Kalau melihat preseden kasus Rawagede (sekarang Balongsari), Karawang, 1947, 
yang berhasil membuat Pemerintah Belanda minta maaf dan membayar kompensasi 
kepada ahli waris korban pembantaian, mestinya ada upaya dari 
organisasi-organisasi Minang atau ahli hukum asal Minang yang mendaftarkan 
kasus ini ke Pengadilan Sipil Den Haag seperti kasus Rawagede.

Bukan tidak mungkin keluarga langsung korban Situjuh juga mendapatkan 
permintaan maaf dan kompensasi, karena sudah ada yurisprudensinya.

Masalahnya: apakah untuk gugatan atas kejahatan perang ini kembali tergantung 
pada sosok Prof. Liesbeth Zegveld seperti pada kasus Rawagede, 
sementara orang Minang sendiri sibuk menghabiskan energi baku argumen soal anak 
pecandaian, film layar lebar, sampai ide kembali pada negara federal, ketimbang 
serius mengangkat harkat para korban seperti solidaritas orang-orang Karawang? 

Sanak Nofend Tan Mudo,
mengingat kasus pembiaran nama Bung Hatta sebagai nama  jalan selalu menjadi 
bagian dari nama Soekarno-Hatta (seakan-akan mereka kembar siam yang tak 
terpisahkan, padahal sejarah tak mencatat keduanya akur selalu), pembiaran 
kewenang-wenangan terhadap Pak Sjafruddin Prawiranegara, pembiaran imej Tan 
Malaka yang meski sudah diangkat sebagai Pahlawan Nasional, tetapi namanya tak 
diajarkan di dalam rumah-rumah Minang seakan-akan dia biang sampar yang harus 
dijauhi selama-lamanya,  saya kira untuk soal Tragedi Situjuh ini sanak Nofend 
tak udah berharap terlalu banyak akan ada perubahan lah. 

Wassalam,

ANB 
Cibubur 


Powered by Telkomsel BlackBerry®

-----Original Message-----
From: "Nofend St. Mudo" <nof...@rantaunet.org>
Sender: rantaunet@googlegroups.com
Date: Mon, 14 Jan 2013 09:28:18 
To: <RantauNet@googlegroups.com>
Reply-To: rantaunet@googlegroups.com
Subject: [R@ntau-Net] Tragedi Situjuh dan Kejahatan Perang

*Assalamualaikum Wr.Wb.*



*Merdekaaa…!*



64 tahun yang lalu yang tepatnya dini hari menjelang suara adzan Subuh
berkuman­dang tanggal 15 Januari 1949, Indonesia berduka atas
me­ning­galnya 69 orang bunga bangsa di ujung senjata serda­du Belanda.
Tragedi yang begitu menyayat batin dan terjadi di sebuah desa yang bernama
Situjuh Batur yang menjadi bagian administrasi Kabupaten 50 Kota, Sumatera
Barat.



Kekejaman serdadu Belan­da yang telah membuat air mata dan darah tumpah ke
Bumi Ibu Pertiwi ini masih dikenang dengan dengan meng­gelar upacara dan
me­man­jatkan doa untuk pahla­wan yang gugur setiap tahun­nya. Kisah dan
peristiwa penyerangan selalu disampai­kan melalui lisan dan tulisan kepada
generasi penerus. Ke­lak dimasa yang akan datang, mereka tetap meng­hargai
dan menghormati perjuangan para pahlawan yang gugur demi kehidupan mereka
yang bebas dan mer­deka.



Dalam penuturan salah satu saksi kunci tragedy Situjuh Bapak Khairuddin
yang merupakan anak dari Wedana Militer Makinuddin HS, pembunuhan yang
dilaku­kan oleh Serdadu Belanda di Situjuh Batur tidak hanya di surau Lurah
Kincia. Namun, pembunuhan juga dilangsung­kan di depan balai adat Situjuh
Batur (sekarang kan­tor Wali Nagari Situjuh Batur) kepada para laki-laki
dewasa yang dicurigai sebagai pejuang.



