________________________________
 
2. Matinya
Epistemologi
…. dari itu hendak
lah semua tanda tanya harus dipastikan, jika sebaliknya wajar sekiranya
sebagian kecil manusia Minang hidup dalam api kekalutan yang tak kunjung padam. 
Tentu saja kondisi yang tak
mengenakkan. Di sini kita melihat sebagian kecil manusia Minang yang lebih suka
hidup dalam—menyitir Giddens—kesadaran praktis. Kesadaran bertindak dalam mana
manusia tak harus berpikir keras untuknya. Sebuah kesadaran dalam lingkup
komunitarian yang pekat. Dan jika sudah begitu, sewajarnya mereka menganggap
sepele adat dan Islam di Minang Kabau.
Akan tetapi sadarkah mereka,
kalau hal itu berlaku malah sebaliknya? Ini yang seyogyanya harus
“diduduak-inok-manuangkan” manusia Minang maupun non-Minang dalam menilai, 
memahami danatau lebih dimengerti: apa sebenarnya yang hendak disampaikan dari 
bahasa-bahasa
adat? Karena sama diketahui, di bumi Minang terdapat kurang lebih 50.000
pepatah, petitih, mamang, bidal, gurindam dan pantun adat. Kesemuanya itu
adalah tataran aturan dalam hidup dan kehidupan masyrakat Minang: ekonomi,
sosial-budaya, politik, pertahanan, keamanan, malu, sopan, santun dan
sebagainnya.
Oleh sebab itu, semua tanda tanya
harus dipastikan. Satu saja lolos, tertib kosmos akan mengalami
gangguan. Alam yang ternalar sempurna tidak boleh menyisakan ganjalan
epistemologis yang mengganggu. Manusia butuh kepastian. Seperti jejaka yang
menunggu jawaban pinangannya dari sang dara. Keliaran nalar pun harus 
dihentikan.
Nalar harus bekerja tertib karena alam pun sesuatu yang tertib. Tertib alam
harus terpantul sempurna dalam kinerja nalar. Yang nyata
adalah rasional dan yang rasioanl adalah nyata, menurut Hegel. Alam bekerja
berdasarkan satu gramatika. Dan, gramatika itu hanya bisa disibak oleh nalar
yang patuh.
Jatuhnya nalar pada kesatuan
gramatika membuat naluri akan yang lain lumpuh. Keberanian nalar dalam
menjelajah pelbagai kemungkinan pengucapan pun dilibas oleh kecemasan
epistemologis yang berlebihan. Padahal, justru relativisme lahir dari rahim
kecemasan sedemikian. Kecemasan untuk mengarungi ruang hampa di luar lingkungan
komunitarisnya, yaitu kebaikan dan keindahan.
Karl Raimund Popper filsuf sains
termansyhur, menolak bentuk komunitarianisme macam itu. Ia menyerang
relativisme paradigma yang digagas rekannya, Thomas Kuhn. Bagi Popper, Kuhn
menjebak nalar pada kubah-kubah komunitas ilmiah yang memacetkan daya
trandensinya. Daya trandensi nalar menurut Popper, adalah saat nalar induksi
digantikan oleh nalar falsifikasi. Ia mencibir metode induksi yang dibakukan
positivisme sebagai pembeda sains dan nirsains. Pengumpulan fakta-fakta guna
membenarkan sebuah teori cacat dari kacamata logika. Dikarenakan
sebuah teori secara logika dapat diruntuhkan hanya dengan satu fakta yang
bertolak belakang. Lahirlah nalar falsifikasi menggeser segala dogma, ideologi,
atau ilusi karena ia terbuka bagi falsifikasi. Nalar
falsifikasi membuat kita tidak lagi bicara kepastian, melainkan
kehampiran. Kebenaran tidak bisa dipastikan. Ia hanya bisa dihampiri lewat uji
falsifikasi terus-menerus. Teori yang paling tahan uji adalah teori yang paling
dekat menghampiri kebenaran, (Djojosuroto, 2007: 218-219).
Akan tetapi, puitiskah
falsifikasinya Popper? Sungguh tak terpungkiri. Berkat falsifikasi, sains pun
terlepas dari jerat
konservatisme dan bergandengan erat dengan kemajuan. Namun, kemajuan yang
dihasilkan bersifat linier dan monoistik. Kelincahan nalar seperti yang
dipertontonkan Nietzsche tidak tampak. Kesatuan gramatika pengujian kebenaran
masih menggayuti nalar falsifikasi Popper. Pandangan dunia sains pun masih
mengeram pada lantai paling bawah pemikirannya.
Paul Feyerabend seorang
anti-Popperian, menggugat linieritas nalar bekerja dalam gramatikanya
sendiri-sendiri. Kesatuan metode harus memberi jalan pada pluralisme. Ia
mengajak kita untuk sadar, bahwa nalar adalah majemuk.
Ia tidak tunggal. Namun demikian, bagaimana pun kita harus kembali pada apa
yang digagas Wittgestein II, yaitu harus dikembalikan pada permainan bahasa
masing-masing komunitas, (Ibid, hal. 219-220).
Apa yang diketengahkan Wittgestein
II di atas, sangat berjalin-kelindan jika dibawakan ke dalam
konteks ke-miang kabaua-an. Karena H. Idrus Hakimy Dt.
Rajo Penghulu pernah menghujamkan hal itu; “bahwa untuk mengetahui adat Minang 
Kabau
secara baik dan benar hingga dapat dipergunakan dan diamalkan dalam kehidupan
bergaul—secara perorangan, masyarakat dan bangsa yang tengah melakukan
pembangunan dalam segala bidang, kita tidak dapat menghindarkan diri
dari mengenal
pepatah-petitih yang ribuan banyaknya itu—dihimpun segala kaidah dan ketentuan
peraturan serta hukum yang berhubungan dengan segala aspek kehidupan.”
Walaupun kita
masih menemukan sebagian kecil para intelek yang beranggapan, bahwa apa yang
menjadi pameo urang Minang—Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah,
Syara’ Mangato Adat Mamakai, tetap dianggap tidak masuk akal. Bahkan ada pula 
yang mengatakan;
“sebaiknya Syara’ Basandi Adat”, bukan “Adat Basandi Syara”! Semakin kentara 
bahwa
paham yang mereka usung—paham yang tidak memahami kato (kata) Minang itu
sendiri. Atau hendak “mampakaruah aia nan janiah.”
Kembali pada persoalan di atas,
adapun kelompok penolak universalisme nalar berpegangan pada premis, bahwa
pengetahuan adalah konstruksi budaya. Budaya adalah sesuatu yang berdiri
diametral dengan pengetahuan. Pengetahuan berpegang pada obyektivitas,
universalitas dari ketetapan. Budaya, sebaliknya, sesuatu yang bergerak dan
bercabang ke sana-sini seiring alunan sejarah. Mengatakan pengetahuan sebagai
produk budaya sama artinya dengan mengatakan bahwa pengetahuan tidak seabsolut
yang dikira orang. Ia berubah dan bercabang bersama sejarah.
Pergeseran dari obyektivitas
menjadi komunalitas memperoleh tantangan politis. Bagaimana kemajemukan nalar
bisa dipertanggungjawabkan darikacamata politik? Atau dengan kata
lain, bagaimana sebuah hidup bersama yang baik itu mungkin? Richard
Rorty, Jurgen Habermas dan John Rowls, adalah sebagian dari mereka yang
menggeluti masalah ini. Mereka tidak peduli dengan
gramatika nalar masing-masing komunitas. Mereka memikirkan bagaimana sebuah
gramatika nalar percakapan yang bisa membuat pelbagai kelompok memiliki
kesatuan konsepsi tentang hidup.
Nalar percakapan sendiri adalah
nalar yang tidak berpihak. Ia adalah prosedur bagi masing-masing
nalar komunitarian
dalam memutuskan sebuah konsensus. Ia tidak berurusan dengan isi gramatika.
Apakah ini
potret nalar puitis? Dari sisi ketidakterjebakannya pada gramatika, kelompok
nalar percakapan memang terdengar puitis. Namun, ketidakpeduliannya pada isi
gramatika kultural itu sendiri menyimpan masalah. Nalar percakapan hanya
mengamini kemajemukan gramatika tanpa memeriksa sedimentasi pengalaman yang
menua dalam masing-masing gramatika. Seolah-olah masing-masing gramatika 
diterima
apa adanya.
Ini membuat agresivitas nalar
puitis pun mandek. Nalar hanya diaksentuasikan dalam merumuskan prinsip-prinsip
yang bisa diterima sebanyak mungkin kelompok. Namun, tidak ditetapkan
pada gramatika kelompok itu sendiri. Tidak digerakan secara lincah mencari
gramatika-gramatika pengucapan yang baru untuk membuka lapisan-lapisan yang
tersembunyi dalam sedimentasi pengalaman tersebut. Tuduhan monoisme pun akhirnya
bisa dijatuhkan kepada para pembela nalar percakapan. Sesuatu yang sebenarnya
ingin dijauhkan mereka sendiri dari sistem-sistem pemikiran
kontemporer, (Ibid, hal. 220-221).
Tak salah memang, jika hubungan
pikiran dengan bahasa, seperti diugkap Sapir & Whorf atau hipotesis
relativitas kebahasaan. Hipotesis ini mengatakan—”bahasa mempengaruhi
pikiran.“ Menurut Whorf, setiap bahasa memaksa atau memberikan
suatu “pandangan dunia” pada penuturnya. Ia mengatakan bahwa P, orang
membagi-bagi alam, menyusunnya menjadi konsep-konsep, dan menilai
kepentingannya dengan cara yang sebagian besar disebabkan oleh karena orang
telah bersepakat untuk menyusun alam itu demikian; suatu kesepakatan yang
berlaku bagi masyarakat bahasa orang dan yang telah dibukukan atau termaktub
dalam pola-pola bahasa kita, ini dikatakan juga sebagai “versi
kuat.” Clark & Clark tidak menolak hipotesis ini,
tetapi mengajukan sesuatu “versi lemah” yang berbunyi; “ada
pengaruh struktur bahasa pada cara berpikir orang; dan sebaliknya, melalui 
pikiran orang dapat juga mempengaruhi perilakunya,” (Ibid, hal. 289).
Dari semua itu, tiba lah saatnya
kita berlabuh di ranah “tata permainan bahasa,” sebagaimana hasil dari 
pokok-pokok
pemikiran Wittgenstein II, bahwa sebagaimana lazimnya dalam sebuah permainan,
orang yang terlibat dalam permainan tertentu—misalnya, permainan catur, (Hoed,
2008: 49),—harus lah terlebih dahulu mengetahui aturan yang
digariskan dalam permainan tersebut. Aturan itu dibutuhkan sebagai pedoman bagi
penyelenggaraan permainan itu secara baik, jelas, dan bertanggungjawab. Berikut
contoh dari gambaran aturan permainan yang ditunjukkan Wittgenstein II:
 
“...suatu
permainan harus lah ditentukan oleh aturan. Kemudian jika dalam permainan catur
telah ditentukan sebelumnya, bahwa “buah raja” memegang peranan yang sangat
penting, maka ketentuan itu jelas merupakan bagian yang esensial dalam
permainan tersebut. Apakah kita boleh menyalahi aturan yang telah ditentukan di
sini? Pelanggaran itu hanya menunjukkan bahwa kita tidak mengetahui petunjuk
yang sebenarnya tentang aturan permainan ini. Barangkali kita juga tidak dapat
memahami secara baikpetunjuk yang menggariskan agar kita berfikir tiga
kali (berfikir tiga langkah ke depan) sebelum menggerakan setiap biji catur. 
Jika kita menjumpai penerapan aturan ini di atas papan catur, maka tentu kita 
akan merasa kagum dan
berfikir tentang maksud atau tujuan suatu aturan, (apakah aturan ini 
dimaksudkan untuk mencegah kita melakukan sesuatu tanpa
pertimbangan yang pasti?)”
 
Adalah benar, bahwa setiap bentuk permainan
bahasa itu memiliki aturan sendiri-sendiri yang tidak dapat dicampuradukkan
begitu saja. Masing-masing mengandung ketentuan yang mencerminkan bentuk
permainan bahasa yang bersangkutan. Kekakuan akan timbul manakala kita
menerapkan aturan permainan bahasa yang satu ke dalam bentuk permaianan yang
lain, (Mustansyir, 1995: 85-86).
Seperti yang dikatakan Djojosuroto,
bahwa Richard
Rorty, Jurgen Habermas dan John Rowls, adalah tidak peduli dengan
gramatika nalar masing-masing komunitas. Teori Djojosuroto ini tentu sejalan
dengan Keraf, bahwa makna sebuah kata tergantung dari konvensi (kesepakatan)
masyarakat bahasa yang bersangkutan, (Keraf, 1989: 2).
Setelah memahamkan dari sekian
teori
atas bahasa sebagai simbol atau penanda dan petanda serta kelahiran ABS-SMAM.
Maka penulis
berkeyakinan, bahwa “mereka” yang membidani kelahiran
ABS-SMAM, pada dasarnya merupakan pengungkapan dari hasil pola pikir serta 
pemahaman yang mendalam terhadap perubahan-perubahan
adat mereka (adat yang dimaksud adalah, setelah adat itu dikawinkan dengan
ajaran Islam). Oleh karena itu, hasil dari pengungkapannya bukanlah
berdasarkan hawa nafsu semata, melainkan dilakukan secara kolektif—musyawarah
dan mufakat bersama para kaum Alim-Ulama, Cerdik-Pandai, Ninik-Mamak dan 
semacamnya.
Buya Prof. Ahmad Syafii
Maarif menulis—deklarasi adalah sebuah KATA yang tidak boleh dikhianati oleh 
LAKU.
Kerapuhan budaya Indonesia selama ini adalah LAKU mengkhianati KATA.
Begitu juga bagi sebagian kecil bangsa Minang yang tidak mengindahkan deklarasi
ABS-SBK-SMAM lantaran tingkah LAKU mereka mengkhianati KATA. Akan tetapi
terlalu ‘bijak memang,’ jika yang dikatakan penggal terakhir yang terjadi,
lantas kita beranggapan ‘KATA’ lah yang bermasalah dan lebih ‘sopan lagi” 
dikatakan
sebagai penumpukan frustasi dan semacamnya? Lalu di mana fungsi dan letak
bahasa/kata sebagai aturan dalam suatu komunitas/masyarakat yang memakainya?
Maka, sejauh ini, masih kah kita
beranggapan seperti yang ditulis pada penggal akhir terhadap ABS-SMAM di ranah
Minang? Jawabannya, bisa ya dan bisa tidak. Dikatakan
tidak, adalah sewajarnya (khususnya bagi sebagian bangsa
Minang) karena mereka telah terjebak pada ranah apriori (masa bodoh) terhadap
adat serta fungsinya sebagai suatu aturan dan pandangan hidup. Dan akan semakin
kentaralah, bahwa mereka “akan mampakaruah aia janiah” dalam kancah adat Minang
Kabau. Tidak saja dalam tataran adatnya melainkan dalam aturan-aturan langit
pun demikian, (lihat juga Bracher, 2009: 79-81), basambuang baliak…..

________________________________

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ 
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://rantaunet.wordpress.com/2011/01/01/tata-tertib-adat-salingka-palanta-rntaunet/
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/
--- 
Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup "RantauNet" dari Grup 
Google.
Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim 
email ke rantaunet+berhenti berlangga...@googlegroups.com .
Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/groups/opt_out.


Kirim email ke