Oleh : H St Zaili Asril, Wartawan Senior

 

SUATU hari tahun 1980 saya lupa tanggalnya, di ruang kerja inyiak Nasrul
Siddik (pemimpin umum/pemimpin redaksi Harian Umum Singgalang), saya waktu
itu baru setahun meniti karir sebagai wartawan/koresponden Harian Pagi
Kompas untuk Provinsi Sumatera Barat di bawah arahan wartawan senior H.
Marthias Dusky Pandoe beruntung berada di antara orang-orang yang saya
kagumi.

 

Dalam ruangan itu ada Nasrul Siddik dan Leon Agusta serta saya. Pembicaraan
tentang Chairul Harun yang novel Warisan-nya mendapat hadiah Yayasan Buku
Utama dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1979). Wali Kota Padang
(waktu itu) Drs. H. Hasan Basri Durin sengaja mengadakan pertemuan di Hotel
Muara Padang kini Inna Muara, untuk menghargai seorang Chairul Harun di masa
Wali Kota Hasan Basri Durin pula bekas arena Padang Fair dijadikan Pusat
Kesenian Padang (PKP) kini Taman Budaya Padang (TBP) sebagai UPTD di bawah
Dinas Pariwisata Seni dan Budaya (Parsenibud) Provinsi Sumatera Barat. 

Wali Kota Hasan Basri Durin dipandang pejabat yang peduli seniman dan
berkesenian termasuk mengundang para seniman berbuka puasa setiap Ramadhan.
Pembicaraan di Hotel Muara yang dihadiri hampir semua seniman di Padang
memang berlangsung hangat. Di antara yang jadi pembicaraan adalah, kenapa
kita (di Sumatera Barat) tidak memiliki kemampuan menghargai prestasi anak
nagari sendiri seakan menunggu orang menghargai lebih dahulu dan baru kita
tergopoh-gopoh ikut menghargai. Jelasnya, tidak ada pikiran/keinginan dari
pemerintah daerah (Pemda) baik Provinsi Sumatera Barat maupun Kota Padang
untuk menghargai karya para seniman tanpa harus menunggu mereka mendapat
penghargaan dari luar.

 

SETELAH meneruskan pembicaraan seputar sastrawan Chairul Harun, Inyiak
begitu wartawan Nasrul Siddik dipanggil akrab menyergah seniman/sastrawan
Leon Agusta: “Eh!? Takana lho dek Ambo, manga Bung ndak ikut mangecek dalam
patamuan di Hotel Muara tadi. Tanang-tanang se Bung nampak dek ambo nyoh!?”.
Leon Agusta hanya tersenyum dan menyandarkan punggungnya ke kursi rotan di
ruangan itu. Ia kelihatan seperti malas untuk menjawab. “Saya menikmati
pertemuan itu. Saya menikmati suasana perdebatan. Saya mengosongkan diri
saya bung tahu kalau ada yang namanya ilmu mengosongkan diri, sehingga saya
bisa menikmatinya,” jelas Leon Agusta sangat rileks seperti biasa kalau kita
menyaksikan Mohammad Ridwan Ilyas kemudian kita lebih mengenal nama
penyair/sastrawan Leon Agusta berbicara.

 

Keduanya berbeda pendapat. Nasrul termasuk yang berpandangan, bahwa
selayaknya Pemko Padang atau Provinsi Sumatera Barat menghargai karya para
seniman tanpa harus menuggu dulu mereka dihargai lembaga di luar Sumatera
Barat. Sebaliknya, Leon Agusta tidak memandang perlu penghargaan dari pemda
sama ada dari gubernur atau walikota demikian. Tugas seniman berkarya soal
mendapat penghargaan itu urusan orang yang akan memberi. “Kalau indak ado
dalam kapalo mereka untuk menghargai seniman, ka baa!?” 

 

Saya menangkap suasana satiris dan mungkin juga sinis dalam nada pembicaraan
Leon Agusta tersebut. Dan, memang. Sampai bertahuan kemudian bahkan hingga
tahun 2008 ini, masih tetap belum ada pangana Gubernur Sumatera Barat dan
atau Walikota Padang untuk menghargai karya para seniman. Paling-paling
beliau-beliau datang bila diundang untuk meresmikan pameran lukisan urun
ikut membiayai tidak ada. Mereka keenakan berpidato seakan sudah menghargai
seniman. Kemudian ada Badan Koordinasi Kegiatan Kesenian (BKKNI) yang
mendapat alokasi anggaran pada APBD Sumatera Barat. BKKNI yang pernah
dipimpin Chairul Harun. Di antaranya, membangun  medan nan bapaneh di
beberapa kabupaten. 

Terakhir ada pula Dewan Kesenian (DK) Sumatera Barat yang juga ada alokasi
pada APBD. Kendati ada TB Padang dan DK Sumatera Barat, tapi, alhamdulillah
dunia berkesenian tidak berkembang dan pengharagaan pada para seniman dan
karyanya tetap nihil. KALAU kemudian ada rencana untuk menghargai Chairul
Harun Insya Allah tanggal 29 Februari 2008 nanti, itu pun bukan gagasan dari
pemda (Gubernur Sumatera Barat/Walikota Padang), tapi, dari masyarakat
seniman sendiri begitu pun pernah dilakukan untuk peringatan hari meninggal
sastrawan/budayawan Ali Akbar (AA) Navis dan atau terhadap pembacaan pusi
karya Rusli Marzuki Saria di TB Padang. Agaknya, kita perlu membangun budaya
menghargai seniman dan karya-karya mereka.