Terlebih dahulu, mereka disweeping di sekitaran nagari Situjuh Batur.
Bahkan pendu­duk yang sedang tertidur pulas dan mau berangkat ke sawah juga
ditangkapi. Ini dikarena­kan pada dini hari saat pengge­re­bekan di Surau
Lurah Kin­cia banyak peserta rapat yang berhasil meloloskan diri. Hampir
seluruh masyarakat yang ditangkap oleh Belanda tersebut adalah pribumi yang
tidak tahu dengan aktivitas rapat. Karena sebelumnya, rapat tersebut
sifatnya sangat rahasia dan tidak diberitahu masyarakat sekitar.



Jumlah laki-laki dewasa yang dikumpulkan melebihi ratusan orang. Di sana
mere­ka disuruh memperagakan gerakan baris berbaris. Bagi mereka yang
mempunyai gerakan baris berbaris yang cukup baik, langsung dipisah­kan dari
rombongan. Kemu­dian mereka yang dipisahkan tersebut kemudian disuruh
jongkok dan matanya ditutup. Saat itulah raungan senapan pasukan kompeni
ini meletus memecahkan kepala para pribumi yang tidak tahu apa-apa tersebut
tanpa alasan yang pasti.



Usai menghabisi nyawa masyarakat yang tidak tahu apa-apa tersebut, serdadu
Belanda langsung meninggal­kan Situjuh Batur. Mayat-mayat yang
bergelimpangan di depan Balai Adat tidak dihiraukannya lagi. Sedangkan
laki-laki dewasa yang tidak dieksekusi disuruh mengang­kut barang rampasan
dari Situjuh Batur menuju kota Payakumbuh.



Dalam tragedi Situjuh Batur ini, kita dapat melihat dua pembantaian
terhadap rakyat Indonesia yaitu saat penyerangan ke Surau Lurah Kincia yang
mayoritas korban berasal dari pihak militer dan Pembunuhan massal di Depan
Balai Adat yang mayoritas penduduk sipil yang tidak tahu menahu persoalan.



Penyerbuan yang dilaku­kan oleh serdadu Belanda ke Situjuh Batur telah
menghi­langkan nyawa rakyat Indo­nesia yang telah merdeka secara *de
facto* tanggal
17 Agustus 1945 dan secara *de jure* tanggal 18 Agustus 1945 saat
disyahkannya UUD 1945. Namun, pernahkan Belanda merehabilitasi tragedi
Situjuh dalam bentuk apapun baik secara moral maupun materil kepada
korban-korban yang yang secara hukum menga­lami kerugian atas tragedy ini?.
Yang mana kerugian-kerugian dimaksud adalah konteks keperdataan pribadi
sebagaimana dimaksudkan dalam pada pasal 1365 KUH Perdata/BW.



Melirik konvensi Jenewa tahun 1949 yang meletakkan dasar hukum Humaniter
de­ngan merumuskan dalam masa konflik bersenjata, kasus Situjuh dapat
dijadikan referensi sebagai kejahatan perang. Sebab, sebagian kor­ban
merupakan rakyat sipil yang tidak mengetahui apapun persoalan yang terjadi
di surau Lurah Kincia dan diekse­kusi tanpa adanya proses pengadilan dan
tidak melaku­kan perlawanan.



Setidaknya, kita dapat melihat beberapa kasus ke­ma­nusiaan yang pernah
terja­di di dunia ini akibat keja­hatan perang yang meli­batkan rakyat
sipil dengan berlan­daskan konvensi Jenewa 1949 seperti perang Afgha­nistan
(2001-sekarang), Invasi Irak (2003) Invasi Chechnya (1994-sekarang) dan
perang di Georgia (2008).

* *

*Nah, bagaimana dengan korban dari pihak militer ??.*



Mulai dari Indonesia Mer­de­ka tanggal 17 Agustus 1945 hingga berakhirnya
Agresi Militer II Belanda tanggal 10 Juli 1949, Belanda masih gigih dengan
sikapnya untuk menjajah kembali bekas negeri Hindia-Belanda ini dengan
alasan berpatokan kepada instruksi ratu Welhel­mina yang menginginkan
negara persemakmuran di wilayah bekas jajahannya ini.



Akan tetapi jika kita melihat kebelakang, Belanda yang berboncengan dengan
pasukan NICA masuk ke Indonesia sangat jelas untuk melaksanakan hasil
perjan­jian Wina 1942 yang mene­gas­kan jikalau suatu saat Jepang kalah
dalam Perang Pasifik, NICA mempunyai kewajiban untuk mengem­balikan seluruh
serdadu Je­pang ke negaranya. Namun, apa maksud dan tujuan Belan­da datang
ke Indonesia tidak serta merta mengimple­men­tasikan perjanjian Wina 1942
secara utuh. Melainkan melak­sanakan instruksi ratu Wel­hel­mina. Niat ini
begitu jelas setelah pasukan NICA pulang ke negaranya tanpa membawa kembali
pasukan Belanda pada Juli 1946.



Ini jelas namanya Belanda mencoba kembali mengusik ketentraman masyarakat
Indonesia yang telah merdeka. Sebagai institusi yang menga­mankan
kedaulatan sebuah negara, militer mempunyai kewajiban dan tanggung ja­wab
untuk membela serta mengkondusifkan segala se­sua­tu yang bersifat
mengan­cam NKRI. Karena itulah, Militer Indonesia terpaksa mengangkat
senjata dan merekrut para laskar pejuang dengan maksud memper­tahankan
kemerdekaan RI.



Dari penjabaran di atas, kita dapat melihat bahwa Belanda-lah yang
menciptakan suasana perang di negara yang telah merdeka ini sele­pas
pasukan NICA angkat kaki. kita tidak perlu pusing dengan skema ataupun
anali­sis perang itu apa atau bagai­mana hukumnya. Apa yang telah dilakukan
oleh Belanda di negara Indonesia yang telah merdeka periode 1945-1949
merupakan pelanggaran dalam perjanjian Wina 1942 dan penjahat perang.



Layaknya upaya Amerika yang melakukan invasi ke Irak, hampir seluruh warga
negara terusik dengan kedata­ngan pasukan militer negara kapitalis
tersebut. Situasi perang tercipta secara lang­sung antara Irak dan AS yang
mana para penduduk sipil dan militer berupaya sekuat tenaga mempertahankan
nama baik dan harkat martabat bangsa mereka hanya karena fitnahan presiden
George Bush yang menuduh Irak menyim­pan senjata pembunuh massal.



Suasana bunuh membu­nuh, mayat bergelimpangan di jalan raya, dan
penyerangan bom menjadi hal yang biasa di negeri kaya minyak terse­but.
Namun, apakah hal tersebut bisa kita katakan hal yang lumrah?. Ini bisa
kita katakan *mereka terbunuh akibat permainan politik* dari AS. Mereka
hanya korban kebiadaban dan sama dengan para korban tragedy Situjuh Batur
yang terbunuh akibat permainan politik Belanda.



Memang, kita tidak ingin rasanya luka lama tersebut basah kembali dan
mence­derai hubungan baik antara Negara Belanda dan Indonesia pada saat
ini. Akan tetapi, pemerintah Belanda mempu­nyai kewajiban untuk
me­ngem­balikan hak dan moril para bunga bangsa yang telah gugur ini dengan
memberikan penghargaan dan menyam­paikan permintaan maaf kepada Almarhum
dan keluar­ga korban yang menderita akibat ditinggal pergi korban untuk
selamanya secara lahir dan bathin.



