Fenomena Jokowi, Mengapa "Kejeblos" Dua Kali ?
Rabu, 11/09/2013 11:54:51 | *Shodiq Ramadhan* | Dibaca : 907
 Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo

*HM Aru Syeif Assadullah
Pemimpin Redaksi Tabloid Suara Islam
*
Hari-hari ini --Agustus 2013-- masyarakat bahkan bangsa Indonesia
seluruhnya, digambarkan media massa bagai tak sabar segera mendudukkan
Gubernur Jakarta, Joko Widodo sebagai presiden RI. Mengapa? Jokowi
digambarkan diselimuti oleh kesempurnaan dalam segala hal dan siap mengubah
NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).

Jokowi  setiap hari dipuja-puja tak henti-henti, dalam segala hal. Setelah
menjabat Gubernur DKI setahun terakhir ini, kini Jakarta berhasil dibenahi
secara total oleh Jokowi. Puja-puji ini niscaya  “gombal-kumal”, alias
omong kosong tak berdasar. Sejatinya ibukota Jakarta tidak berubah sedikit
pun di tangan Jokowi. Jakarta tetap macet total, Jakarta malah lebih
banjir, dibanding lima tahun sebelumnya, sehingga 17 Januari 2013 lalu,
banjir menerjang Bunderan HI, Jalan, Thamrin dan Jalan Soedirman, bahkan
banjir masuk ke Istana Negara sampai ke ruang rapat. Di tangan Jokowi
Jakarta sebenarnya kondisinya lebih parah.

Tak ada yang bisa memungkiri popularitas bekas Wali Kota Solo ini karena
media massa menempatkan Jokowi sebagai “media darling”. Segala apa saja
kegiatan Jokowi di-blowup berlebihan, sehingga pers pun kehilangan
obyektifitas yang seharusnya ia jaga. Muncullah pemberitaan berlebihan
mengenai apa saja menyangkut Jokowi. Semua yang berasal dari Jokowi niscaya
dipujinya bahkan secara berlebihan. Sebaliknya segala yang jelek dan
kegagalan Jokowi malah ditutup-tutupi dengan sengaja untuk mempertahankan
citra cemerlang seorang Jokowi.

Pers Indonesia, dipastikan melakukan kesalahan yang cukup fatal, dalam
usahanya mengangkat nama Jokowi, dengan cara-cara yang jauh dari fair, dan
obyektif. Barangkali pers tidak menyadari sikapnya ini, karena pers
tertentu terseret pula oleh opini pers yang lain. Ada pula pers yang justru
merancang skenario “keblinger” ini dengan tujuan ingin menguasai negeri ini
dan mengubah dengan pola yang dikehendakinya.

Di balik fenomena pendukungan Jokowi menjadi presiden 2014, niscaya
merupakan pertarungan politik yang amat serius. Harian terbesar di
Indonesia Kompas, pun bagai menutup gong fenomena Jokowi ini dengan
menggelar survey dan dimuat argumentasi kesimpulan tiga hari berturut-turut
pada, 26,27 dan 28 Agustus 2013. Kompas menyimpulkan Jokowi niscaya
presiden 2014 berpasangan dengan siapapun dia menjadi presiden.

Belakangan Jokowi dipuji karena melakukan penertiban PKL (Pedagang Kaki
Lima) di Pasar Tanah Abang Jakarta Pusat. Golongan elit yang kini melintas
di Tanah Abang dengan mengendarai mobilnya pun bisa tertawa lepas. Pujian
kepada Jokowi pun dihamburkan kembali.

Namun bekas Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo mengkritik, apa yang telah
ditertibkan Jokowi, sudah pula ia lakukan bahkan berulangkali, namun PKL
kembali seperti semula, dan pers saat itu tidak mewartakan apa yang dibuat
gubernur Fauzi Bowo. Bahkan bekas gubernur DKI ini mengkritik penggunaan
anggaran Pemda ala Jokowi bisa membuat Pemda bangkrut seperti terjadi pada
pemerintah kota Detroit di Amerika Serikat.

Jokowi tentu saja membantah Pemda DKI bisa mengalami kebangkrutan. Namun
belum ada yang mengkritik dan pers memuatnya tentang penertiban Jokowi
terhadap PKL di kota Solo, sewaktu ia menjabat sebagai walikota Solo. PKL
di Solo yang berdagang di sekitar Pasar Banjarsari, oleh Jokowi dipindahkan
ke kios-kios baru di Pasar Ngarsopuro Semanggi. Apa yang terjadi sekarang ?
Para PKL ternyata berangsur-angsur kembali ke tempat semula. Kios yang
diberikan gratis dulu dijual kepada orang lain. PKL atau sektor informal
kini pun dihardik dan diusir Jokowi di ibu kota, padahal ketika ekonomi
nasional bangkrut pada 1997-1998, sektor informal inilah yang telah
menyelamatkan negeri ini dari kebangkrutan. Sektor informal inilah yang
pelan-pelan telah menggerakkan mesin ekonomi yang lumpuh total pada 1998
lalu. Kehancuran ekonomi di akhir pemerintahan SBY saat ini seharusnya juga
bisa malah memanfaatkan peranan sektor informal, bukan malah menghardik dan
mengusirnya.

Ada lagi prakarsa Jokowi yang sangat menghebohkan--dan karena kehebohan
ini--yang membuat Jokowi mulai dikenal di seluruh Indonesia. Kehebohan itu
ketika Jokowi tiba-tiba memamerkan mobil rakyat buatan murid-murid SMK di
Solo. Digembar-gemborkan seolah-olah akan diproduksi mobil rakyat itu
dengan harga sangat murah, namun mobilnya sangat berkualitas bahkan mewah.
Publikasi pun meluas dan melambungkan nama Jokowi. Apalagi ketika Jokowi
meluncurkan ujicoba mobilnya dari Solo ke Jakarta. Seluruh pers nasional
jenis apapun mengelu-elukan. Tapi yang terjadi kemudian  adalah peristiwa
yang memalukan, kartena mobil SMK yang dibangga-banggakan Jokowi ini tidak
lulus alias dianggap tidak layak untuk diproduksi. Lalu dilakukan uji coba
yang kedua setelah dilakukan perbaikan sesuai rekomendasi, namun hasilnya
sama saja, tidak layak diproduksi.

Akhir Agustus 2013 ini LIPI di Taman Mini malah memamerkan mobil-mobil
karya anak-anak Indonesia yang jauh lebih bagus, namun tidak ada yang
meliput dan mem-blowupnya. Apakah semua orang yang kini mengelu-elukan
Jokowi khususnya pers nasional mengingat kembali peristiwa ujicoba mobil
SMK Solo kebanggaan Jokowi yang gagal total itu? Bagaimana kabarnya mobil
SMK itu? Peristiwa blow up mobil SMK Jokowi Solo ini, hakikatnya proyek
pencitraan Jokowi untuk mendongkraknya menjadi tokoh nasional.

*Mengapa Terus Tertipu Proyek Pencitraan?*

Proyek pencitraan Jokowi  ternyata dibeli rakyat Indonesia, bahkan secara
berebut membelinya, takut tidak kebagian, takut kehabisan.  Beberapa tahun
terakhir ini tuduhan tokoh yang lahir dengan rekayasa pencitraan diarahkan
kepada presiden SBY. Berpuluh-puluh prakarsa pencitraan yang dilakukan SBY
dengan kelompok politiknya, selalu dibongkar masyarakat, namun prakarsa
pencitraan berikutnya dibuat kembali oleh SBY, dan rakyat--anehnya dan
gilanya-- “membeli” pencitraan seperti itu, yang hakikatnya hanyalah
kosong melompong isi dan nilai, bahkan cenderung sebagai tipu-daya yang
merugikan bangsa dan negara.

Citra yang dibangun SBY pertama kali adalah meminta simpati rakyat
Indonesia sebagai tokoh yang ditindas dan dizalimi oleh penguasa Megawati.
Citra sebagai tokoh yang diperlakukan tidak adil bahkan ditindas ini telah
melambungkan popularitas nama SBY hingga terpilih menjadi presiden,
menggusur Megawati.  Sejak saat itu SBY selalu mengedepankan pencitraan
dirinya dan rakyat Indonesia selalu “membeli” citra yang hakikatnya
omong-kosong itu. SBY mencitrakan diri sebagai presiden yang secara
kongkrit memperhatikan nasib rakyat kecil sampai ke urusan dapur. Maka
program, semacam BLSM, dan penaikan gaji guru serta PNS (Pegawai Negeri
Sipil) pun menjadi prioritas, dan gaji PNS pun setiap tahun selalu
dinaikkan bahkan dengan program remunerasi dengan kenaikan berlipat-lipat
kali.

Tapi pakar ekonomi independen mengkritik kebijakan penaikan gaji sekadar
menaikan citra diri presiden SBY ini. Akibat kenaikan ini--misalnya
remunerasi di Kementerian Keuangan, menyebabkan hutang negara bertambah Rp
70 Trilyun--hanya menyebabkan inflasi, dan seterusnya. Yang aneh dan “gila”
ketika citra gombal pun sudah terbongkar kebohongannya, misalnya
gembar-gembor hendak memberantas korupsi, tapi belakangan justru anak buah
presiden sendiri yang  mempelopori korupsi dalam berbagai megaskandal yang
sangat mengerikan, tapi ketika proyek pencitraan lain digelar, rakyat tetap
membelinya.

Adalah tokoh antagonis Partai Demokrat, Ruhut Sitompul berkomentar mengenai
fenomena Jokowi yang gencar diusung ramai-ramai dan dianggap layak naik
menjadi presiden 2014, Ruhut pun berkomentar yang jujur dan berkata :
“Bahwa tokoh yang lahir dari pencitraan seperti itu-Jokowi- pasti  akan
menghasilkan presiden yang buruk dan tidak menguntungkan rakyat Indonesia.”

Yang dikatakan Ruhut, itulah yang telah terjadi pada Presiden SBY. Di akhir
kekuasaannya saat ini ekonomi mengalami ‘gonjang-ganjing’ yang
disebut-sebut oleh ekonom independen indikasinya jauh lebih berbahaya
dibandingkan menjelang terjadinya krisis moneter 1997-1998. Cadangan devisa
Negara merosot dari 123 milyar dolar AS kini tinggal 90 milyar dolar,
hutang jatuh tempo tahun ini bernilai puluhan milyar dollar AS, hutang
negara mencapai Rp 2.300 Trilyun. Nilai rupiah terus merosot melewati Rp
11.000/dollar AS. Dan fatalnya pemerintahan SBY ini, tak mampu menjaga
hajat rakyat yang paling dasar saja. Sudah setengah tahun terakhir ini
harga bawang merah dan cabe rawit tidak mampu dinormalisir. Harga bawang
merah dan cabe rawit melonjak naik berkisar antara Rp 50.000-60.000/kg.
Harga normal tujuh bulan sebelumnya hanya Rp 12.000/kg. Bagai NKRI ini
sebuah negeri gurun atau berlokasi di Benua Alaska dan Kutub yang tak bisa
ditanami cabe dan bawang. Karena kejengkelan yang memuncak terhadap kasus
bawang dan cabe ini yang tak mampu diturunkan harganya oleh pemerintah SBY,
maka muncul komentar sarkastis, ”Rakyat Indonesia ke depan mutlak
membutuhkan seorang presiden yang mampu menjaga harga, cabe, bawang,
kedelai, dan daging sapi. Kemampuan yang lain, hanya syarat menjadi
presiden nomor 27,” katanya sinis

Jokowi idem ditto belaka dengan SBY, hanya bermodalkan dan diberi modal
pencitraan semu dirinya. Dengan modal pencitraan ini rakyat Indonesia hanya
dinina-bobokkan oleh mimpi-mimpi. Dua periode pemerintahan SBY hakikatnya
pemerintah berjalan di tempat, stagnan.

Rakyat ibukota saja yang mutlak penduduk Muslim kini agak terkaget-kaget,
walau belum “nyadar” sepenuhnya ketika tiba-tiba Jokowi seenaknya saja
mengangkat Lurah Lenteng Agung Susan Yasmine Zulkifli yang beragama
Nasrani. Rakyat Lenteng Agung pun protes, namun dijelaskan Susan layak naik
menjadi lurah karena sudah lolos dari lelang jabatan sebelumnya. Bagai
orang linglung, ustadz dan guru ngaji di Lenteng berucap, “Oo itu gunanya
lelang jabatan lurah, untuk menaikkan seorang Nasrani memimpin orang Islam
di Lenteng Agung yang jumlahnya mayoritas mutlak!”.

Baru sadar rupanya, penduduk ibukota saat Pilkada DKI yang lalu hanya
terseret arus fenomena Jokowi dan rame-rame memilih Jokowi. Mereka baru
sadar pula terpilihnya Wakil Gubernur DKI, Ahok yang Kristen itu membawa
konsekuensi, dia kini bebas menggelar Misa di Balaikota yang tak pernah ada
sejak walikota pertama Jakarta Syamsurizal, hingga gubernur Bang Ali dan
seterusnya. Bahkan kini sudah terbayang jika Jokowi tak terbendung lagi
terpilih sebagai presiden pada 2014, niscaya Ahok akan naik menjadi
gubernur DKI Jakarta.

Mampukah Jokowi menjawab pertanyaan mengapa di daerah-daerah Kristen
seperti di NTT jangankan lurah, bupati dan gubernur saja tidak mungkin ada
yang beragama Islam. Mengapa orang Islam tidak boleh menjadi lurah di NTT
juga di Bali? Kenapa Jokowi menjelang Lebaran yang lalu melarang umat Islam
takbir keliling di ibukota, dan menghapuskan event tahunan Takbir Akbar di
Monas? Sebaliknya dalam kerangka Natal dan Tahun Baru yang lalu Jokowi
menggelar pesta  besar-besaran di sepanjang Jalan Soedirman, Jalan Thamrin
hingga Monas. Dan tak lebih 20 hari kemudian di lokasi pesta besar-besaran
itu “dihajar” banjir besar, yang ikut merendam mobil super mewah dan
membawa korban jiwa karena ikut terendam basemen gedung bertingkat.

Setelah “kejeblos” lubang pencitraan SBY yang telah membawa rakyat
Indonesia hampir sepuluh tahun ini dalam kesia-siaan dan kemandegan, apakah
rakyat Indonesia ingin masuk kembali ke lubang pencitraan Jokowi dan
kembali sepuluh tahun ke depan menekuni kesia-siaan baru yang pasti kali
ini akan menghancurkan daya tahan rakyat Indonesia menjadi lumat dibuatnya.
Mengapa “kejeblos” dua kali ? *Naudzubillah min dzalik! *

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ 
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi:
* DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. Email One Liner.
* Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta 
mengirimkan biodata!
* Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
* Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
* Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/
--- 
Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup "RantauNet" dari Grup 
Google.
Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim 
email ke rantaunet+berhenti berlangga...@googlegroups.com .
Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/groups/opt_out.

Kirim email ke