Chairul dilahirkan 17 Agustus 1950 meninggal 19 Februari 1998, adalah
seorang sastrawan dan budayawan serta wartawan yang pantas dibanggakan.
Alumnus tidak selesai jurusan publisistik Universitas Ibnu Chaldum dan
pernah menjadi pegawai jawatan transmigrasi di Palu, Sulawesi Tengah
(1961-1963) lebih memilih karir kewartawanan selain sastrawan/budayawan. Ia
menjadi wartawan Aman Makmur di Pekanbaru (1963-1965) dan wartawan Angkatan
Bersenjata di Padang (1967-1968). Kemudian ia jadi Pemimpin Redaksi Harian
Umum Haluan (1969-1970) dan koresponden Majalah Berita Mingguan (MBM) Tempo
untuk Sumatera Barat.

Selain menulis pada rubrik Komentar di Harian Singgalang Padang, ia juga
mengajar (dosen tidak tetap) di Akademi Seni Kerawitan Indonesia (ASKI)
Padangpanjang. Chairul dalam pandangan saya juga seorang pemikir/filsuf
Minangkabau kontemporer. Pandangan dan sikapnya tergambar dalam karya-karya
sastra/novelnya yang berinteraksi dengan lintas budaya Nusantara dan dunia.
Di antara mungkin sebagian besar karyanya mengambil setting Sumatera Barat
dan menggambarkan perkembangan/pergolakan pemikiran di Minangkabau.

Chairul Harun juga senang berbicara dengan orang-orang muda di antaranya
dengan saya dan kawan-kawan. Dalam pandangan saya, Chairul memiliki wawasan
yang luas, persepsi yang kuat, dan analisa yang tajam secara bergurau kami
menyebutnya seorang sosialis tulen. Saya dan Shofwan Karim Elha termasuk
agak sering/secara periodik bertemu dan berdiskusi dengan Chairul. Beberapa
pandangan Chairul berpengaruh pada saya, khususnya dalam hal integritas,
analisanya yang tajam, dan keberanian menulis kritik.

 

Sebagai sastrawan, Chairul Harun juga terbilang. Di antara karyanya,
kumpulan puisi Monumen Safari, kumpulan/antologi puisi bersama penyair Rusli
Marzuki Saria, Leon Agusta, dan Zaidin Bakri (1966), novel Warisan yang
direkomendasikan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) untuk diterbitkan (1976) dan
meraih hadiah Yayasan Buku Utama Departemen Pendidikan Kebudayaan (1979).
Juga masih terdapat beberapa novel/cerita bersambung lainnya di antaranya
Ganda Hilang (1981). Proses kreatifnya dalam makalah Sastra sebagai Human
Control dibukukan dalam Duapuluh sastrawan Bicara (1984).

 

Ia juga produktif menulis cerita pendek (Cerpen). Di antaranya, kumpulan
cerpen Sang Gubernur (1977), cerpennya juga dimuat dalam antologi Cerita
Pendek Indonesia (Kuala Lumpur, 1982) yang disusun Setyagraha Hoerip dan
dalam antologi Laut Biru Lagit Biru (Jakarta, 1977) yang disusun Ajib
Rosidi. Chairul juga menulis cerita anak, di antaranya Bantajo, Basoka, dan
60 Jam yang Gawat. Menurut kalangan sastrawan/seniman/pengamat sastra di
Padang, cerpen-cerpen Chairul dapat dipandang sebagai dokumentasi sosial dan
politik Indonesia.

 

JIKA sekarang Perhimpunan Seniman Indonesia (Persindo) Sumatera Barat
menggagas/menggelar acara 10 tahun sastrawan/budayawan/pemikir dan filsuf
Chairul Harun wafat dan sekaligus menghargainya, itu sudah selayaknya
diadakan. Generasi muda hendaknya mengenal seniman/sastrawan hebat Sumatera
Barat yang namanya/karya-karyanya melintasi wilayah kulturalnya, Sumatera
Barat. Banyak anak muda di masanya yang sebagiannya kini sudah jadi orang,
adalah murid dan didikan Chairul Harun termasuk saya sendiri. (***)

 

Selasa, 19 Februari 2008,
http://www.padangekspres.co.id/content/view/2510/45/ 

 


No virus found in this outgoing message.
Checked by AVG Free Edition. 
Version: 7.5.516 / Virus Database: 269.20.7/1284 - Release Date: 17/02/2008
14:39
 

--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
===============================================================
UNTUK DIPERHATIKAN:
- Wajib mematuhi Peraturan Palanta RantauNet, mohon dibaca & dipahami! Lihat di 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet.
- Tuliskan Nama, Umur & Lokasi anda pada setiap posting.
- Hapus footer & bagian yg tidak perlu, jika melakukan reply.
- Email attachment, DILARANG! Tawarkan kepada yg berminat & kirim melalui jalur 
pribadi.
- Posting email besar dari >200KB akan dibanned, sampai yg bersangkutan minta 
maaf & menyampaikan komitmen mengikuti peraturan yang berlaku.
===============================================================
Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED]

Daftarkan email anda pada Google Account di: 
https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id
Agar dapat melakukan konfigurasi keanggotaan di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
===============================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke