Assalamualaikum Wr Wb, Dunsanak komunitas r@ntaunet n.a.h dan a.c. Malalui milis grup urang awak ko "seniman minang" Mak Lembang Alam acok mampalewakan carpen nan rancak dan lamak dibaco. Kamudian, Sanak Akmal N.Basral panah pulo 2X mampalewakan carpen rancaknyo supayo awak baco basamo-samo via alam maya.
Untuak sakali ko, izinkanlah ambo mancibo pulo mampalewakan carpen tahun katumba nan ambo liek di ladang Inyiak Google alah manjadi "kajian wajib" di babarapo sikola (SMA) di provinsi JaTeng. Meski carpen nangko ambo tulih (di tangah lauik) labiah dari 31 tahun nan lalu --kutiko Si mm masih bujang bakarajo di kapa, dan indak panah takuik ka urang-- namun ambo liek tampaknyo carpen ko masih laku untuak dihinok-i jo hati barasiah. Alah sampai di ma HARAGO DIRI awak urang awak hari nangko? Salam..................., *mm**** Lk-2, 58, Bks. *Harga Diri* Sebetulnya, saya ini orangnya memang melarat. Buktinya, sudah hampir sepuluh tahun saya Merantau Cari Makan (Merancama) di Jakarta. Sebuah rumah yang wajar saja saya belum punya. Apalagi rumah ukuran *real estate* itu. Kalau dulu presiden kita pernah mengumumkan, bahwa tiga dari sepuluh penduduk RI berada di bawah garis kemiskinan, terus terang saja, saya termasuk golongan 'tiga'-nya itu. Sungguh pun demikian, saya masih merasa bahagia dan lebih kaya dibandingkan dengan saudara-saudara saya yang tidur di kolong jembatan atau emper toko. Sebab, sampai hari ini saya belum pernah merasakan apa itu lapar. Maklum, jelek-jelek orang tua saya, lelaki, masih ada jaminan hari tuanya dari departemen tempat beliau mengabdi selama tiga puluh tahun. Coba bandingkan dengan saudara-saudara saya yang diseret nasib tidur bergelandangan dari emper ke emper. Jangankan kelaparan, puasa tiga hari nonstop pun telah menjadi acara rutin bagi mereka. Suatu sore, pernah saya kedatangan tamu yang tak diundang. Waktu itu saya sedang duduk rileks di beranda rumah, sambil makan roti tawar. Tiba-tiba seorang pengemis lelaki menyodorkan telapak tangannya pada saya. Orangnya kurus kering. Pakaian dekil dan bertambal sana-sini. "Sedekah Tuan. Kasihanilah orang tak punya." Demikian sang pengemis melontarkan premis pada saya. Mungkin karena saya masih diam dan bermuka tak damai, kembali Si Pengemis dengan mimik yang meyakinkan menadahkan tangan. "Tolonglah beri makan sedikit saja Tuan. Dari kemarin saya belum makan, Lapar Tuan…." Terdorong oleh perasaan kemanusiaan yang sama-sama punya hak atas hasil bumi nusantara ini, saya berdiri. Lalu sepotong roti tawar saya comot dari piring. Lantas roti itu saya lemparkan kepadanya. Pas jatuh di lantai dekat kakinya. Saya kira ia akan cepat-cepat menerkam roti itu dan dengan rakusnya melumatnya habis. Sebab, ia lapar bukan? Eh, tau-taunya si pengemis ini tertegun. Matanya yang tadi sayu melebihi mata seorang morphinis, kini menatap saya tajam. Sambil menyeka keringat kelaparan yang meleleh di keningnya, pengemis itu berkata dengan sopan kepada saya. "Maaf, Tuan, saya memang lapar.… Tetapi, cara Tuan memberi saya tadi mengakibatkan saya kenyang. Terima kasih, Tuan!", kemudian ia berlalu. Sempat saya lihat Bapak pengemis yang berusia empat puluh tahunan ini berlinang air mata. Entah berapa lama saya tertegun --kehilangan sukma-- setelah kepergian pengemis itu, saya tidak begitu tahu. Yang jelas, apa yang baru saja terjadi akibat kekasaran saya cukup berkesan. Saya terpukul. Saya jadi malu pada diri sendiri. Baru punya GNP $240 soknya bukan main. Entah mengapa, tiba-tiba mata saya berkaca-kaca. Saya sungguh menyesal. Beribu sesalan mengalir pada waktu itu. Sadarlah saya. Segembel-gembelnya seorang gelandangan, *tokh* masih kenal hidup, bukanlah kebun binatang. Pengemis tadi, meskipun lapar, meskipun ia miskin dari saya, ternyata ia masih punya harga diri. Suatu hal yang tadinya saya abaikan. Mengingat itu, saat itu juga saya meratap menyesali diri. Memang saya ini manusia tak beradab. Sia-sialah tiap hari saya mengenakan pakaian rapi dan sesekali pakai dasi ke pesta kawan. Ternyata, saya ini melebihi kasarnya manusia-manusia zaman purba. Lebih biadab rasanya dibandingkan dengan nenek moyang saya yang berasal dari Hindia Belanda. Dalam hal yang sama tetapi versi lain, saya menemui lagi persoalan harga diri. Seperti yang Anda ketahui juga agaknya, saya ini orangnya sangat suka bertualang. Sebab --terus terang saj-- dalam usia semuda ini suratan nasib telah menyeret saya untuk jadi seorang pelaut. Yakni suatu dunia yang penuh dengan pelbagai pengalaman hidup aneh-aneh. Waktu itu, kapal kami sedang sandar (*discharge*) di dermaga Napoli, Italia. Sebagai anak muda yang cenderung tertarik pada dunia tulis menulis ketimbang dunia laut, dalam sebuah bar saya terlibat dengan seorang pelaut kebangsaan Spanyol. *"Are you an Indonesia?"* tanya Si Bule yang memperkenalkan dirinya dengan nama Ludwig Michael itu. *"Yes. What do you want?",* balas saya dalam bahasa Inggris pasaran. *"Oh no. Saya cuma ingin tahu saja. Saya sering mendengar nama negeri Anda, tetapi saya tidak tahu entah di mana letaknya."* Demikian si Ludwig dalam bahasa Inggris bertanya lugu. Tampak sekali ia bertanya ini benar-benar seperti orang tidak tahu. Mulanya saya merasa gembira karena cita-cita saya untuk menjadi duta bangsa di negeri orang terlaksana. Karena kebodohan anak Spanyol ini mau tak mau saya harus memberi ia penjelasan. Tetapi, di segi lain batin saya menjerit. Di abad kedua puluh ini masih juga ada manusia yang tak kenal negeri saya? Indonesia nan kaya raya? Benar-benar keterlaluan! Kemudian berceritalah saya kepadanya. Bahwa Indonesia itu adalah sebuah negara yang paling besar di Asia Tenggara. Dalam soal jumlah penduduk, nomor lima di dunia. Dan dengan tegas saya tandaskan bahwa Indonesia bukanlah sebesar Bali sebagaimana yang ia sangka. Tapi, kalau Bali adalah bagian kecil dari Indonesia, itu memang benar. Begitu saya menjelaskan berapi-api padanya. Apakah ia mengerti atau tidak dengan penerangan saya dalam bahasa Inggris asal jadi ini, saya tidak begitu tahu. Yang jelas si Ludwig kelihatan mengangguk-angguk. Sedangkan mengangguk itu kata orang adalah pertanda paham. "Kamu bilang negara kamu kaya?", katanya lagi. "Anehnya kok masih saja meminta dari negara lain. *Why?"* "Stop!" bentak saya tersinggung. Walau bagaimana pun melaratnya saya hidup di Jakarta, kalau bangsa asing telah mulai menyebut negara saya peminta-minta, demi Tuhan, mati pun saya mau duel dengannya. "Kamu jangan beranggapan demikian, Ludwig," kata saya sambil membelalakan mata. "Kami bukan meminta, tau? Tetapi, negara-negara itulah yang hijau matanya melihat kesuburan negeri kami." Saya lihat ia tertegun. Jelas menunggu saya untuk memperjelas lebih lanjut dengan kalimat yang sempurna. *"My friend, Indonesia is rich of its natural resources*…. Indonesia itu adalah negara kaya raya! *Do you believe?”.* * "Y…. y…. yes. I do"*, dan ia mengangguk. *"But… but…".* "Jangan bilang *but* lagi," saya memotong. "Di negeri kami semua bisa ditanam dan tumbuh dengan subur. Kayu dibuang begitu saja bisa tumbuh jadi makanan. *Tahu nggak kau sahabat?"* *"Ukh… ukh…"* (logat Spanyol medoknya keluar). Dia kembali mengangguk. Mimiknya mengingatkan saya pada S. Bagio di layar televisi. Karena harkat kebangsaan saya disinggungnya tadi, saya makin bersemangat buat jadi Deppen di bar Napoli ini. Semua perbendaharaan kata-kata saya dalam bahasa Inggris saya keluarkan agar si Ludwig ini dapat memahami apa-apa yang saya terangkan padanya. "Karena semua bisa hidup dan ditanam di negeri kami, sampai-sampai bangsa lain ingin pula tanam uang kertas di sana. Sebab sesuatu yang ditanam --di negeri kami-- selalu menghasilkan keuntungan yang berlipat ganda. *You know?".* Karena ia tetap diam dan kelihatannya gelisah ketika mendengar bunyi seruling kapal dari arah pelabuhan, saya pun memaklumi. Rupanya ia ingin cepat kembali ke kapalnya. Kami sama-sama berdiri menjabat salam perpisahan. Maka saya tepuk-tepuk bahunya, dan dalam bahasa Inggris saya lontarkan padanya basa-basi orang Timur. Leluhur kami mengajarkan bagaimana pun pahitnya sebuah derita, namun yang keluar harus tetap manis. "Ludwig," kata saya sambil membuang puntung rokok ke lantai. "Bila kapal kamu suatu ketika nanti singgah di Indonesia, jangan lupa mampir ke Jakarta, ya. Di sana nanti kamu akan dapat melihat bahwa negeri kami tidak seperti yang kalian sangka. Di Jakarta nanti kamu akan menemui sebuah tugu yang puncaknya ada emas 30 kilogram. Bahkan, di sana ada juga stadion yang terbesar di Asia Tenggara, ada mesjid yang terbesar di Asia Tenggara.…". Dan sudah tentu saya tidak akan menyebutkan bahwa negeri kami dulu demi "saudara tua", terpaksa film *'Romusha' *dilarang beredar. *** *Muchwardi Muchtar** Sumber: majalah sastra Horison, No. 9, September 1981* -- -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet http://groups.google.com/group/RantauNet/~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. =========================================================== UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi: - DILARANG: 1. E-mail besar dari 200KB; 2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 3. One Liner. - Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1 - Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting - Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply - Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti subjeknya. =========================================================== Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/