Dan saat ini, slogan “*Bang­sa yang besar adalah bangsa yang menghargai
jasa-jasa pahlawannya*” sangat ditagih oleh para pahlawan untuk
mengembalikan hak moril mereka kepada kita (generasi penerus). Alangkah
tergugah dan terharunya mereka di alam sana, jika kita memper­juangkan hak
mereka secara bersama-sama dan saling bahu membahu membawa tragedy Situjuh
Batur tanggal 15 Januari 1949 ke ranah hukum internasional. Setelah mereka
menunaikan kewaji­ban dalam membela negara, kita juga mempunyai kewaji­ban
untuk mengembalikan hak dan martabat pahlawan yang telah gugur.

* *

*Belajar Dari Rawagede*



Tepat pada tanggal 14 September 2011, para awak media massa di Indonesia
dan Belanda dikejutkan dengan kemenangan Yayasan K.U.K.B di persidangan
Internasional Den Haag atas pembunuhan massal Rawagede, Kabupaten Karawang,
Jawa Barat tang­gal 9 Desember 1947. Dalam persidangan ini, pemerintah
Kerajaan Belanda dinyatakan bersalah dan harus menyam­paikan permintaan
maaf secara terbuka kepada masya­rakat Rawagede serta mem­berikan santunan
kepada keluarga para korban yang ditinggalkan.



Atas kemenangan ini, pemerintah Belanda mengi­rimkan delegasinya untuk
berkunjung ke Desa Rawagede dan berziarah ke makam para korban untuk
menyampaikan permintaan maaf dan penye­salan terhadap peristiwa berdarah
tanggal 9 Desember 1947 yang lalu.



Namun di balik kesuk­sesan tersebut, perjuangan mengembalikan hak para
korban Rawagede tidaklah gampang. Didalam persida­ngan, pemerintah Belanda
juga melakukan perlawanan. Bahkan berani mengatakan kasus Rawagede telah
kada­luarsa.



Berkas tuntutan para janda dan anak korban di Rawagede juga sempat ditolak
oleh pemerintah Belanda. Dengan alasan pada tahun 1969, presiden Soeharto
per­nah membuat kesepakatan dengan pemerintah Belanda tidak akan menuntut
ataupun menggugat Belanda atas kejahatan perang yang dilaku­kannya selama
tahun 1945-1949.



Namun, upaya dan kegigi­han rekan-rekan Yayasan Komite Utang Kehormatan
Belanda (K.U.K.B) yang berpu­sat di Heemskerk, Belanda bersama Pengacara
K.U.K.B Prof. Dr. Liesbeth Zegveld Tragedi Rawagede berhasil dimenangkan.



Dengan beratnya perjua­ngan dan proses pengadilan dalam mengungkap
pelangga­ran HAM yang dilakukan serdadu Belanda dalam pe­riode 1945-1949
yang telah terjadi puluhan tahun yang silam, ketua Yayasan K.U.K.B Pusat,
Mr. Jeffry M. Poondag menekankan kepada seluruh keluarga korban perang
untuk bersama-sama berjuang dan membantu K.U.K.B terlebih dahulu tanpa
mengharapkan hasil kemenangan seperti tragedi Rawagede. Karena dalam proses
akan terdapat berbagai halang rintang yang mampu mematahkan perjua­ngan
kita. *(***)*



*HAJRAFIV SATYA NUGRAHA*
(Ketua Yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda Perwakilan Sumatera)



*Senin, 14 Januari 2013 01:45*

http://harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=20417:tragedi-situjuh-dan-kejahatan-perang&catid=11:opini&Itemid=187

-- 
*
*
*Wassalam

*
*Nofend St. Mudo
36Th/Cikarang | Asa Nagari Pauah Duo Nan Batigo - Solok Selatan
Tweet: @nofend <http://twitter.com/#!/@nofend> | YM: rankmarola
*

-- 
-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/




-- 
-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/



Kirim email ke