritage", dan sekarang merencanakan membuat cabang kantor Marvell di Indonesia yang akan merekrut inovator-inovator Indonesia. Masalahnya, diaspora Indonesia di berbagai kota dan negara mempunyai satu ciri yang menyolok : mereka tercerai berai dan tidak saling kenal. Diaspora Indonesia ibarat "thousands of unconnected dots". Seringkali, hubungan mereka dengan tanah air juga minim. Hal ini membuat diaspora menjadi komunitas yang penuh potensi tapi lemah koneksi. Karena itulah, sudah waktunya pendekatan "diaspora" jadi kebijakan nasional. Presiden Yudhoyono menyatakan bahwa konsep diaspora adalah "strategi baru" Indonesia. Dalam upaya Indonesia untuk menjadi kekuatan dunia, lingkaran pertama yang otomatis perlu dibina adalah komunitas diaspora yang secara alami mempunyai kaitan batin dan tali sejarah dengan Indonesia. Pendekatan "diaspora" bukan pendekatan legalistis yang kaku (hanya WNI) namun pendekatan kultural yang lembut dan luwes. Dalam pendekatan ini, semua orang Indonesia di luar negeri - selama masih cinta Indonesia - dianggap sebagai saudara kita, sebagai bagian dari keluarga besar bangsa Indonesia dan, lebih penting lagi, sebagai aset. Di era global, diaspora mempunyai kapasitas besar sebagai pelopor kesejahteraan. Di tahun 1980'an, Tiongkok berhasi memanfaatkan jasa jutaan diaspora Cina yang tersebar di Asia untuk menjadi jembatan modal yang kemudian mengakibatkan pertumbuhan ekonomi yang spektakuler. India dewasa ini aktif membina hubungan kemitraan dengan 24 juta diaspora India di seluruh dunia. Diaspora Azerbaijan jumlahnya melebihi populasi Azerbaijan sendiri, sementara diaspora Filipina setiap tahun mengirim uang ke keluarganya yang jumlahnya 10 % dari PDB Filipina. Contoh terbaik adalah Yahudi : konon hanya ada 14 juta orang Yahudi di seluruh dunia (termasuk di Israel) namun karena koneksitas diaspora Yahudi yang sangat tinggi, mereka menjadi kelompok ekonomi yang paling kuat di dunia. Tahun lalu, Bank Dunia mencatat jumlah pengiriman uang dari diaspora berbagai bangsa di seluruh dunia ke kampung halaman mereka mencapai US$ 483 milyar. Lebih dari sekedar keuntungan ekonomi, pendekatan diaspora ini juga bermanfaat untuk "re-profiling" citra insan Indonesia di luar negeri. Selama ini, kesan yang ditimbulkan warga di luar negeri adalah mereka penuh dengan masalah dan insiden, bahkan kadang tersandunginferiority complex. Kenyataannya, diaspora Indonesia penuh dengan profil-profil yang sukses, sigap bersaing di dunia internasional dan menjadi tauladan di komunitasnya. Sukses mereka sebenarnya adalah sukses Indonesia juga. Kebijakan diaspora, karenanya, merupakan bagian dari nasionalisme Indonesia yang sehat dan terbuka. Diaspora Indonesia sebenarnya sudah cukup lama memainkan peran sejarah. Di awal abad ke-20, diaspora Indonesia lulusan Belanda membantu menyulut gerakan nasionalisme yang kemudian melahirkan Indonesia modern. Di tahun 1970-an, diaspora Indonesia yang disebut sebagai "Berkeley Mafia" tampil menjadi arsitek pembangunan ekonomi yang membuat Indonesia, terlepas dari masalah KKN, mengalami salah satu pertumbuhan tertinggi di Asia dan mencetak pengentasan kemiskinan yang signifikan. Seorang diaspora Indonesia dari Jerman - B.J. Habibie - kemudian menjadi Presiden Indonesia ke-3. Inilah yang melatar belakangi penyelenggaraan Kongres Diaspora Indonesia di Los Angeles tanggal 6 - 8 Juli 2012. Kongres ini berpotensi menjadi pertemuan historis, karena untuk pertama kalinya ribuan diaspora Indonesia berkumpul atas motivasi yang sama : menjalin koneksitas atas dasar kecintaan pada Indonesia. Mudah-mudahan, di Los Angeles nanti akan timbul suatu identitas dan kebanggan kolektif sebagai diaspora Indonesia. Mudah-mudahan, diaspora Indonesia bukan hanya menjadi seribu suara yang lantang, namun suatu kekuatan besar bagi Indonesia - kekuatan kreatif, kekuatan ekonomi, kekuatan intelektual dan kekuatan moral. * Dr. Dino Patti Djalal adalah Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat. -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet http://groups.google.com/group/RantauNet/~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. =========================================================== UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi: - DILARANG: 1. E-mail besar dari 200KB; 2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 3. One Liner. - Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1 - Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting - Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply - Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti subjeknya. =========================================================== Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/